Menguji Kualitas Pilkada dengan Protokol Kesehatan, Apakah Cukup?

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Semenjak kasus pertama Covid-19 diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada awal bulan Maret 2020, banyak hal yang sebenarnya bisa dilakukan dalam menanggulangi pandemi Covid-19, namun tak satu pun opsi dapat terealisasi secara maksimal.

Alhasil, pandemi samakin tak terkendali dan Indonesia berada dalam kondisi darurat. Sangat disayangkan, pemerintah tetap bersikukuh untuk terus menyelenggarakan pilkada di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, tanpa mempertimbangkan keselamatan nyawa masyarakat.

Busyro Muqoddas, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengungkapkan bahwa sudah saatnya pilkada diletakkan dalam bingkai untuk bersikap adab terhadap rakyat. Mewujudkan serta menjunjung tinggi moralitas demokrasi, HAM dan keadaban yang sesuai dengan pembukaan UUD 1945, prinsip kedaulatan rakyat dan the rule of law.

“Pilkada atau pemilu harus dimaknai sebagai pemenuhan hak dasar rakyat untuk memperoleh proses pelaksanaan yang jujur, adil, bebas, terbuka, dan aman dari tekanan, manipulasi serta ancaman, termasuk ancaman keselamatan jiwa,” ungkap Busyro.

Ia menambahkan, terdapat beberapa faktor sosial budaya yang menekankan bahwa pelaksanaan pilkada saat pandemi harus ditundanya. Pertama, pesatnya penularan Covid-19 dan tajamnya angka kematian. Menyusul dampak sosial, ekonomi, dan pendidikan yang semakin tidak terkendali dengan profesional. Kedua, kesehatan dan keselamatan jiwa merupakan kebutuhan mendasar bagi rakyat di saat pandemi melanda.

Ketiga, semakin kuatnya dominasi para elit sebagai rentenir politik dalam proses pembusukan demokrasi pilkada dapat memperkuat praktek politik uang. Hasilnya adalah terjadinya praktek demokrasi liberal-transaksional. Keempat, munculnya wabah budaya neo-feodalisme. Maraknya dominasi dinasti politik yang berepisentrum dari elit istana kepresidenan bersama elit parpol dan bisnis.

Produk yang dihasilkan oleh demokrasi liberal transaksional ini diantaranya, korupsi politik yang merata dalam skala nasional. Pelemahan sistemik atas lembaga-lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, Polri, dan Peradilan. Berpeluang macetnya pengusutan secara terbuka terhadap mega skandal kasus korupsi, BLBI, Bank Century, Hambalang, PLN, e-KTP, reklamasi teluk Jakarta, mega proyek Meikarta, papa minta saham PT Freeport, tragedi Joko Candra, Wahyu mantan Komisioner KPU, dan misteri politisi Harun Masiku.

“Selain itu, terjadinya korupsi legislasi melalui revisi RUU KPK, UU Minerba, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, dan pemaksaan terhadap pembahasan serta pengesahan RUU Omnibus Law yang secara jelas merugikan rakyat,” ujarnya dalam sebuah Webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Hukum dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah dengan tema “Pilkada Berkualitas Dengan Protokol Kesehatan: Utopia atau Realita” pada Rabu, 30 September 2020.

Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI dalam sambutannya menyampaikan, penyelenggaraan pilkada yang rencananya akan berlangsung pada tanggal 9 Desember masih menuai banyak polemik. Pandemi masih menyisakan kekhawatiran bagi seluruh elemen masyarakat. Namun hak politik publik untuk memilih dan dipilih harus dipenuhi. “Meskipun situasinya sangat dilematis, pemerintah bersama KPU tetap menyelenggarakan pemilu dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat,” paparnya.

Pandu Riono, Ahli Epidemiologi Universitas Indonesia mengatakan, tidak ada yang tahu kapan pandemi di Indonesia akan berakhir, karena tidak ada niat dan upaya yang serius dari pemerintah untuk mengakhiri. Walaupun angka penularan terus mengalami kenaikan namun cara yang dilakukan pemerintah tetap sama. Tambal sulam adalah cara penanganan pandemi yang saat ini dilakukan oleh pemerintah. “Pandemi ini tidak bisa dihadapi hanya dengan cara tambal sulam. Tidak ada program jangka panjang yang jelas dari pemerintah untuk mengakhiri wabah ini,” ujar Pandu.

Ia menilai bahwa penyelenggaraan pilkada di tengah situasi pandemi dapat berakibat fatal. Dikhawatirkan akan banyak tercipta klister baru pemilu. Jika penularan virus tidak terkendali maka rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya tidak akan mampu menampung, walaupun hanya 5% dari jumlah populasi penduduk secara keseluruhan.

“Meski mengikuti protokol kesehatan yang ketat saat pemilu berlangsung, tidak ada yang bisa menjamin seseorang dapat terhindar dari virus Covid-19. Seharusnya pilkada ini ditunda mengingat virus yang semakin tidak terkendali di Indonesia,” tegasnya. (diko)

Exit mobile version