Oleh: Dr. Taufiq Abdul Rahim
Dalam perkembangan kehidupan dunia modern, seluruh tatanan kehidupan ikut dikendalikan sebagai aktivitas yang menghendaki keseimbangan, kestabilan, kedamaian, ketentraman dalam kondisi sosial budaya yang berkembang. Hal ini memerlukan peran-serta aktor, baik individual, masyarakat serta kelembagaan. Secara konteks kehidupan modern, aktor yang diharapkan berperan disamping individu, masyarakat, lembaga dan pemerintahan, maka aktor pemeritahan serta pemerintah menjadi sangat dominan.
Dalam realitas relasi pemerintahan, maka adanya lembaga resmi negara dalam pemerintahan yaitu, eksekutif dan legislatif serta yudikatif. Ini selaras dengan konsep pembahagian kekuasaan politik modern yang populer dengan konsep “tripartit”, sebagai usaha mengurangi dominasi kekuasaan negara pada pengelola negara atau eksekutif, sehingga pengelolaan negara juga dalam pemerintahan dikontrol oleh legislatif, dan penegakan hukum secara konstitusional berada ditangan yudikatif.
Dengan sistem serta aturan tertentu diatur secara sistematis, maka kekuasaan dalam menentukan pemimpin semakin sulit dan tidak semua orang berpeluang untuk dapat meraihnya. Karenanya, dalam konteks pemimpin yang diatur oleh ketentuan undang-undang, ternyata, pemimpin politik saat ini menjadi kekuasaan yang bersifat oligarkhi. Hanya sekelompok orang yang dapat menjadi pemimpin serta kelompok politik tertentu yang dapat menjadi penguasa terhadap hajat hidup masyarakat dan rakyat banyak. Kondisi ini sengaja serta secara sadar dibangun dalam rangka membuat dominasi kekuasaan, penguasa dalam aktivitasnya sebagai pemimpin.
Dengan demikian, pemimpin dari para penganut ekonomisme menjadi lazim disebut dari orang, kelompok orang sebagai elemen struktural misalnya politik, kebudayaan dan ideologi dari elemen sub-kultural menghubungkan kepentingan ekonomi produksi dengan elemen suprakultural yang merupakan fenomena berkembang, ditentukan oleh kekuatan tertentu. Sehingga ini menciptakan hegemoni kekuasaan, maka timbul pemahaman pemimpin seringkali dikaitkan dengan penguasa. Sebagai pemimpin menentukkan kekuasaannya melalui usaha menjadi penguasa terhadap konteks dan kontes politik dalam rangka mengatur kehidupan sosial-kemasyarakatan.
Dalam hubungan serta asumsi pemahaman sederhana pemimpin dan penguasa sebagai sama dan sebangun, yang dipahami seperti itu merupakan pemahaman ortodoks, memiliki signifikansi kesadaran manusia, dan aksi manusia yang memiliki relasi kehidupan sosial. Dari aliran interpretasi sederhana pemimpin yang hanya merupakan domain penguasa, rakyat akan dihadapkan kepada harapan palsu perubahan kehidupan yang sesungguhnya.
Sehingga adanya usaha rakyat secara sadar tidak lagi mempersamakan teori kepemimpinan yang memiliki kekuasaan menyetujui teori hegemoni. Dimana pemimpin dan penguasa menjadi aktor yang dominan dalam kehidupan masyarakat. Ini mesti dilakukan perubahan, baik secara evolusioner atau gradual, reformasi, bahkan jika diperlukan secara revolusioner. Dengan demikian pemimpin dan penguasa tidak semena-mena menguasai seluruh potensi serta sumber daya yang tersedia, baik sumber daya manusia, alam maupun ekonomi dengan cara memaksa dibawah kendali kekuasaannya.
Meskipun tidak mudah memahami pemimpin dan penguasa yang hadir secara egaliter ditengah kepentingan ekonomi, politik serta sosial budaya yang semakin kompleks. Namun demikian dinamika kehidupan menghendaki setiap orang serta manusia sadar, bahwa pemimpin dan penguasa tidak seenaknya melakukan dominasi serta hegemoni kekuasaan yang hanya memenuhi kepentingan politiknya serta sekelompok orang yang sepakat dengan aktivitas dan tindakan yang dilakukan hanya menguntungkan sepihak. Sementara itu, rakyat dalam kelompok serta jumlah yang lebih luas tertindas, terdikriminasi oleh dominasi serta hegemoni kekuasaannya yang seringkali memaksakan kehendak melalui berbagai kebijakan dan keputusan politik, yang merugikan serta menindas rakyat.
