Pilkada Masa Pandemi
Oleh : Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang diselenggarakan secara serentak menuai polemik. Bagaimana tidak, pilkada yang dilakukan di masa pandemi covid-19 ini seolah kehilangan sense of crisis-nya. Padahal di masa pandemi seperti sekarang ini sudah selayaknya semua pihak bergotong-royong mencari solusi untuk keluar dari lingkaran setan wabah penyakit virus wuhan. Bukan malah mengadakan pesta demokrasi yang memakan biaya yang tidak sedikit guna mengeksekusi ‘kepentingan’ elite politik. Jadi daripada mengeluarkan dana besar untuk Pilkada yang hasilnya belum nyata membawa kesejahteraan pada masyarakat, mengapa dananya tidak dialihkan saja untuk penanganan wabah?
Pemerintah melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang menyatakan secara tegas bahwa pemilihan kepala daerah tidak akan ditunda dan nantinya akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020. Seperti kita ketahui bersama, awalnya Pilkada 2020 akan diselenggarakan pada 23 September untuk memilih 9 gubernur, 224 bupati, dan 37 walikota secara serentak. Hingga hari ini belum ada kepastian kapan pandemi ini akan berakhir. Kesan adanya paksaan atas keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2020 memang kelihatan. Meskipun pada Perppu tersebut terdapat pasal yang mengatur bahwa Pilkada 2020 dapat ditunda apabila situasi tidak memungkinkan, pasal ini justru dianggap sebagai sesuatu yang tidak pasti. Apalagi Perppu tersebut juga tidak mengatur persoalan anggaran dan apakah Perppu ini juga dapat menjadi dasar hukum bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk melakukan diskresi dalam menilai situasi pandemi COVID-19 di suatu wilayah dapat dianggap mengganggu penyelenggaraan pilkada. Pertanyaannya, apakah KPU memiliki kewenangan tersebut?
Evaluasi merupakan mata rantai manajemen yang strategis. Perppu membuka ruang untuk ditunda, oleh karena itu, evaluasi yang objektif harusnya disampaikan apa adanya bukan ada apanya. Dengan demikian daerah yang berada di zona merah tidak ada alasan untuk melanjutkan proses tahapan pilkada, sebab hukum tertinggi adalah kebahagiaan untuk rakyat sesuai dengan fungsi yang mendasar dari Konstitusi yakni “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”
Dari regulasi harusnya Presiden lah yang punya otoritas merubah Perppu. Tentu berangkat dari evaluasi tersebut. Hal lain pilkada baik provinsi, kab/kota harusnya segera diakhiri, karena hal itu nyata-nyata merupakan pemborosan dan melanggar prinsip sila keempat Pancasila apalagi berkait dengan hak perogratif presiden, menteri saja diberikan sepenuhnya kepada presiden untuk menunjuk agar kemenangannya yang sudah dipercaya rakyat itu leluasa menunjuk eksekutif dengan hak perogratifnya, apa kurang aneh hanya camat dan lurah yang ditunjuk oleh kepala daerah sementara kepala desa, walikota, bupati dan gubernur harus dipilih melalui pilkada?. Oleh karena itu momentum pandemi ini harusnya menyadarkan dan mengharuskan presiden bersikap tegas mengoreksi Perppu nya untuk menghapuskan pilkada paling tidak menunda, minimal di daerah-daerah merah.
Pandemi COVID-19 memang telah memukul keras perekonomian Indonesia. Ditengah krisis multidimensi ini, harusnya negara tidak menghamburkan uang. Mestinya lebih prioritas untuk melayani kesehatan masyarakat. Bukankah rumah sakit kekurangan peralatan medis memadai dalam menangani pasien Covid 19? Sudah banyak para tenaga kesehatan yang mempertaruhkan nyawa untuk mengatasi keadaan ini. Mengapa pemangku kuasa seperti tutup mata atas kondisi memprihatinkan ini? Sungguh ironis negeri zamrud khatulistiwa ini. Negeri kaya nan subur namun miskin dana untuk memberantas pandemi.
Pilkada di masa pandemi berpotensi memunculkan klaster baru penyebaran covid-19, sebab berdasarkan data yang diperoleh jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 kian harinya semakin bertambah 3.507 menjadi 225.030 orang (15/9). Lantas bila pilkada jua kunjung dilakukan, siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi kasus covid-19 merebak di masyarakat?.
Rentan Pilkada kali ini mencuri perhatian publik. Karena KPU belum pernah melaksanakan pilkada dalam kondisi pandemik seperti saat ini. Proses pelaksanaan pilkada pun, tidak boleh mengabaikan protokol kesehatan. Namun, ironinya beberapa kasus menunjukkan banyak protokol kesehatan yang justru dilanggar oleh beberapa bakal calon kepala daerah maupun pendukungnya. Kondisi ini terlihat saat pendaftaran bakal calon kepala daerah yang diwarnai oleh iring-iringan ratusan pendukung yang berdesakdesakan dan tidak menjaga jarak sehingga rentan penyebaran virus covid-19.
