Muhammadiyah dan Batik dalam Lintasan Sejarah
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Sejak tahun 2009, tanggal 2 Oktober diperingati di Indonesia sebagai Hari Batik Nasional. Ini adalah tanggal ketika batik ditetapkan secara resmi oleh UNESCO (lembaga PBB yang menangani urusan pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan) sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity). Sebagai bentuk penghormatan pada batik sebagai warisan kultural Indonesia, pada tanggal ini serta di hari-hari selanjutnya di bulan Oktober masyarakat Indonesia dianjurkan untuk mengenakan batik dalam aktivitasnya sehari-hari. Di samping itu, para desainer pun turut ambil bagian dalam memamerkan batik terbaru karya mereka. Bazar batik digelar di berbagai tempat dan menarik minat banyak pengunjung.
Walau urusan berbatik adalah urusan personal dan kultural, nyatanya Muhammadiyah, sebagai organisasi sosial keagamaan yang telah berusia seabad lebih, sudah lama pula bersinggungan dengan batik. Bagaimana relasi awal Muhammadiyah dan batik? Seperti apa representasi batik dalam sejarah Muhammadiyah serta di masa kini?
Hubungan awal antara batik dan Muhammadiyah harus dicari dari sejarah kelahiran Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Di tahun-tahun sebelum Muhammadiyah berdiri, kampung ini tak hanya dikenal sebagai kampungnya abdi dalem Kasultanan Yogyakarta (abdi dalem pamethakan). Para abdi dalem ini juga punya pekerjaan lain, yakni sebagai pengrajin batik. Kerajinan batik tak hanya melahirkan para pengrajin, tapi juga mata rantainya yang lain, terutama sekali saudagar batik. Beberapa warga Kauman menjadi kaya karena berdagang batik. Salah satu di antaranya adalah Kiai H Abubakar, yang merupakan ayah dari pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Kemampuan finansial ini memungkinkan Abubakar untuk mengirim anaknya, Muhammad Darwisy (kelak menjadi Ahmad Dahlan) untuk belajar ke Mekkah (Darban, 2011).
Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, selama ini dikenal sebagai seorang pemikir keagamaan dan aktivis sosial. Kepergiannya ke Mekkah (dua kali) lebih banyak dikaitkan pada upayanya untuk mencari ilmu agama di sumber Islam terpenting itu. Dan memang, di Mekkah-lah Sang Kiai belajar mengenai pemikiran progresif Muhammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, dan Rasyid Ridha serta pemurnian Islam dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi. Padahal, patut dicatat bahwa sekembalinya ia dari Mekkah, ia tak hanya mengaplikasikan ilmunya dengan menjadi khatib di Keraton Yogyakarta saja, melainkan juga bekerja sebagai saudagar. Dan, komoditas yang ia perjualbelikan adalah batik. Sebagai saudagar batik ia tentu mempunyai pengetahuan yang dalam tentang berbagai jenis, model, dan desain batik.
Publikasi resmi Muhammadiyah, Soewara Moehammadijah, tak ketinggalan pula dalam mempromosikan batik. Majalah ini menyediakan ruang untuk para saudagar batik di Yogyakarta yang ingin mengiklankan produknya. Dalam sebuah advertensi Soewara Moehammadijah bulan Agustus tahun 1923, suatu perusahaan batik, H. Abdulaziz N.W., mengiklankan batik model keraton. Dengan gambar yang memperlihatkan berbagai motif batik yang indah, iklan itu menyerukan:
Toean-toean soedah tak oesah koeatir. Sebab toean poenja kesenengan tidak akan ketjiwa! Toean sendiri, toean poenja familie bisa senang bila pakai ini batik model Kraton!! Barang bagoes harga moerah!
Kombinasi antara progesivitas pemikiran dan keuletan berwirausaha di dunia batik ala Kiai Dahlan lalu dilanjutkan oleh para pengikut Muhammadiyah di zaman selanjutnya. Sebuah survei pada tahun 1960an mencoba mencari tahu siapa pemilik perusahaan-perusahaan batik di Yogyakarta pada era itu. Hasilnya, sebagian besar pemiliknya adalah pengusaha yang berafiliasi dengan Muhammadiyah yang dikenal puritan itu (Mulkhan, 2010).
