Dinamika Bahasa, Sastra dan Geobudaya Arab Kontemporer

Dinamika Bahasa, Sastra dan Geobudaya Arab Kontemporer

Hajriyanto Y Thohari Dok Ist

Dinamika Bahasa, Sastra dan Geobudaya Arab Kontemporer

Oleh Hajriyanto Y. Thohari

Bahasa Arab sering disebut sebagai bahasa Islam. Meski pada kenyataannya bahasa Arab juga menjadi bahasa orang-orang Arab Kristen, seperti kaum Maronis di Lebanon, Ortodoks di Syria, Koptik di Mesir (yang secara numerikal jumlahnya cukup besar), bahkan juga bahasa orang-orang Yahudi yang tinggal dan menjadi warga negara di negara-negara Arab (yang juga cukup besar). Tapi di kebanyakan bagian dunia, apalagi di Indonesia, benar atau salah, memang ada penghimpitan yang sangat kuat antara keislaman dan kearaban. Setidaknya ada pandangan, benar atau salah, akan kesejajaran antara keislaman dan kearaban.

Pandangan yang sebenarnya lebih sebagai kesan dari pada kenyataan ini bukan hanya menancap di dalam impresi umat Islam belaka, melainkan juga di kalangan non-Islam. Dr. Anton Wessels, seorang Teolog Kristen dan guru besar di Vrije Universiteit, Amsterdam, juga mengabadikan kesan serupa, meskipun kemudian dia mencoba mengklarifikasinya. Dalam bukunya yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia Arab dan Kristen: Gereja-Gereja Kristen di Timur Tengah (terj. Tati S.L. Tobing-Kartohadiprojo, BPK Gunung Mulia, Cet Kedua, 2002), Wessels mengatakan bahwa “Banyak orang yang begitu mendengar sebutan orang Arab pikirannya segera terarah pada orang Islam”. Bahkan, setiap membaca atau mendengar Bahasa Arab segera terbayang kata Islam. Tak heran jika Wessels sampai mengingatkan adanya sebuah ungkapan yang sangat terkenal yang mengatakan bahwa “Bahasa Arab tak dapat dikristenkan”[1].

Saya dulu pernah mengira ungkapan-ungkapan alhamdulillah, masya Allah, insya Allah, subhanallah, mabruk, barakallahu fik, la haula wa la quwwata illa billah, wallahi, ya rabbi, dan lain-lainnya itu unik dan khas Islam. Tapi setelah tinggal di Lebanon lebih dari satu tahun saya baru mengalami secara empiris bahwa orang-orang Arab yang beragama Kristen pun biasa mengucapkan kata-kata atau kalimat seperti itu. Rupanya di Arab Allah adalah juga nama Tuhan bagi mereka yang beragama Kristen atau Masihiyyin sekalipun. Saya mempunyai beberapa teman Arab yang beragama Kristen juga biasa mengucapkan kata-kata atau frase itu.

Memang ada orang Kristen di Arab yang tidak mau mengucapkan kata-kata assalamu ‘alaikum, alhamdulillah, barakallahu, dan lain-lainnya. Tapi itu konon kabarnya merupakan fenomena baru dan hanya ditemui belakangan ini di kalangan individu-individu Kristen yang sangat fanatik dan fundamentalis. Mereka ini bahkan tidak mau menggunakan bahasa Arab moderen hanya karena bahasa Arab moderen lebih dekat alias nyaris tidak berbeda dengan bahasa Arab klasik (fusha) yang nota bene menjadi bahasa Al-Quran. Kira-kira mereka itu penganut Kristen radikal yang di Timur Tengah ada juga pengikutnya. Walhasil, fenomena fanatisme dan radikalisme keagamaan itu ada di mana-mana di seluruh dunia ini: universal!

Baiklah hal itu kita tinggalkan saja: kita tidak sedang berbicara soal-soal yang berat tentang sosiologi bahasa dan antropologi linguistik, apalagi mendiskusikan soal teologi, melainkan soal yang ringan-ringan saja, yakni tentang Dinamika bahasa, Sastra dan Geobudaya Arab Kontemporer di Lebanon seperti yang diminta oleh panitia penyelenggara Kuliah Umum ini, yakni Program Studi Bahasa dan Sastra Arab, Universitas Muhammadiyah Ahmad Dahlan, Yogyakarta.