Laporan dari International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) bahwa setidaknya terdapat 52 negara yang telah memutuskan menunda pemilu baik pemilu nasional maupun pemilu sub nasional dan 19 negara dan teritori yang menyelenggarakan pemilu nasional atau subnasional. Salah satu negara yang menyelenggarakan pemilhan umum dalam masa Pandemi adalah Korea Selatan. Berbagai tindakan luar biasa dilakukan Korea untuk meminimalkan risiko bagi pemilih dengan melakukan kebijakan antara lain mendorong pemilu pendahuluan (early voting) guna mencegah menumpuknya pemilih menggunakan suara melalui TPS, memastikan lingkungan pemilihan yang aman, menyesuaikan kampanye pemilihan dengan mengubah metode kampanye konvensional menjadi kampanye alternatif dengan menggunakan teknologi online dan digital seperti pesan video yang disebarluaskan melalui platform media sosial dan aplikasi SMS melalui ponsel.
Untuk memberikan suara di TPS, para pemilih terlebih dahulu menerapkan protokal kesehatan yang ketat dengan tindakan pencegahan seperti membersihkan tangan dengan sanitiser, memakai masker wajah dan sarung tangan plastik, berdiri paling tidak satu meter dan suhu harus diukur. Pemilih dengan suhu panas diatas 37,5 derajat celsius harus memberikan suaranya di tempat terpisah yang kemudian disinfeksi setelah setelah selesai digunakan. Orang-orang yang dinyatakan positif berada dibawah kontrol yang ketat untuk hanya memilih pada waktu-waktu tertentu dan TPS yang didesain khusus. Pertanyaan bagi pemerintah apakah mampu memberikan dukungan anggaran yang luar biasa untuk tindakan yang luar biasa dalam pilkada.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. Rata-rata, kata Mahfud, setelah terpilih para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut. “Di mana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan,” kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi yang disiar kan melalui kanal Youtube resmi Pusako FH Unand, Jumat (11/9). Apabila politik ala cukong tetap dipelihara, maka akan sulit mewujudkan pemerataan kesejahteraan seluruh rakyat. Karena kepentingan cukong-lah yang harus diutamakan di atas kepentingan rakyat.
Sangat membahayakan ialah jika penyelenggaraan Pilkada serentak mengalami krisis substansi. Krisis ini dapat mengakibatkan kualitas demokrasi semakin melorot, partisipasi publik yang minim, serta tidak menghasilkan output politik para pemimpin daerah yang amanah. Bahwa kendala teknis masih bisa diatasi dengan protokol kesehatan. Namun, krisis substansi demokrasi amat sulit ditegakkan dan akan membawa efek domino secara negatif terhadap kehidupan politik ataupun kesejahteraan rakyat. Jangan sampai kualitas pilkada di Indonesia mengalami defisit demokrasi akibat tidak memperhatikannya protokol kesehatan dan nihilnya substansi demokrasi dalam pelaksanaan pilkada serentak di masa pandemi saat ini.
Sekedar mengingatkan, catatan hitam memori pilu pemilu 2019 masih terbayang-bayang dalam benak kita. Peristiwa kelam itu telah menyisahkan luka atas tragedi kemanusiaan. Sehingga membuat 3.778 jiwa jatuh sakit hingga merenggut 554 nyawa yang terdiri dari petugas KPPS, pengawas pemilu, dan aparat keamanan. Para pejuang demokrasi yang gugur di medan TPS tersebut tentunya tak boleh luput dari ingatan. Sekali lagi keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Bahkan ada trauma yang amat mendalam bagi penyelenggara pemilihan di tataran akar rumput. Hal itu terlihat ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) di sebagian kota/kabupaten merasa kesulitan mencari pendaftar anggota PPS pada tahapan pilkada serentak tahun ini. Sehingga mengharuskan sebagian KPUD di tanah air memperpanjang masa pendaftaran PPS. Terlihat betapa beratnya menjadi penyelenggara pemilihan di tingkat bawah. Dengan honor yang tak seberapa ditambah lagi masih diselimuti rasa trauma.
Memang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 beda persoalannya. Ketika pemilu 2019, korban yang berjatuhan diakibatkan beban kerja yang amat berat. Akan tetapi pada penyelenggaraan pilkada 2020 ini yang menjadi risikonya adalah dapat berpotensi menjadi sarang penyebaran virus Covid-19. Tentunya kita semua tidak ingin peristiwa serupa terulang kembali pada perhelatan pilkada tahun ini. Apalagi Indonesia merupakan negara yang masih dikatakan belum sepenuhnya aman dari pandemi Covid-19. Para pemangku kebijakan hendaknya kembali memikirkan secara matang-matang untuk menggelar pilkada dalam situasi darurat seperti ini. Jangan sampai catatan demokrasi kita hanya berisi dengan cucuran darah dan tangisan air mata akibat banyak korban berjatuhan. Revisi Perppu untuk membuktikan kesejahtaraan rakyat adalah hukum tertinggi apalagi peran melindungi segenap tumpah darah dapat dibuktikan. Salus Populi Supreme Lex.
Dr. Abdul Hakim Siagian, SH., M.Hum, Dosen Fak. Hukum UMSU/ Wakil Ketua PWM Sumatera Utara