YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ibroh merupakan pelajaran pokok dalam Islam yang dapat diambil dengan cara menggali subtansi inti yang terdapat pada sebuah peristiwa. Sebuah ibroh dapat diperoleh dari peristiwa masa lalu yang dialami seseorang. Hal ini bertujuan untuk membangun kebaikan dikemudian hari.
Pada Kamis, 24 September 2020, Aliansi Indonesia Damai (AIDA) bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan Lembaga Dakwah Khusus (LDK) PP Muhammadiyah menyelenggarakan Halaqah Alim Ulama dengan tema “Menguatkan Ukhuwah Melalui Pendekatan Ibroh”. Acara ini membahas berbagai peristiwa masa lalu, khususnya yang berkaitan dengan terorisme dan kekerasan.
Halaqah tersebut dibuka secara daring oleh Mahfud MD, Menko Polhukam RI, serta dihadiri Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Imam B. Prasodjo, Sosiolog Universitas Indonesia, Hasibullah Satrawi, Pemerhati Politik Timur Tengah, Ali Fauzi, Mantan Pelaku Terorisme, dan Hanyati Eka Laksmi, Penyintas Bom Bali 2002.
Mahfud MD dalam sambutannya mengungkapkan bahwa radikal dalam perspektif hukum memiliki makna yang negatif, yaitu sebuah upaya penentangan terhadap sistem yang sah dengan cara kekerasan. Dalam hal ini terorisme dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, perilaku intoleran dengan mengkafirkan orang lain yang berbeda keyakinan. Kedua, membunuh orang yang tidak sama dengan dirinya. Ketiga, wacana idiologis yang mempengaruhi pemikiran dengan kesesatan. Cara ini sangat halus, menyusup diseluruh lembaga tanpa kita sadari.
“Masa lalu selalu memberikan pelajaran yang berharga bagi kita semua. Tragedi terorisme yang telah terjadi di Indonesia tidak hanya menyengsarakan orang lain tapi juga bagi diri pelaku sendiri,” ujarnya.
Abdul Mu’ti menyampaikan, dalam upaya menekan terjadinya intoleransi dan terorisme, Muhammadiyah telah berkomitmen untuk menghadirkan wasathiyah Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah ayat 143.
Wasathiyah Islam yang didengungkan oleh Muhammadiyah dibangun atas lima pondasi. Pertama, wasathiyah sebagai sebuah realitas dan cita-cita yang sangat indah. Kedua, wasathiyah merupakan inti dari ajaran Islam yang seimbang. Ketiga, wasathiyah sebagai sikap dan perilaku yang tidak mengamalkan ritual dan perintah agama secara ekstrim. Wasathiyah menghendaki kehidupan yang wajar tanpa adanya kekerasan dan dendam.
Keempat, wasathitah bertujuan membentuk umat yang adil, baik dalam pemikiran dan perbuatan. Berlaku bijak dalam melihat segala problematika kehidupan. Kelima, wasathiyah mendorong setiap orang untuk membaur dan berbagi dengan sesama, tanpa melihat agama, rasa, suku, dan budaya. “Setiap orang memiliki sisi dan latar belakang yang berbeda satu dengan lainnya. Namun ketika sudah berada di ruang publik, kita harus mau berkonsultasi dengan yang lainnya dalam hal pemikiran, perilaku, dan kebijakan,” ungkap Abdul Mu’ti.
Ia menambahkan, Islam adalah agama yang baik dan sempurna, namun masih banyak dari para pemeluknya yang tidak menceminkan kebaikan dan kesempurnaan. Oleh sebab itu wasathiyah perlu ditonjolkan dalam keislaman setiap orang agar dapat menghadirkan Islam yang damai, saling bekerjasama dan bersinergi pada setiap urusan.
Imam B. Prasodjo mengatakan, QS Al-Maun telah menjadi tonggak utama perjuangan Muhammadiyah, yang tidak hanya mendorong pada aspek ketauhidan, namun juga menekankan pentingnya keshalehan sosial. Gerakan-gerakan berbasis QS Al-Maun seperti yang telah dicontohkan oleh KH. Ahmad Dahlan ini harus terus kita gelorakan kembali, agar menjadi inspirasi bagi umat manusia di dunia. “Surat ini mengisyaratkan sebuah makna yang sangat mendalam bagi keberlangsungan nilai-nilai kemanusiaan,” jelasnya. (diko)