Lughad al-Dhad

Saya akan mulai tulisan tentang Dinamika bahasa, Sastra dan Geobudaya Arab Kontemporer di Arab (tidak terbatas Lebanon) ini dengan mengutip sebuah ungkapan, atau tepatnya adagium Arab yang sangat populer: “Lisanu al-dhad yajma’una” لسان الضاد يجمعنا ) ), yang artinya  “Lisanu aldhod mengumpulkan atau menyatukan kita”. Pasalnya, adagium ini sangat mewarnai perjalanan dan dinamika bahasa, sastra dan geobudaya Arab. Geobudaya adalah  kajian yang menganalisis geografi dengan rujukan budaya atau kebudayaan, culture. Karena persamaan bahasa dan beberapa unsur universal kebudayaan lainnya maka kawasan dunia Arab dapat disebut sebagai satu geobudaya. Bahkan sebetulnya bukan hanya budaya, melainkan juga politik Arab secara keseluruhan yang akhir-akhir ini mengalami transisi yang sarat dengan dinamikanya yang tersendiri dengan segala romantisisme yang kadang bersifat sentimental.

Barangkali ada sedikit orang yang belum tahu bahwa bahasa Arab itu juga dinamakan bahasa Dhod (the language of Dhod, lughatu al-dhad, لغة الضاد) atau bahasa Dho’ (لغة الظاء  (. Memang dalam soal dhad atau dha’ ada perdebatan seru. Saya rasa sak jek jumblek baru kali ini saya menemukan ada bangsa yang sampai begitu gigih dan penuh antusiasmenya memperbincangkan perbedaan dua buah huruf sehingga menjadi khazanah intelektual tersendiri, yakni sampai melahirkan banyak buku yang membahas secara intensif dan ekstensif perbedaan kedua huruf tersebut secara fonemis, fonetik, dan morfologis[2].

Barangkali saja ada yang akan masih tetap terheran-heran mengapa orang Arab begitu mengitimewakan huruf dhod di antara huruf-huruf hijaiyah yang lain. Begini ceritanya: huruf dengan bunyi seperti dhod (ضاد ) itu konon hanya dimiliki oleh bahasa Arab. Artinya tidak ada bangsa ‘Ajam (non-Arab) manapun yang memiliki bahasa yang ada bunyi seperti huruf dhod (ضاد ). Tak heran jika hanya orang Arab natiqy (Arabic native speaker) saja yang bisa melafadzkannya dengan benar dan fasih. Huruf dhod akhirnya dijadikan alasan untuk membedakan (pembeda) orang Arab dan orang ‘Ajam. Bahkan lebih daripada itu, dan hal itu di atas segalanya, gara-gara huruf dhod inilah bahasa Arab juga dinamakan bahasa Dhod (the language of Dhod, lughatu al-dhod, الضاد لغة ).

Orang Arab sepertinya memang sangat mengagumi huruf dhod (ضاد atau  الضاد), dan mengistimewakannya di atas huruf-huruf al-hijaiyah yang lain. Huruf dhod (ضاد atau  الضاد) bahkan memiliki magnitude tersendiri, sehingga saking bernilainya sampai ada ungkapan yang sangat terkenal di kalangan bangsa Arab dengan segala variasinya itu tadi: “Harfu l-dhod yajma’una” (حرف الضاد يجمعنا   ) atau “Lisanu al-dhad yajma’una” لسان الضاد يجمعنا ) ), yang artinya  “huruf dhod mengumpulkan dan menyatukan kita”.

Mengapa “huruf dhod menyatukan kita”? Jawabnya tidak lain karena setiap orang arab jika diminta mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “bangsa arab” mereka akan mulai dengan mengatakan bahwa bangsa Arab adalah meliputi semua masyarakat yang berbicara dengan bahasa Arab (Bahasa dhad)[3]. Walhasil yang menyatukan bangsa dari Maroko sampai Irak, dari Lebanon sampai Yaman, yang kini terpisah menjadi 22 negara itu, adalah dan hanyalah Bahasa Arab. Secara etnis banyak di antara mereka sebenarnya asal-usul atau origin-nya bukan Arab. Mereka menjadi Arab (musta’ribah) adalah karena sama-sama berbicara dalam Bahasa Arab.