Konfigurasi pemimpin dan penguasa, tidak hanya berbicara dalam konteks politik dan ekonomi, namun demikian unsur etika-moral, keadaban, serta pengembangan keseimbangan dan keadilan dalam kehidupan sosial budaya. Konteks pemimpin dan penguasa dalam kepentingan politik dan ekonomi, hanya menciptakan keuntungan terhadap kehidupan serta relasi kelompok dan kekerabatan. Hal ini seringkali tidak memberikan manfaat kepada keseimbangan serta keadilan antar regional, antar sektor, bahkan antar hubungan sosial budaya yang lebih luas.
Karenanya, kapasitas, kapabilitas serta aksesabilitas pemimpin dan penguasa, ini sebuah keharusan yang dapat diterima seluruh unsur, elemen serta strata sosial-kemasyarakatan. Hanya saja diperlukan usaha yang lebih dinamis, realitis serta transparan terhadap otonomi kekuasaannya, tidak hanya dalam formasi sosial yang terbatas serta rigid terhadap kelompok tertentu, rakyat yang hanya diakui sebagai konstituennya.
Pemimpin dan penguasa mesti hadir ditengah berbagai persoalan masyarakat atau rakyatnya, juga mampu mengatasi serta menyelesaikan berbagai masalah bahkan persoalan yang dihadapinya. Bukan hanya diperlukan pada saat kontestasi pemimpin dan penguasa yang bersifat rutin dan insidental, sehingga banyak masalah dan persoalan tidak mampu diselesaikan. Hal ini meski seringkali mengatasnamakan kepentingan rakyat untuk memuluskan berbagai kebijakan politik serta ekonominya.
Pemimpin dan penguasa yang terlalu mengandalkan kekuasaannya, sehingga perilaku serta tindakan hegemoni mewarnai kepemimpinannya. Hal ini tidak terlepas dari usaha mengembangkan kapitalisme dan pengusaha yang ikut memanfaatkan posisinya sebagai pemimpin dan penguasa. Kondisi ini dalam konteks yang lebih luas serta sangat dipaksakan jika keterlibatan kapitalisasi internasional (multinational corporations) yang semakin meluas serta kuat. Sehingga sub-struktural bergeser menjadi suprastruktural yang berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat, sehingga batasan domestik dan nasionalisme juga semakin menipis.
Hegemoni serta dominasi pemimpin dan kekuasaan, tidak hanya dalam pemahaman politik lokal, domestik serta nasional, namun sudah mesti menjangkau supranasionalisme. Ini seringkali dianggap sebagai tunutan global yang tidak dapat dielakkan saat ini, baik dalam kehidupan ekonomi, politik, sosial-budaya serta perilaku orang, juga kehidupan manusia yang semakin terbuka yang mesti dijadikan perhatian serta diaplikasikan secara agregatif.
Dengan demikian, berbicara tentang pemimpin dan penguasa selaras dengan kondisi yang berkembang saat ini, menjadi pemahaman serta kajian yang mesti dipahami secara kompleksitas, kontekstual, faktual serta plural. Sehingga pemimpin dan penguasa yang saat ini dibutuhkan serta diharapkan sejalan dengan perkembangan kehidupan adalah, yang memiliki keluasan pandangan, wawasan serta memiliki kompetensi terhadap banyak serta berbagai bidang.
Hal yang paling krusial adalah, kemampuan mengorganisir serta memenej seluruh potensi yang ada serta dimiliki untuk kepentingan bersama yang lebih luas dan berkeadilan. Juga responsif terhadap persoalan dan memiliki simpati serta empati terhadap berbagai persoalan, dan juga banyak masalah yang dihadapi oleh masyarakat atau rakyatnya. Sehingga pemimpin dan penguasa tidak sekedar pemenang kontes kepemimpinan dan kekuasaan, namun tidak memiliki naluri, ruh serta bijkaksana terhadap tindakan, kebijakan serta keputusaannya yang bersifat politik serta memiliki relasi sosial, budaya serta kemasyarakatan. Yang paling penting serta diperlukan adalah, dampak dari aksi serta kebijakan pemimpin dan penguasa dapat merubah kehidupan serta kemakmuran menuju kesejahteraan yang hakiki dan realitis.
Dr Taufiq Abdul Rahim, Dosen UNMUHA dan Pengamat Kebijakan Publik, tinggal di Banda Aceh