Ide tentang Tafsir Al-Qur’an di Muhammadiyah: Sebuah Akar Sejarah

Ide tentang Tafsir Al-Qur’an di Muhammadiyah : Sebuah Akar Sejarah

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Penafsiran Al-Qur’an dan Persyarikatan Muhammadiyah adalah dua hal yang tak terpisahkan. Sebagai sumber elementer ajaran Islam, Al-Qur’an tidak hanya perlu dibaca, tapi terutama sekali dipahami maknanya. Usaha untuk memahami kandungan Al-Qur’an ini telah lama digagas dan dijalankan oleh Muhammadiyah.

Gerakan memberdayakan kaum lemah yang dikampanyekan oleh pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, berasal dari penafsiran sang kiai terhadap salah satu surat di dalam Al-Qur’an: Al-Ma’un (surat ke-107). Dari penafsiran terhadap surat ini (serta suratsurat lainnya di dalam Al-Qur’an) lahir dorongan untuk melakukan berbagai aksi sosial-keagamaan, yang kemudian diejawantahkan dalam berbagai amal usaha Muhammadiyah dalam seratus tahun terakhir.

T afsir Al-Qur’an secara keseluruhan juga menjadi salah satu perhatian Muhammadiyah, baik secara kelembagaan, maupun dari perspektif personal para tokohnya. Aly Aulia Imron (2011) menyebutkan setidaknya empat tafsir Al-Qur’an yang dihasilkan oleh para ulama Muhammadiyah. Pertama, Tafsir Al-Qur’an: Djoez ke Satoe yang disusun oleh beberapa ulama Muhammadiyah, di antaranya KH Mas Mansoer, KH A Badawi, KH Hadikoesoemo, KH Farid, dan H Aslam. Ketua Lajnah Tafsir ini adalah KH Hadjid. Sayang tidak diketahui persisnya bagaimana proses penulisan dan kapan penerbitan tafsir ini.

Kedua, Tafsir Al Bayan, yang disusun oleh Prof Dr TM Hasbi Ash-Shiddieqy (konsul Muhammadiyah Aceh tahun 1943-1946) yang terbit tahun 1971. Ketiga, Tafsir Al-Alzhar tahun 1967 karya Prof Dr HAMKA (anggota PP Muhammadiyah dari 1953-1971). Keempat, Tafsir Sinar yang disusun oleh H Malik Ahmad, serta diterbitkan tahun 1986 oleh LPPA Muhammadiyah. Patut ditambahkan di sini dua tafsir lainnya, yakni Tafsir Tematik Al-Qur’an tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (2000) dan tafsir yang baru saja diterbitkan oleh Muhammadiyah pada tahun 2016, Tafsir At-Tanwir Jilid 1.

Meski cukup banyak yang kita pahami tentang produk tafsir di kalangan ulama Muhammadiyah, agaknya masih sedikit di antara kita yang mengetahui akar dari usaha untuk melakukan tafsir Al-Qur’an di tengah warga Muhammadiyah sendiri. ‘Warga Muhammadiyah’ yang dimaksud di sini bukan hanya para ulamanya saja, tetapi juga anggota maupun simpatisan Muhammadiyah biasa.

Bagaimana ide tentang tafsir Al-Qur’an dikemukakan dan didiskusikan di kalangan Muhammadiyah terutama di dekade awal berdirinya organisasi ini?

Diskusi yang sangat menarik tentang perlunya Muhammadiyah menyusun tafsir Al-Qur’an (dan tafsir hadits Nabi Muhammad saw) sudah berlangsung sejak tahun 1923, atau sebelas tahun setelah Muhammadiyah berdiri. Ini tampak dalam sebuah rangkaian pertemuan yang digagas Muhammadiyah di kediaman Raden Wedana Djajengprakoso di Ngabejan (Ngabean), Yogyakarta. Pertemuan-pertemuan ini berlangsung antara hari Jumat malam, tanggal 30 Maret 1923, hingga hari Senin malam, 2 April 1923. Pertemuan ini dibagi dua: pertama, pertemuan yang dihadiri oleh para anggota dari cabang-cabang Muhammadiyah di seantero Jawa, dan kedua, pertemuan yang terbuka untuk umum.

Rangkaian pertemuan di atas membahas berbagai aspek, mulai dari pengajaran, tabligh (penyiaran agama), peraturan organisasi, taman pustaka, persatuan Islam, perkara umum umat Islam Hindia Belanda dan urusan lainnya. Sebagai salah satu aspek yang dibahas, bagian taman pustaka termasuk yang paling banyak mendapatkan perhatian audiens. Di sini diulas berbagai persoalan yang berkaitan dengan penerbitan materi yang berkaitan dengan ajaran agama, mulai dari publikasi karangan-karangan dalam Soewara Moehammadijah, penerbitan buku (handleiding) ilmu tauhid, serta buku tentang riwayat (sejarah) para tokoh Muhammadiyah.