Sampai di sini pembaca pasti sudah mafhum mengapa dan kenapa bahasa Arab dinamakan lughatu Dhad. Pasalnya adalah, sekali lagi, karena bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa di dunia ini, baik yang sudah mati maupun masih hidup, yang diklaim sebagai memiliki huruf dan bunyi dhad (atau dha’). Tidak ada bahasa lain satupun di dunia ini yang memiliki huruf Dhod  atau huruf lain yang bunyinya seperti Dhad (dan Dho’). Tak heran jika para penutur non-Arab (ghoiru al-natiqin), termasuk orang Indonesia, selalu mengalami kesulitan mengucapkan huruf ini dengan baik dan fasih seperti halnya penutur asli. Jangankan membedakan secara jelas antara lafdz huruf Dhad dan Dha’, bahkan kadang-kadang campur baur antara Dhad, Dha’, Dal (د ) dan dzal  د   sehingga menjadi tidak karu-karuan apa perbedaan di antara keempatnya. 

Hanya orang Arab yang memang sebagai penutur asli (ناطقي , native speaker) bahasa Arab saja yang bisa melafadzkan huruf-huruf tersebut dengan jelas (fasih). Apalagi bahasa Arab memang bahasa yang mementingkan kefasihan bunyi (fonem, makhraj) yang dipelajari secara mendalam dalam ilmu fonemik dan fonetik. Tak heran jika kamus bahasa Arab lebih sering dinamakan Lisanu l-‘Arab (Arab Tongue) daripada dictionary karena lebih mementingkan lisan atau posisi lidah. Penutur non-Arab senantiasa merasakan kesulitan pengucapan antara huruf Dha’ dan Dhad itu. Itulah alasannya mengapa kemudian bahasa arab disebut bahasa Dhot. Oleh karena bahasa Arab disebut bahasa Dhad maka Bangsa Arab juga disebut Bani al-Dhad (بني الضاد (, yang artinya “anak-anak Dhad” atau “Orang-orang kaum Dhod”! Menarik bukan?

Sampai di sini terjawab lah sudah maksud ungkapan “huruf dhod mengumpulkan dan menyatukan kita” tersebut di atas. Harfu l-dhad”, atau  “Lisanu al-dhad” itu sama dengan lughatu al-dhod, dan itu adalah nama lain dari Lughatu Arabiyah  alias Bahasa Arab. Nah, seperti kita ketahui bersama, sebagaimana yang dikatakan Albert Hourani dalam bukunya yang masyhur Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939, bahwa orang arab jika diminta mendefinisikan apa yang dimaksud dengan “bangsa arab” mereka akan mulai dengan mengatakan bahwa bangsa Arab adalah meliputi semua masyarakat berbahasa Arab. Walhasil, bahasa Arablah yang menjadikan orang Arab merasa dirinya bangsa Arab.

Walhasil, bahasa Arablah yang menjadikan orang Arab merasa dirinya bangsa Arab. Dengan kata lain bahasa Arablah yang membentuk bangsa Arab. Itulah maksud dari ungkapan yang sangat terkenal di Arab tersebut di atas: “Lisanu al-dhad yajma’una”, dan atau “Lughatu al-dhad yajma’una”, yang artinya, Lisanu al-dhad atau bahasa Dhod mengumpulkan kita (orang arab!).

Kedua puluh dua negara Arab tersebut secara politik tergabung dalam Liga Arab. Kearaban mereka malah ditegaskan dalam semua konstitusinya masing-masing secara tegas dan ekspilisit: berbahasa resmi Arab dan beridentitas Arab. Bayangkan, betapa “sakti”-nya huruf dhod itu dalam pandangan orang Arab. Apa coba istimewanya sebuah huruf? Tapi begitulah bangsa Arab yang dikenal sebagai bangsa yang sangat membanggakan bahasanya.

