Kiai Ahmad Dahlan Membaca Tanda Zaman
Oleh: Pradana Boy ZTF
KETIKA menggambarkan Kiai Ahmad Dahlan dan reformasi sosial-keagamaan yang ia pelopori, Moeslim Abdurrahman, seorang antropolog terkemuka Indonesia yang akrab dengan panggilan Kang Moeslim, menyebutnya sebagai tokoh yang mampu membaca tanda zaman. Kemampuan itu diwujudkan dalam bentuk –dalam istilah Kang Moeslim—kunci-kunci hermeneutis atas realitas sosial. Takhayul, bid’ah, dan churafat yang populer dengan akronim TBC adalah kunci hermeneutis itu. Karena mengidentifikasi masalah dengan membaca tanda zaman, maka kunci-kunci hermenutis yang dirumuskan oleh Kiai Dahlan itu seperti abadi, melintasi ruang dan waktu. Maka, saat usia Muhammadiyah terus bergerak, rupanya kunci hermeneutis itu tak hanya tetap bergaung, tetapi juga senantiasa relevan dengan kebutuhan zaman.
Kemampuan Kiai Dahlan membaca tanda zaman ini, kata Kang Moeslim lebih lanjut, terbentuk dari cara berfikir dialektis (kontekstualisasi teks dan realitas sosial) dan orientasi orto-praksisme (mempertautkan iman dan perubahan sosial) yang dikembangkan oleh Kiai Dahlan. Dengan kata lain, Kiai Dahlan mampu memaknai agama bukan hanya sebagai doktrin dan dogma, tetapi telah melakukan transformasi doktrin itu menjadi inspirasi dan kekuatan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat. Atas dasar itulah, meskipun berangkat dari doktrin tekstual agama, Kiai Dahlan berhasil mengatasi tantangan-tantangan yang muncul pada masa-masa awal eksistensi Muhammadiyah.
Sejarawan Kuntowijoyo menggambarkan tiga tantangan yang dihadapi oleh Kiai Dahlan saat mendirikan Muhammadiyah, yaitu Jawaisme, tradisionalisme dan modernisme. Terhadap tiga tantangan itu, Kiai Dahlan memberikan respons atau perlakuan yang berbeda. Modernisme dijawab dengan pendirian sekolah, kepanduan dan voluntary association. Sementara, respons terhadap tradisionalisme diwujudkan dalam bentuk sikap pro-aktif dalam berdakwah, bahwa ketimbang menunggu umat datang kepadanya, Kiai Dahlan justru datang kepada masyarakat. Terhadap Jawaisme yang bersifat magis dan mistis, Kiai Dahlan menawarkan cara pandang yang lebih rasional, yaitu dengan melakukan rasionalisasi dan demistifikasi atas faham-faham keagamaan yang berbaur dengan tradisi yang justru berpotensi mendistorsi fungsi agama.
Tanda-tanda zaman dan tantangan yang dibawa kini telah berubah. Jawaisme, tradisionalisme dan modernisme, tetap bertahan sebagai tantangan dalam wujudnya yang berbeda. Namun, tantangan itu kini diperkaya dengan aneka tantangan baru dalam berbagai konteks. Dalam konteks etika, misalnya, seorang pakar etika, Simon Blackburn, melihat ada tujuh ancaman terhadap etika dalam kehidupan manusia zaman ini, yaitu gagasan tentang kematian Tuhan (the death of God), relativisme, egoisme, teori evolusi, determinisme dan kesia-siaan, tuntutan yang tidak masuk akal, dan kesadaran palsu.
Perenungan mendalam atas pandangan Blackburn ini, akan mengantar kepada pengakuan bahwa tidaklah sulit untuk menyetujuinya. Mari ambil contoh tentang gagasan seputar “kematian Tuhan.” Ungkapan ini mungkin secara harfiah terdengar kasar. Namun jika dimaknai secara metaforis, ungkapan ini mengandung makna yang sangat mendalam. Ketika menyatakan ungkapan ini, bisa jadi Nietzsche tidak memaksudkannya sebagai kritik terhadap superioritas manusia yang kadang-kadang berperilaku dan berfikir melampaui batas ilmiahnya.
Namun, dalam ungkapan kematian Tuhan itu, saya menangkap adanya kritik atas ironi yang melanda kehidupan manusia. Bahwa manusia melupakan Tuhan sebagai asal-muasal segala sesuatu, dan Tuhan sebagai tempat kembali segala hal di dunia ini. Perasaan lupa akan Tuhan ini, dengan kata lain, seolah-olah Tuhan tidak ada, atau jika ada, Tuhan dianggap telah mati, atau tidak berfungsi. Hal-hal seperti inilah yang menjadikan manusia bertindak secara berlebihan atau ekstrem. Seolah-olah kehidupan manusia di dunia ini tidak ada batasnya. Secara sederhana, fakta ini menggariskan adanya tantangan dalam bentuk pertentangan aneka ideologi yang saling berusaha mencari eksistensi.
