Dari Raden Hidayat ke Ki Bagus Hadikusumo
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Mungkin karena perannya yang sangat historis dan menentukan dalam BPUPKI dan PPKI berkenaan dengan perumusan dasar negara Pancasila di tahun 1945, Ki Bagus Hadikusumo (1890-1954) menjadi ketua Hoofdbestoor (HB) Moehammadijah yang paling terkenal setelah KH Ahmad Dahlan, sang pendiri gerakan. Tetapi mungkin juga, ini agak antropologis dan sedikit spekulatif, karena faktor namanya yang paling berbeda di antara ketua-ketua (umum) Muhammadiyah yang lain: Jawa banget!
President, ketua-ketua (sekarang disebut ketua umum) Muhammadiyah yang lainnya semuanya bernama Arab-Islam: Ahmad Dahlan, Ibrahim, Haji Hisyam, Ahmad Badawi, Mas Mansur, AR. Sutan Mansyur, Fakih Usman, atau Haedar Nashir. Bahkan beberapa yang lain sudah namanya Arab-Islam, tiga nama lagi! Lihat saja: Muhammad Yunus Anis, Abdul Razak Fachruddin, Muhammad Amin Rais, Ahmad Syafi’i Maarif, dan Muhammad Sirajuddin Syamsuddin. Padahal semuanya dari Jawa, kecuali hanya (hanya) empat orang saja di antara mereka yang non-Jawa. Hanya Ki Bagus Hadikusumo satu-satunya yang bernama Jawa totok.
Ki Bagus Hadikusumo lahir 24 Nopember 1890 di Kauman, Yogyakarta. Dia anak ketiga dari setidaknya delapan (ada yang meriwayatkan sebelas) bersaudara putra/putri KH Hasyim, Lurah Haji Keraton Yogyakarta. Dua kakak beliau adalah KH Soedjak dan H. Fachroddin: yang disebut pertama adalah tokoh dan ketua Majelis Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) Muhammadiyah pertama; dan yang kedua pernah menjadi wakil ketua atau Voorzitter Hoofdbestoor (HB) Moehammadijah (1923-1929) di bawah Ketua KH Ibrahim. Sebelum menjadi wakil ketua PB Muhammadiyah Fachrodin sempat menjadi aktifis Sarikat Islam (SI) dan berkelana di dunia jurnalistik dan politik yang agak kekiri-kirian.
Saudara-saudaranya yang lain dari “Bani Hasyim” adalah Siti Jasimah, Siti Bariyah (ketua umum Aisyiyah pertama) Siti Walidah, H. Zaini dan Siti Moendjijah (ketua Aisyiyah ketiga). Bariyah dan Moendjijah adalah satu dari lima perempuan yang dikirim oleh KH Ahmad Dahlan ke sekolah Perempuan Moehammadijah. Keduanya adalah kader pertama Muhammadiyah yang dikirimkan oleh Dahlan bersekolah di sekolah umum dan sekolah agama. Moendjijah adalah salah seorang tokoh pemrakarsa sekaligus pembicara utama dalam Kongres Perempuan pertama tahun 1928.
Jadi Ki Bagus itu lahir dari keluarga “balung gedhe” yang sangat berjasa melahirkan pemimpin-pemimpin gerakan Muhammadiyah kelas satu. Saudara-saudaranya dan keturunannya semuanya menjadi pemimpin umat, bahkan bangsa: keluarga ksatria. Trah kusumo rembesing madu, khususnya dalam “Pohon Pengkaderan” kepemimpinan Muhammadiyah.
Terlahir sebagai Hidayat
Ketika lahir Ki Bagus Hadikusumo namanya adalah Hidayat atau Raden Hidayat. Raden menunjukkan ciri sebagai aristokrat atau kebangsawanan (noble, nobleman) Jawa. Dia memang datang dari keluarga bangsawan (noble family) yang tinggal di Kauman, kawasan yang amat sangat dekat dengan istana keraton Ngayogyakarto. Nama Hidayat dari kata bahasa Arab hidayah yang artinya petunjuk. Dalam bahasa Jawa kata hidayat juga dipakai menjadi nama salah satu wahyu yang dipercaya orang Jawa, bahkan menjadi cerita pakem dalam wayang kulit: Tumuruning Wahyu Hidayat Jati.