Wilayah dan kawasan 22 negara yang tergabung dalam Liga Arab itu membentuk bukan hanya geopolitik, melainkan geobudaya tersendiri. Itulah yang disebut dengan Dunia Arab. Sebuah dunia yang sampai sekarang masih terus mengalami pergolakan di hampir semua sector kehidupan, bukan hanya politik dan keagamaan, melainkan juga termasuk kebudayaan. Kita mengenal wacana tentang Pan-Arab, nasionalisme Arab, Arabisme, neo-Arabisme, dan lain-lainnya. Kesemuanya itu adalah merupakan dinamika yang sangat menarik untuk diperbincangkan.

Walhasil, bahasa Arablah yang menjadikan orang Arab merasa dirinya bangsa Arab. Dengan kata lain bahasa Arablah yang membentuk bangsa Arab. Itulah arti ungkapan yang sangat terkenal di Arab.

Bahasa yang sangat kaya

Keunikan bahasa juga dalam konteks sangat kaya raya-nya bahasa Arab  dengan kosa kata. Tentang kayanya Bahasa Arab secara sekilas saja kita bisa melihat betapa tebalnya kamus Bahasa Arab. Kamus Lisanu al-Arab (The Tangue of the Arab), karya magnum opus-nya Ibnu Mandzur  (1232-1331), seorang pakar Leksikografi Arab yang luar besar, terdiri dari 18 jilid tebal (ada juga versi 10 jilid dan 15 jilid, tergantung ketebalan dan atau penerbitnya). Kamus Muhitu al-Muhid karya Butros Bustani terdiri dari 9 jilid tebal. Dari ketebalan dua contoh kamus itu saja Anda bisa membayangkan jutaan kata yang dijelaskan maknanya di sana. 

Bahasa Arab konon memiliki 12.302.912 (baca: dua belas juta tiga ratus dua ribu Sembilan ratus dua belas) kata. Bandingkan dengan Bahasa Inggris yang kekayaan kosa kata-nya hanya berjumlah 600.000 kata dan bahasa Perancis 150.000 kata. Untuk memberikan gambaran betapa tebalnya bahasa Arab, bayangkan saja bahwa ada 60.000 kata vocabulary bahasa Arab dan 6.000 akar kata bahasa Arab. Sementara rata-rata pembicara native speaker Inggris tahu sekutar 35.000 kata saja. Dan sekitar 900 kosa kata dalam bahasa Inggris memiliki asal dari bahasa Arab. 

Bahasa Arab juga kaya sekali dengan kosa kata. Kata ibil (الابل artinya unta) memiliki sinonim lebih dari 1000 kata; kata ‘asl  (عسل) yang artinya madu ada 80 kata; al-saif (السيف  , artinya pisau) memiliki 1000 kata; al-asad (الاسد  artinya singa) 500 kata; kata  ثعبانyang artinya ular (snake) 200 kata, dan sederert lagi contoh lainnya. Tak heran jika ada yang mengklaim, benar atau salah, bahasa Arab adalah bahasa yang paling kaya di dunia.

Mungkin karena keunikan-keunikan tersebut di atas ditambah dengan fakta bahwa bahasa Arab itu memiliki alphabet dan struktur kalimat yang tidak sama dengan alphabet latin yang banyak digunakan di sebagian besar negara di dunia ini maka bagi kebanyakan orang yang belajar bahasa Arab membutuhkan waktu yang lebih lama (take some time) daripada belajar bahasa asing lainnya. Apalagi kalau kita terlalu lama berkutat dalam berlatih mengucapkan huruf Dhat dan Dho’ tadi karena ingin sefasih orang Arab! Hehehe.