Saudagar Muhammadiyah yang berbisnis batik tak hanya kuat di kota kelahiran organisasi ini saja, namun juga di kota-kota lainnya, seperti Surakarta, Pekalongan dan Tasikmalaya. Bisnis batik tak cuma memberi kekayaan pada mereka, tapi juga mendorong mereka untuk berbagi kemakmuran via koperasi batik.
Menjadi saudagar batik, dengan demikian, adalah wujud dari kepandaian warga Muhammadiyah untuk melihat peluang ekonomi, untuk menjadi manusia yang mandiri secara finansial, dan, yang tak kalah pentingnya, untuk memungkinkan mereka memiliki kemampuan membantu komunitasnya. Tak heran bila di dekadedekade awal perkembangannya, Muhammadiyah di sejumlah tempat, terutama Yogyakarta dan Pekajangan, tak bisa dilepaskan dari bisnis batik yang dikelola warganya.
Warga Muhammadiyah tak hanya piawai berdagang batik, tapi juga senang memakai batik itu sendiri. Berbagai foto lama, terutama dari era 1920an dan 1930an, menjadi saksinya. Beberapa foto lama ini bisa dilihat di bukunya Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah (2011). Dari foto-foto ini, dapat diketahui di momentum apa saja warga ataupun simpatisan Muhammadiyah mengenakan batik, terutama sebagai bawahan. Pertama, saat berpartisipasi dalam Kongres Muhammadiyah. Kedua, saat para pengurus besar (hoofdbestuur) mengadakan rapat. Ketiga, saat pertemuan ibu-ibu pengurus Aisyiyah. Keempat, kala berkunjung ke bibliotheek (perpustakaan) Muhammadiyah. Bahkan, satu foto hitam putih menunjukkan beberapa murid TK Bustanul Athfal yang dikelola Nasyiatul Aisyiyah mengenakan batik.
Batik sempat menjadi sarana yang mempercepat perkembangan persyarikatan Muhammadiyah. Di sejumlah daerah, ikatan sebagai sesama anggota Muhammadiyah tak hanya memajukan kondisi sosial di sana, melainkan juga perusahaan batik yang dikelola warga Muhammadiyah.
Sementara itu, selain melalui para saudagar Muhammadiyah asal Kauman, batik Kauman juga terkenal hingga ke luar kampung itu lantaran berbagai iklan yang dimuat di berbagai terbitan, termasuk di Almanak Muhammadiyah.
Seabad lebih setelah Muhammadiyah berdiri, tepatnya pada tanggal 25 Februari 2018, relasi Muhammadiyah dan batik mencapai tahap baru. Pada hari itu batik nasional Muhammadiyah diluncurkan. Acara peluncurannya dihadiri oleh pejabat publik dan tokoh Muhammadiyah terkemuka (yang juga mengenakan batik), memperlihatkan apresiasi pada daya kreasi warga Muhammadiyah serta pada usaha organisasi ini untuk melestarikan salah satu warisan bangsa Indonesia.
Muhammadiyah terhubung dengan batik tidak hanya dengan saudagar maupun konsumen batik yang berafiliasi dengan Muhammadiyah sebagaimana hampir seabad silam. Kini Muhammadiyah juga menjadi produsen batik. Produsen di sini bukan hanya sebagai pembuat batik dengan motif yang sudah lama dikenal, tapi juga dalam membuat motif-motif baru yang membawa ciri khas Muhammadiyah. Bahkan, hak cipta dan hak paten untuk merek, motif, dan nama batik Muhammadiyah ini telah didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM RI guna mencegah plagiasi dan produksi ilegal batik Muhammadiyah. Dengan demikian, relasi antara Muhammadiyah dan batik naik ke level yang lebih tinggi karena telah diakui dan terlindungi secara hukum.
Muhammad Yuanda Zara. Sejarawan
Sumber: Majalah SM Edisi 20 Tahun 2018