Selain itu, dibahas pula tentang anjuran yang diutarakan para utusan dari sejumlah cabang Muhammadiyah di Jawa terkait dengan buku tafsir Al-Qur’an. Ada keyakinan di antara warga Muhammadiyah daerah bahwa sudah tidak cukup lagi bagi umat Islam untuk hanya menghafal ayat-ayat Al-Qur’an. Umat harus bisa pula untuk memahami hakikatnya dengan lebih dalam. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah tafsir Al-Qur’an yang menyeluruh, benar (ditafsirkan oleh ahlinya) dan, yang tak kalah pentingnya, mampu membawa pembacanya untuk menerapkan ajaran Islam yang ia baca di dalam kitab suci tersebut.

Dari notulen rapat itu diketahui bahwa utusan Muhammadiyah Blora, Jawa Tengah, mengajukan usul sebagai berikut (ejaan dibiarkan sebagaimana adanya):

Dipinta kalau Moehammadijah memboeat tafsir Al Koran atau Hadis Nabi, soepaja diterangkan dulu maksoed satoepersatoenja kalimat, sesoedahnja laloe diterangkan tafsirnja.

Sementara itu, delegasi Muhammadiyah cabang Pekalongan menberikan usul yang serupa, namun lebih spesifik:

Dipinta soepaja Moehammadijah berichtiar soepaja mentafsirkan Al Koran sampai ketigapoeloeh djoezoe’nja, didalam bahasa anak negeri.

Adapun utusan dari Poerbolinggo (Purbalingga) mengajukan usul berbeda, dengan menekankan urgensi bagi Muhammadiyah untuk melakukan penilikan terhadap tafsir Al-Qur’an yang sudah ada di tengah publik:

Hendaklah Moehammadijah menterdjamahkan tafsir jang soedah dipilih dan terdapat benar. Soepaja memeriksa tafsirnja Kjai Bisri di Soerakarta.

Yang menarik, di atas dikemukakan tentang tafsir Al-Qur’an yang disusun oleh Kiai Bisri asal Surakarta. Hanya saja, tidak diketahui secara terinci siapa Kiai Bisri, metode penafsiran yang ia lakukan, konten tafsirnya, serta konteks penafsiran Al-Qur’an yang ia susun.

Berbagai usulan yang diajukan oleh cabang-cabang Muhammadiyah di atas memperlihatkan bahwa akar tentang ide untuk menafsirkan Al-Qur’an secara utuh dan benar sudah hadir sejak tahun 1923. Sudah ada keperluan yang mendesak bagi warga Muhammadiyah di daerah, terutama yang melek huruf latin, untuk bisa memahami Al-Qur’an dalam bahasa sendiri, dalam hal ini bahasa Melayu.

Persyarikatan Muhammadiyah sendiri menyambut positif usulan tersebut. Dalam catatan keputusan rapat, diketahui bahwa usulan Muhammadiyah cabang Blora (ditulis sebagai usulan ‘No. 15’) ‘diterima’. Usulan dari Muhammadiyah cabang Pekalongan (usulan ‘No. 17’) juga dinyatakan ‘diterima’. Adapun usulan terakhir dari Poerbolinggo (ditulis sebagai usulan ‘No. 21’) juga diterima, namun dengan satu catatan. Catatan itu berbunyi:

Moehammadijah hendak memboeat tardjamah Al Koeran dengan memeriksa tafsirnja Kjai Imam Bisri dan Bagoes Arfah.

Walau tidak diketahui kapan persisnya tafsir pertama Muhammadiyah, Tafsir Al Qur’an: Djoez ke Satoe, terbit, namun berdasarkan ingatan kolektif warga Muhammadiyah, diperkirakan tafsir ini terbit setidaknya pada era 1930an. Kalau ini benar, itu artinya berselang sekitar satu dekade setelah rapat cabangcabang Muhammadiyah di atas serta tanggapan positif dari Muhammadiyah sendiri terhadap usulan tersebut. Dengan kata lain, bisa jadi tafsir Al Qur’an perdana di lingkungan Muhammadiyah itu merupakan respon Persyarikatan Muhammadiyah terhadap berbagai usul dari cabang-cabang Muhammadiyah dalam pertemuan di Ngabean pada tahun 1923 itu.

Muhammad Yuanda Zara, PhD, Sejarawan

Sumber: Majalah SM Edisi 19 Tahun 2018

Exit mobile version