Kemampuan bertahan           

Di samping klaim yang unik tersebut, bahasa Arab itu, kata banyak orang, juga dikenal sebagai bahasa yang paling indah di dunia (the world’s most beautiful language). Dr. Nurcholish Madjid, yang juga sarjana Sastra Arab itu, dan dia sama sekali bukan orang Arab, saking merasakan begitu hebatnya bahasa Arab sampai menyebutnya secara dramatis sebagai mukjizat Ilahi.[4]

Saya rasa mukjizat di sini bukan terutama dalam hal keindahan saja, sebab bagaimanapun juga keindahan itu, sebagaimana kecantikan, sifatnya subyektif, atau bahkan nisbi, dan karena itu tidak bisa dipaksakan. Dalam pandangan Cak Nur, kata mukjizat tersebut memang terutama dilihat dari sudut kemampuan bahasa Arab bertahan setelah ribuan tahun yang luar biasa itu. Bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa Semitik yang telah berusia ribuan tahun (A Semitic language that is thousands of years old) yang sampai hari ini masih bertahan hidup.

Ada empat bahasa yang paling berpengaruh dalam sejarah dunia, yaitu bahasa Sansekerta, Yunani, Latin dan Arab. Tiga bahasa yang pertama sudah mati, tetapi bahasa Arab tetap hidup. Kata Cak Nur “Jangankan membaca bahasa Latin (yang ditulis) ratusan tahun yang lalu, sekarang saja sudah susah. Sementara buku-buku bahasa Arab itu (yang ditulis) sejak ratusan tahun sebelum Nabi dapat dibaca seperti bahasa sekarang. Jadi mukjizat betul bahasa Arab itu”.[5]

Bahasa Arab sejak hampir lima puluh yang lalu juga telah menjadi bahasa resmi (official language) PBB berikut seluruh badan-badan (councils) di bawahnya. Walhasil, bahasa Arab memiliki kedudukan politik sejajar bersama dengan hanya lima bahasa dunia lainnya, yakni bahasa Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan China, menjadi bahasa resmi di PBB. Gengsi, prestasi dan reputasi Bahasa Arab yang sudah tinggi tersebut bertambah terdongkrak lebih tinggi lagi oleh keberhasilan sastrawan Arab Mesir, Naguib Mahfouz, meraih hadiah Nobel bidang sastra pada tahun 1988. Pasalnya, Naguib Mahfouz menulis dalam bahasa Arab.

Bahasa Arab sampai satu dasawarsa yang lalu masih kokoh menjadi bahasa resmi di 22 negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab. Dengan estimasi orang Arab berjumlah sekitar 420 juta, di mana 290 juta dari mereka adalah penutur asli (native speaker atau al-natiqun al-arabiyyun), maka bahasa Arab menjadi bahasa terbanyak kelima yang digunakan oleh manusia di planet bumi ini. Bahkan di Israel, ada banyak sekali warga negara Israel keturunan Arab yang masih tetap setia menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa ibu (mother tongue). Lebih dari pada itu orang Arab memang memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap bahasanya dibandingkan masyarakat mana pun di dunia. Orang Arab memandang bahasanya, bahasa Arab, bukan hanya sebagai seni tertinggi, melainkan juga warisan bersama yang hebat.

Sebagai warisan yang sangat dibanggakan maka dalam setiap kurun waktu selalu ada Gerakan yang berusaha untuk membangkitkan kebudayaan Arab. Gerakan Al-Nahda atau tepatnya dan lengkapnya Al-Nahdhah Al-‘Arabiyah (Gerakan kebangkitan Arab) yang mulai marak pada awal abad 19 dan awal abad 20. Proyek kebangkitan Arab tersebut selalu memiliki pendukung protagonis proyek kebangkitan dan modernisasi Arab. Memang, untuk bangkit kembali menuju kejayaan, suatu bangsa memang kadang perlu menengok ke warisan lama yang sudah menjadi masa lalu. Tradisi masa lalu itu penting, apalagi tradisi intelektual. Asalkan tradisi intelektual itu disikapi dan dipelajari secara kritis. Jangan pernah membuang tradisi intelektual, tapi jangan juga membebek saja. Belajar pada masa lalu secara kritis untuk bekal menghadapi masa depan.***