Raden Ngabehi Ronggowarsito, pujangga Jawa terakhir, juga menulis sebuah serat bernama Serat Hidayat Jati. Doktor Simuh, doktor pertama yang dihasilkan IAIN (UIN) Sunan Kalidjaga, Yogyakarta, menulis disertasi doktor tentang serat itu dengan judul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ronggowarsito (Studi tentang Wirid Hidayat Jati) (1980-an).
Kembali ke laptop! Ketika berumur 30 tahun Si Raden Hidayat atau Dayat tersebut mengganti namanya yang bagus itu dengan nama lain yang lebih bagus lagi: Ki Bagoes Hadikoesoemo atau dalam ejaan sekarang Ki Bagus Hadikusuma. Banyak orang mengira nama atau gelar Ki adalah singkatan dari Kiai atau Kyai, yakni sebutan untuk ahli atau pemuka agama Islam. Di Jawa kata kyai juga untuk menyebut nama sapi atau kerbau yang dikeramatkan di keraton Surakarta, yaitu Kiai Slamet. Kiai Slamet ini diarak dalam prosesi malam 1 Suro (baca: 1 Muharram) di keraton Surakarta Hadiningrat.
Tapi sebenarnya tidaklah demikian: nama atau gelar “Ki” adalah gelar pemimpin pada zaman dahulu, yang biasanya digunakan oleh tokoh pendiri suatu daerah tertentu atau tokoh dengan kesaktian yang legendaris. Gelar ini digunakan pada masa awal masuknya Islam di pulau Jawa, yaitu kira-kira semenjak keruntuhan Majapahit hingga awal berdirinya kerajaan-kerajaan Islam. Namun demikian, konon di luar Jawa ditemukan pula pemakaian gelar seperti ini. Sebutan “Ki” adalah sebutan untuk seorang lelaki yang ditokohkan dan sakti seperti itu. Sementara untuk perempuan “Nyi”.
Dalam hagiografi Jawa kita mengenal nama-nama tokoh sejarah tetapi nyaris legendaris yang menggunakan gelar Ki, seperti Ki Ageng Gribik (yang bisa melipatgandakan apem. Ingat upacara Yaqowiyu di Karanganom, Klaten), Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Mangir, Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Panjawi, Ki Ageng Selo (bisa menangkap petir), dan lain-lainnya: kebanyakan adalah tokoh-tokoh pada masa Kerajaan Mataram Islam yang nyaris melegenda. Tokoh-tokoh tersebut biasanya sangat berpengaruh atau bahkan menguasai daerah-daerah tertentu. Agak belakangan kita mengenal nama Ki Ageng Suryomentaram yang terkenal dengan ajaran-ajaran luhur Jawa: Ilmu Begja yang sangat populer itu. Demikian juga dengan ajaran-ajaran Jawa yang diawali kata “sak”, sak madyo, sak butuhe, sak perlune, dan sebagainya; atau yang diawali dengan kata “ojo”: ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh, dan sebagainya itu.
Belakangan gelar Ki banyak dipakai dan dilestarikan kalangan perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Kita mengenal nama-nama terkenal seperi Ki Hajar Dewantoro, Ki Mangunsarkoro, Ki Burhanudin, dan lain-lainnya. Seperti halnya Ki Bagus Hadikusumo, Ki Hajar Dewantoro semula bernama RM Surwardi Suryoningrat yang kemudian juga berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantoro konon karena alasan lebih merakyat. Padahal kalau melihat sejarahnya nama dan gelar Ki bukanlah nama dan gelar orang kebanyakan, melainkan nama tokoh besar dan berpengaruh.
Di samping itu, nama-nama wayang dalam dunia pewayangan, terutama para Punokawan, juga menggunakan nama “Ki”: Ki Lurah Semar, Ki Lurah Gareng, Ki Lurah Petruk. Tapi tidak untuk nama-nama punokawan yang berada di pihak kejahatan: Ki Togok atau Ki Belung. Tidak ada! Kemudian, mungkin agak lebih belakangan lagi, nama dan gelar Ki digunakan oleh para dalang wayang purwo, seperti Ki Nartosabdo, Ki Anom Suroto, Ki Timbul, dan seterusnya.
Mengapa memilih nama Jawa?
