JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketika politik menjadi sangat dominan dalam memberikan warna dan wacana di alam pemikiran publik, dunia keilmuan dan jurnalisme harus mampu menghadirkan perspektif baru yang segar. Berkomitmen kuat dalam membangun peradaban demokrasi yang sehat dan berkemajuan. Hal ini perlu menjadi narasi alternatif di tengah pertarungan politik yang semakin panas, baik di tingkat regional maupun global.
Dalam menanggapi isu tersebut Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) meluncurkan Lembaga Uji Kompetensi Wartawan (LUKW) UMJ pada Senin, 5 Oktober 2020. Hadirnya lembaga ini sebagai komitmen Muhammadiyah dalam meningkatkan kualitas serta profesionalisme jurnalis, baik di lingkup Muhammadiyah maupun umum.
“Komitmen ini sejalan dengan harapan dari Perguruan Tinggi Muhammadiyah, bahwa kita harus bersinergi dalam melakukan infestasi strategis Sumber Daya Manusia (SDM) melalui peningkatan mutu, kualitas, dan profesionalisme wartawan di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah,” ujar Tria Patrianti, Ketua LUKW UMJ.
Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengatakan, ketika masyarakat menjadi sangat bebas, dan setiap orang dapat mengekpresikan segala perasaannya di media sosial. Maka seorang wartawan atau jurnalis memiliki peran penting sebagai mediator. Mendamaikan seluruh pihak yang sedang bertikai dan berseteru.
Pers yang merupakan pilar keempat dalam sistem demokrasi memiliki peran yang sangat strategis. Melalui investigasi yang dilakukan dengan cara kerja jurnalistik, seorang wartawan dapat membuka kasus-kasus besar yang terselubung, dan kemudian menginformasikannya kepada publik.
“Selama 10 tahun, saya pernah merasakan bagaimana terjun di dunia jurnalistik. Pergi ke daerah-daerah, naik bis, kereta, bahkan jalan kaki. Semua proses itu pernah saya jalani. Menjadi seorang wartawan tidak cukup hanya bermodal ilmu dan keterampilan, tetapi juga harus ada keterpanggilan dan spirit yang menjiwainya,” ujarnya.
Haedar menambahkan, menjadi seorang wartawan bukanlah hal yang mudah. Di awal karirnya sebagai wartawan ia mengaku sering mendapatkan coretan pada tulisan berita yang dianggapnya sudah paling bagus. Ia juga pernah mengalami tulisannya dibuang ke tempat sampah sebelum selesai dibaca.
“Dalam menghadirkan narasi yang mencerahkan, seorang wartawan harus mampu menghubungkan antara realitas, fakta sosial, dan kontruksi alam berpikir yang kritis, serta perspektif yang cerdas,” paparnya. (diko)