Pasang surut Bahasa Arab: Kasus Lebanon

Apakah dengan demikian bahasa Arab sekarang ini dapat dikatakan sebagai paling kuat di dunia? Jawabnya hampir pasti: tidak! Bahasa yang paling kuat di dunia saat ini (the most powerful language in the world) adalah bahasa Inggris. Bahasa Inggris hampir-hampir telah menjadi satu-satunya bahasa global. Globalisasi bahasa Inggris telah melanda seluruh dunia tanpa kecuali. Penggunaan bahasa Inggris makin meluas, di media seperti film, TV show, internet, dan sosial media, menjadi jalan propaganda yang sangat mengagumkan bagi perkembangan bahasa Inggris. Segala sesuatu ada dalam bahasa Inggris! Bahasa Inggris mendesak bahasa manapun juga, termasuk bahasa Arab. Kemerosotan bahasa ibu terjadi dimana-mana di seluruh dunia.

Penggunaan bahasa Inggris makin meluas dan mendesak bahasa Arab, bahkan di negara-negara Arab yang berbahasa Arab sebagai bahasa ibusekalipun! Memang benar kemerosotan bahasa ibu akibat perkembangan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia yang terkuat saat ini tidak hanya terjadi di dunia Arab, tetapi juga dialami dan terjadi di hampir seluruh dunia. Begitu dramatisnya tekanan itu sampai Hayat al-Yaqout, pendiri dan Editor in Chief Rumah Penerbit buku, menulis “Arabic vs English: Mother tongue threatened by language globalization.” [6]

Adalah cukup mengejutkan eksistensi bahasa Arab dalam beberapa tahun terakhir ini makin mengundang kekhawatiran yang luas di dunia Arab. Kekhawatiran ini bukan hanya terjadi di Negara-negara Arab musta’ribah, yakni bangsa-bangsa yang menjadi Arab karena diarabkan atau terarabkan (Arabized), seperti misalnya bangsa-bangsa Arab Levant (Biladu Syam: Lebanon, Suriah, Yordania, Palestina), Mesir, libya, Tunisia, Aljazair dan Maroko, melainkan yang lebih mengejutkan lagi juga bangsa-bangsa Arab asli, seperi Arab Teluk. Intinya adalah bahwa betapa bahasa Arab semakin ditinggalkan oleh generasi muda di negeri Arab sendiri.

Anak-anak muda Arab semakin jauh dari bahasa Arab. Seorang guru di Lebanon mengeluhkan betapa muris-muridnya sudah mulai belepotan berbicara bahasa Arab, dan jauh lebih fasih berbicara dalam bahasa Inggris. Bahkan ketika sang guru menanyakan sesuatu dengan bahasa Arab, muridnya menjawab dengan bahasa Inggris. Para muridnya sudah tidak bisa lagi berbicara dalam bahasa Arab dengan benar dan karena itu mereka berbicara dalam bahasa Inggris atau Perancis.

Apalagi di Lebanon yang dikenal sebagai bangsa poliglot (polyglot nation, multilingual nation), yakni bangsa yang menguasai dan bisa berbicara dalam banyak bahasa, setidaknya tiga bahasa: Arab, Inggris dan Perancis. Bahasa Arab di sini pun terutama adalah bahasa Arab kolokial (colloquial) atau bahasa percakapan sehari-hari, bukannya bahasa Arab baku (modern standard Arabic), apalagi jelas bukan bahasa Arab Fusha atau klasik (classical Arabic). Bahasa Arab fusha dan standar hanya dipakai dalam pidato-pidato resmi Presiden dan pejabat tinggi negara dalam acara-acara yang resmi pula, ceramah atau khutbah Jumat di masjid, dan khutbah kebaktian di gereja.

Novelis paling terkenal Lebanon seperti Amin Maalouf lebih banyak menulis dalam Bahasa Perancis daripada Arab. Demikian juga para penulis sastra Lebanon pasca Khalil Gebran, seperti Alexandre Najjar, Elias Khoury, dan lain-lainnya banyak menulis dengan Bahasa Inggris dan Perancis.