Pertanyaannya –ini pertanyaan antropolgis– adalah mengapa Hidayat berganti nama menjadi KI Bagus Hadikusumo? Padahal dalam satu keluarga Haji Hasyim nama-nama semua putra-putrinya menggunakan nama-nama Arab-Islam. Memang di antara mereka banyak juga yang berganti nama, tetapi tetap saja nama barunya adalah nama-nama Arab Islam. Lihat saja dua saudaranya yang lain: H. Fachrodin nama aslinya sebelumnya adalah Jazuli; dan Mohammad Soedja’ nama aslinya Daniel atau Danayel. Dari Arab dirubah menjadi Arab lagi. Ki Bagus tidak demikian: dari Arab menjadi Jawa!
Maka melihat namanya yang baru yang sangat mencerminkan priyayi Jawa, Ki Bagus Hadikusuomo, ada sesuatu yang secara antropologis berdimensi sangat penting dalam diri beliau. Tidak mustahil dimensi yang saya maksudkan terbut adalah bersifat ideologis. Apalagi jika diperhatikan penggunaan nama “Ki” yang ada kesamaannya dengan nama-nama atau gelar tokoh-tokoh yang berpengaruh, penguasa daerah-daerah istimewa tertentu dan sangat legendaris. Juga seperti nama dalang, punakawan, dan belakangan gelar yang dipakai orang-orang dan tokoh Perguruan Taman Siswa.
Ki Bagus Hadikusumo memang penampilannya sangat Jawa. Bahkan pakaian formalnya adalah busana tradisional Jawa lengkap dengan iket kepala atau blangkon. Ketika Ki Bagus diundang penguasa bala tantara Jepang untuk Bersama Bung Karno dan Bung Hatta berkunjung ke Tokyo bertemu Kaisar Jepang, Ki Bagus tetap mengenakan pakaian kebesaran Jawa tersebut. Berbeda dengan Sukarno dan Hatta yang mengenakan pakian jas lengkap ala orang Barat Eropa. Jadi Ki Bagus lebih Jawa daripada Bung Karno, dan lebih indigenous daripada Hatta.
Maklum Ki Bagus pecinta sastra Jawa. Beliau balajar sastra Jawa pada R. Ng. Sosrosoegondo yang nota bene juga penulis buku Judhagama. R. Soesrosoegondo, guru pada Kweekschool (Sekolah Keguruan), juga menulis buku Bausastra Bahasa Jawi, adalah ayah dari Ir. Soeratin, pendiri dan Ketua Umum PSSI pertama. Soeratin adalah adik ipar dr. Soetomo, simpatisan Muhammadiyah yang juga pendiri Boedi Oetomo. Soeratin menikah dengan R.A. Srie Woelan, adik kandung Dokter Soetomo, pendiri Budi Utomo tersebut.
Walhasil, Muhammadiyah awal itu sangat Jawa! Fenomena seperti ini juga tampak sekali dalam sejarah perkembangan Muhammadiyah di kota Solo yang tokoh-tokoh pendirinya, selain Haji Misbach dan Haji Dasuki, memiliki nama-nama Jawa: R. Ng. Sastrosugondo, Darsasmito, Harsolumakso, Sontohartono, R. Wignyodisastro, Wiryosandjojo (ayahnya dr. Soekiman dan dr. Satiman), R.Ng. S. Hadiwiyoto, dan agak sedikit belakangan Siswosudarmo, Mulyadi Djojomartono (pernah menjadi Menteri Sosial RI), Surono Wiroharjono (pimpinan majalah adil), dan lainnya. Fenomena ini relatif umum di berbagai wilayah Jawa.
Muhammadiyah memang reformis, tapi jauh dari kesan ke-arab-arab-an. Bahkan sangat Jawa. Ini menarik sekali! Saya pernah mendapatkan kiriman video pawai besar-besaran dalam rangka Milad Muhammadiyah Kota Gede, Yogyakarta, tahun 1925 dari Mas Sukriyanto AR, putra Pak AR. Fachruddin, Sebagian besar peserta pawai pria mengenakan pakaian Jawa lengkap dengan iket dan blangkon-nya. Dan jalannya arak-arakan tersebut diiringi gamelan Jawa dengan gending Lir-Ilir Tandure Wus Sumilir. Jawa banget!