Pemimpin Moral dan Kultural

Pemimpin Moral dan Kultural

Dr Taufiq Abdul Rahim 

Oleh: Dr. Taufiq Abdul Rahim 

Perkembangan kehidupan masyarakat dewasa ini dalam ketidakpastian, berbagai keinginan serta harapan berkecamuk dalam pikiran setiap orang dan seluruh masyarakat, adalah keseimbangan, kestabilan, kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan senakin sulit diraih. Kondisi ini menjadi masyarakat bagaigakan hilang keseimbangan serta kestabilan hidup agar mampu menyelesaikan banyak masalah yang saat ini sedang dihadapi. Sehingga harapan yang semestinya ikut hadir serta mengambil peran penting menyelesaikan berbagai persoalan ini adalah, adanya kepemimpinan yang adil, bijaksana serta memiliki moral yang tinggi serta paham terhadap kehidupan kultural selaras dengan kearifan masyarakat lokal serta domestik.

Persoalan kepemimpinan hadir sebagai fenomenologi penting saat ini, sehingga tidak menghadirkan harapan palsu masyarakat dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan tantangan serta berbagai persoalan. Hal ini terutama sekali kehidupan ditengah kondisi ekonomi, politik, sosial-kemasyarakatan yang tidak menentu, konon pula dihadapkan dengan kondisi wabah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang semakin terus mendera kehidupan masyarakat, hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang efektif mampu mengatasi serta menyembuhkannya.

Kepemimpinan kuat (strong leaderships) memiliki kompetensi, kapasitas, kapabilitas serta mampu menetapkan kebijakan yang memngerti serta faham terhadap keinginan serta kehendak rakyat, dengan syarat mutlak memiliki moral dan kultural. Sehingga harapan rakyat tidak palsu, sumir, setengah hati memiliki pemimpin yang bijaksana terhadap adanya harapan perubahan yang sesungguhnya, bukan menebar janji dan harapan semata, tetapi kenyataan yang sesungguhnya berubah. Karena tidak kuat dan kompetibel, masih berusaha menciptakan dinasti politik dalam usaha menyelamatkan diri serta keturunannya, tampa berusaha berfikir logis dan kritis terhadap perkembangan demokrasi politik dan ekonomi ke depan.

Dalam kehidupan masyarakat sipil dan masyarakat politik, yang hidup pada era demokratisasi politik, hal ini juga berkaitan dengan suprastruktur politik yang mesti dipahami adanya usaha untuk memperkuat kehidupan ril masyarakat dalam konteks yang lebih luas adalah, kesadaran kehidupan bernegara. Tuntutan suprastruktur moral adalah, adanya kondisi kehidupan nyata sesungguhnya dalam masyarakat yeng memiliki nilai etika, kebersamaan, konsekwensi tanggung jawab bernegara baik pemimpin maupun masyarakatnya. Secara kultural kehidupan sosial-kemasyarakatan menunjukkan adanya perubahan dan peningkatan kesejahteraan secara keseluruhannya. Sehingga perubahan kehidupan bukan milik sekelompok orang, pemimpin, perangkat kelompok politik dan pejabat negara, dimana secara sistematis menciptakan dominasi kekuasaan, maka akan tercipta hegemoni kekuasaan. Ini sering dimanfaatkan oleh orang disekitar kekuasaannya, juga aparatur negara yang ingin hidup mewah bersama menumpuk kekayaan pribadi serta kelompoknya.

Oleh karena itu, dalam konsep negara demokratis adalah, adanya persamaan antara masyarakat politik dan masyarakat sipil, sebagai suatu ikhtiar bersama. Sehingga negara bukan merupakan milik masyarakat politik semata, tetapi melibatkan partisipasi serta membangun kepemilikan bersama sehingga tidak berlaku hegemoni politik negara yang hanya diperankan, diatur serta dikuasai oleh masyarakat politik semata. Karenanya, masyarakat sipil juga dibangun kesadaran untuk ikut memiliki negara dalam konteks yang lebih luas, sehingga kekuasaan negara yang lebih banyak, serta secara kuantitatif lebih banyak dalam kehidupan sosial tidak dinafikan begitu saja.