Di Lebanon nasib bahasa Arab klasik atau modern (modern Arabic) yang dekat sekali dengan bahasa Arab fusha itu lebih mengundang kekhawatiran yang lebih luas lagi. Keluhan yang sama juga terjadi di Mesir. Dengan bahasa Inggris yang sangat sempurna seorang muda keturunan Arab yang tinggal di Amerika Utara mengatakan: “I forgot my Arabic tongue, and lost my homeland in the process. I feel like I’m slowly becoming more and more disconnected from my Arab roots’’. “Saya telah melupakan Bahasa Arab maka saya dalam proses kehilangan ruh ketuhanan dan keislaman, karena pelan tapi pasti saya akan terpisahkan dari akar-akar kearaban saya”.

Bahasa sebagai identitas kultural

Bahasa adalah unsur universal kebudayaan yang paling utama. Jika bahasa mati maka matilah kebudayaannya, dan akhirnya matilah pula jati dirinya sebagai bangsa. Anna Luisa Dalgneault, seorang penulis lagu, musisi, dan sarjana Antropologi Linguistik, mengatakan “When you are losing a language, you are losing much more than words and sentences and terms of things. You’re losing a whole worldview”. (Ketika kamu kehilangan bahasamu, kamu bukan hanya kehilangan kata-kata, kalimat dan istilah-istilah sejenisnya. Sesunggguhnya kamu sedang kehilangan pandangan dunia (ideologi). Mengapa bisa sedemikian seriusnya? Pasalnya “Language is a fundamental pillar of cultural identity –you cannot mantain a cultural identity without mantaining the language. Leave us our language, and leave us our identity.

Kini seiring dengan fenomena kemerosotan posisi Bahasa Arab bangsa Arab juga memasuki era baru di bidang sosial dan politik yang oleh banyak pengamat disebut sebagai transisi kebudayaan Arab dalam berbagai bidang: termasuk di dalamnya kebudayaan politik atau Arab political culture.[7] Transisi ini tampak sekali, terutama akhir-akhir ini, ketika dunia Arab menghadapi dan meresponse kampanye yang sangat intensif dan ekstensif yang dilakukan Amerika Serikat untuk apa yang disebut dengan proposal perdamaian Israel-Arab yang berjudul Peace to Prosperity: A Vision to Improve the Lives of the Palestinian and Israeli People (diajukan secara resmi pada 28 Januari 2020 oleh Presiden Donald Trump) dan kampanye untuk menggiring negara-negara Arab untuk melakukan perdamaian dengan Israel. Langkah yang terakhir ini telah berhasil membawa Uni Emirat Arab dan Bahrain meneken perjanjian perdamaian dengan Israel yang diduga akan diikuti oleh beberapa negara Arab lainnya. Kesepakatan perdamaian tersebut memiliki resonansi yang sangat kuat dalam konsep kearaban (Arabisme) juga dalam berbagai bidang, termasuk Bahasa, sastra, geobudaya, dan tentu saja politik Arab. Tentu ini memerlukan pembahasan tersendiri lebih lanjut secara lebih mendalam.

Kita orang Indonesia dalam mempertahankan dan mengembangkan bahasa Indonesia perlu belajar pada pengalaman bangsa Arab memperlakukan bahasa kebanggaannya sekarang ini, terutama ketika menghadapi tekanan bahasa Inggris sebagai bahasa dunia (global) yang semakin perkasa sekarang ini. Para ahli bahasa dan pemimpin Indonesia harus memiliki strategi, terutama strategi kebudayaan, bagaimana menjadikan bahasa Indonesia itu bisa bertahan dan menjadi bahasa yang terhormat di dunia ini.

Tantangan bahasa Inggris terhadap bahasa Indonesia di tanah air kita (Mother tongue threatened by language globalization) memang belum seberat dan separah yang dihadapi bahasa Arab di dunia Arab. Pasalnya, masih sangat sedikit orang Indonesia yang berbicara dengan bahasa Inggris. Tetapi melihat kecenderungan global sekarang ini pada saatnya rasa-rasanya, menurut prediksi saya, tantangan semacam itu akan datang juga.