Tantangan semacam ini masih ditambah dengan efek revolusioner yang dibawa oleh internet. Allison Cavanagh (2007) dalam Sociology in the Age of Internet menggarisbawahi satu poin bahwa internet telah melahirkan satu ruang baru dalam masyarakat. Dengan kata lain, internet kini juga merupakan ruang sosial atau ruang publik sebagaimana halnya ruang publik dalam arti nyata. Internet telah mempengaruhi pola interaksi dan perilaku dalam masyarakat. Bahkan lebih dari itu, internet telah juga melahirkan mobilitas sosial yang mendorong aneka perubahan baik dalam konteks positif maupun negatif.
Karena hakikat tantangan zaman yang selalu berubah dan zaman yang senantiasa bergerak itu, maka mewarisi kemampuan Kiai Dahlan dalam membaca tanda-tanda zaman merupakan sebuah keniscayaan bagi para pengikut Muhammadiyah. Akan tetapi, menyebut hal demikian, tidak serta-merta akan diterima, oleh karena di kalangan internal Muhammadiyah sendiri, sesungguhnya terdapat perdebatan tentang hakikat ber-Muhammadiyah: Apakah menjadi Muhammadiyah itu pada saat yang bersamaan berarti menjadi Dahlaniyah atau apakah Muhammadiyah dan Dahlaniyah merupakan dua hal yang berbeda?
Di antara dua pandangan yang menolak dan mendukung Dahlaniyah secara ekstrem, saya ingin mengajukan pandangan rekonsiliatif. Di satu sisi, sama sekali tidak ada salahnya ber-Muhammadiyah dengan menganut orientasi Dahlaniyah, karena faktanya Kiai Dahlan adalah peletak dasar pandangan Muhammadiyah. Tetapi pada saat yang sama, terdapat aspek-aspek tertentu dari model Dahlaniyah yang harus “ditinggalkan.” Dalam hal ini, Dahlaniyah tidak boleh dimaknai sebagai pengikutan fatalis dan buta terhadap bentuk-bentuk atau respons-respons temporer Kiai Dahlan atas isu-isu tertentu yang ia hadapi pada zamannya. Sebaliknya, menjadi Dahlaniyah adalah pewarisan terhadap kerangka pemikiran pembaruan Kiai Dahlan, betapapun tidak mengambil bentuk temporer yang sama.
Hefner, Sukidi dan Munir Mulkhan menyebutnya sebagai “api pembaharuan” Kiai Dahlan. Maka, jika mengant Dahlaniyah berarti mewarisi kemampuan membaca tanda zaman, berfikir dialektis di antara ayunan teks dan realitas, atau berorientasi ortopraksis dalam memahami hubungan iman dan perubahan sosial, tidak bisa tidak itu merupakan keniscayaan perrenial. Dengan kata lain, jika Dahlaniyah dimaksudkan sebagai mewarisi metodologi pembaruan Kiai Dahlan dan menerapkannya dalam situasi yang berbeda di zaman ini, bukan hanya tidak masalah, tetapi justru menjadi sebuah keharusan.
Sebaliknya, jika menjalankan orientasi Dahlaniyah diwujudkan dalam bentuk pewarisan atas (sekali lagi merujuk kepada Hefner, Sukidi dan Munir Mulkhan) “abu pembaruan” Kiai Dahlan, maka itu akan menjadikan Muhammadiyah kehilangan kemampuan membaca tanda-tanda zaman, dan berarti mengakhiri kemampuan Muhammadiyah untuk membangun relevansi dengan perkembangan zaman.
Praktiknya, jika ditarik pada tataran yang lebih komunal, Muhammadiyah telah mampu bertahan hingga lebih dari satu abad ini adalah karena kemampuan membaca tanda-tanda zaman itu. Akan tetapi, jangan pula dilupakan, dalam usianya yang semakin bertambah, Muhammadiyah tidak lagi muncul sebagai wajah tunggal. Aneka orientasi muncul dari akar faham keagamaan Muhammadiyah. Maka, di luar eksistensi aneka orientasi dalam Muhammadiyah tersebut, yang harus selalu dijaga adalah mewarisi dan senantiasa menghidupkan kemampuan membaca tanda zaman yang dicontohkan oleh Kiai Dahlan.
Jika, kemampuan ini tidak dipelihara, maka ruh pembaruan Muhammadiyah akan perlahan-lahan usang oleh terpaan zaman, dan Muhammadiyah akan menjadi sebuah organisasi yang hanya menjalani rutinitas yang hampa akan ruh dan makna. Maka, di samping jargon “Hidup-hidupilah Muhammadiyah…” sebaiknya juga digaungkan jargon, “Hidup-hidupilah pusaka membaca zaman yang diwariskan oleh Kiai Dahlan.” Selamat Milad!
Pradana Boy ZTF, Asisten Rektor Universitas Muhammadiyah Malang
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2021