Masyarakat sipil atau rakyat tidak hanya dilibatkan pada saat berlakunya kontestasi dan kompetisi politik, sehingga pada saat diperoleh kekuasaan politik, masyarakat politik menciptakan hegemoni, bahkan secara masif merapkan koersi setiap kebijakan yang hanya menguntungkan sepihak serta sekelompok yang berkuasa secara politik. Yang sangat miris pada saat memegang kekuasaan politik, merasa sangat lebih tahu segalanya dari masyarakat sipil, masyarakat luas, kelompok sosial dan rakyat secara keseluruhan, maka kebijakan yang diambil, ditetapkan tanpa menghargai kepentingan masyarakat yang lebih tahu dan paham terhadap keinginan sesungguhnya, tanpa sungkan terus memberikan informasi serta menebarkan kebohongan secara terus-menerus.

Kompleksitas aktivitas politik, tidak hanya memandang karakteristik pemimpin hanya sebagai pemegang kekuasaan, ataupun kelompok penguasa, sehingga memperlihatkan sebuah integritas kombinasi antara kediktatoran dan hegemoni untuk memimpin kehidupan masyarakat. Secara general bahkan kekuasaan kediktatoran dan hegemoni pasti menjauhkan diri dari kompleksitas moral dan kultural. Hal ini hanya mungkin dibangun bahwa, moral berhubungan dengan idieologi serta identitas masyarakat politik yang menghargai nilai-nilai etika, kepercayaan dan martabat dalam kehidupan rakyat yang sesungguhnya. Sementara itu, kultural berhubungan dengan interaksi antara masyarakat, kelompok masyarakat yang saling menghargai, menghormati, memiliki kesetaraan dan kebersamaan serta berkeadilan, secara bijaksana sangat menghormati kultur, bahkan menghargai kebiasaan yang berlaku sebagai adat-istiadat yang melekat secara harmonis.

Tuntutan serta harapan pemimpin yang bermoral dan memiliki nilai kultural, tidak merasa lebih pintar serta tahu segalanya, sehingga masyarakat atau rakyat hanya mendapatkan harapan palsu dan kebohongan setiap kebijakan yang dilakukan. Dimana seolah-olah masyarakat atau rakyat tidak tahu serta paham bahwa, setiap kebijakan yang salah serta penuh dengan kebohongan merupakan hakikat dan tabiat pemimpin yang tidak bermoral, serta tidak menghargai kultural.

Kondisi kehidupan modern serta perkembangan masyarakat saat ini, masyarakat atau rakyat berhadapan dengan pemimpin yang bercirikan kediktatoran dan hegemoni, sama sekali tidak menghargai keinginan serta harapan masyarakat. Pemimpin sebagai kelompok masyarakat politik dengan perangkat pendukungnya, secara suprastruktural tidak menghargai aktivitas dari masyarakat yang dikuasainya secara politik. Sehingga masyarakat enggan memberikan dukungan penuh terhadap berbagai kebijakan, kecuali hanya dimanfaatkan oleh sekolompok aparatur pendukung kepemimpinannya yang belum tentu ataupun sama sekali tidak mendapatkan dukungan penuh masyarakat atau rakyatnya. Karena semua yang diharapkan masyarakat hanya kepalsuan yang tidak menjadi kenyataan perubahan kehhidupan serta peningkatan kesejahteraan, sebagaimana yang diharapkan dalam kenyataan hidup.

Yang sangat disayangkan adalah, jika berlaku adanya bantahan serta perlawanan terhadap gagal serta tidak efektifnya kebijakan, maka diciptakan strtetegi dengan berusaha mengadu-domba masyarakat ataupun rakyat. Hal ini diusahakan agar antara rakyat serta masyarakat sipil saling berbenturan serta berkelahi secara terbuka sesama rakyat atau masyarakat sipil, sebagaimana perilakiu yang dilakukan para kolonialis (penjajah). Usaha efektif secara politik dengan cara memperlakukan rakyat ataupun masyarakat sipil dengan praktik adu domba, ini tidak membangun demokrasi politik yang sesungguhnya. Masyarakat politik hanya berasumsi bahwa, masyarakat sipil atau rakyat hanya kelompok subordinat yang dapat diperlakukan sesuka hati dan sekehendaknya. Ini bermakna pemimpin moral dan kultural sesuai dengan kaidah serta etika demokrasi politik modern tidak pernah hadir serta tidak ada ditengah kehidupan masyarakat, dimana masyarakat sipil atau rakyat saat ini dalam ketidakpastian kehidupan yang sesungguhnya menghendaki perubahan serta adanya peningkatan kesejahteraan.

Dr. Taufiq Abdul Rahim, Dosen UNMUHA Aceh, Pengamat Kebijakan Publik

Exit mobile version