Mengulang apa yang dikatakan oleh Anna Luisa Dalgneault di atas: “Bahasa adalah pilar utama sebuah identitas dan kebudayaan. Kamu tidak dapat mempertahankan identitas budayamu tanpa mempertahankan bahasamu. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Biarkan kami dengan bahasa kami, biarkan kami dengan identitas kami”. Bahasa ternyata sesuatu yang sangat serius, bukan?***

Hajriyanto Y. Thohari, Ketua PP Muhammadiyah (2015-2020)


[1] Anton Wessels, Arabier an Christen: Christelijke kerken in het Midden-Oosten (1983),

diterjemahkan Tati S.L. Tobing-Kartohadiprojo ke dalam bahasa Indonesia Arab dan Kristen: Gereja-Gereja Kristen di Timur Tengah (terj., BPK Gunung Mulia, Cet Kedua, 2002).

[2] Di antara kitab-kitab tersebut adalah:

(1) Ma’rifatu al-Dhod wa al-Dho’ ( معرفة الضاد والظاء ) karya Abu Hasan Ali bin Abi al-Farji al-Qushairi  (أبو الحسن علي بن ابي الفرج القيسي).

(2) Hasru Harfi al-dho’ (حصر حرف الظاء) karya Abu al-Hasan Ali bin Mohammad bin Tsabit al-Khaulani ((أبو الحسن علي علي بن محمد بن ثابت الخولاني.

(3) Nadhairu al-Dha’ wa al-Dhod ( نظائر الظاء والضاد) oleh Imam Jamaluddin Muhammad bin Malik al-Thoi ((الامام جمال الدين محمد بن مالك الطائي.

(4) Ada’u al-Dhod (أداء الضاد ) yang ditulis oleh Mohammad Abi Bakar al-Mar’asly  (محمد بن أبي بكر المرعشلي).

(5) Dha’atu al-Qur’an ( ظاءات القران ) karya Imam Abu Rabi’ Sulaiman Bin Abi Al-Qasim ( (الامام ابو الربيع سليمان بن أبي القاسم.

(6) Al-Farqu Bain al-Dhod wa al-Dho’ ( الفرق بين الضاد والظاء  ( karya Abu Umar wa Ustman Bin said al-Dany (ابو عمروعثمان بن سعيبد الداني).

(7) Al-Dho’ (الظاء) karya Yusuf Bin Sulaiman Bin Abdu al-jabbar al-Muqaddisy (يوسف بن سليمان بن عبد الجبار المقدسي).

(8). Syarh Abyat al-Daniy al-Arba’ah Al-Arba’ah *شرح أبيات الداني الاربعة* (المؤلف مجهول), (Tidak diketahui penulisnya majhul).

(9). Al-Farqu Bain al-Dhod wa al-Dho’ ( الفرق بين الظاء والضاد) karya Abu Qasim Said Bin Ali al-Zanjani ( (ابو القاسم سعد بن علي الزنجاني.

(10). Al-Farqu Bain al-Dhad wa al-Dha’ ( الفرق بين الضاد والظاء yang ditulis oleh Abu Bakar Abdullah Bin Ali al-syaibani ((ابو بكر عبد الله بن علي الشيباني.   

(11). al-Dhod wa al-Dho’ (الضاد والظاء ) karya Abu al-Faraj Muhammad Bin Abdullah Bin Ali Al-Syaibani ( (ابوالفرج محمد بن عبد الله بن علي الشباني.

            (12). Al-Misbah fi al-Farqi Bain al-Dhad wa al-Dha’ ( المصباح في الفرق بين الضاد والظاء  ) dikarang Abu ‘Abbas Ahmad Bin Hamad Bin Abi Al-Qasim  (ابو العباس احمد بن حماد بن أبي القاسم).

[3] Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age 1798-1939, The Press Syndicate of The University of Cambridge, 1983.

[4] Lihat Pesan-Pesan Takwa Nurcholish Madjid: Kumpulan Khutbah jum’at di paramadina, Jakarta, 2000, hal. 189.

[5] Lihat Nurcholish Madjid, Atas Nama Pengalaman: Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi, Kumpulan Dialog Jumat di Paramadina, Paramadina, Jakarta, 2005, hal. 146.

[6] Kuwait Times, 14 November 2015.

[7] Elie Koddurie, Democracy and Arab Political Culture, A Washington Institute Monograph, Washington, D.C., 1992.

Exit mobile version