Tauhid adalah fondasi ajaran Islam yang paling mendasar. Mengesakan Allah SwT dan beribadah hanya kepada-Nya merupakan akidah asasi bagi setiap Mukmin. Karena itu, akidah tauhid menjadi “pengikat” hati dan pikiran hamba kepada-Nya, sekaligus sebagai “penyatu” orientasi hamba dalam beribadah kepada-Nya dan bermuamalah duniawiyah.
Secara bahasa, tauhid mengandung arti mengesakan dan menyatukan. Mengesakan berarti mengimani bahwa Allah SwT itu Maha Esa; tiada tuhan selain-Nya; tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah tidak diduakan dan tidak pula memiliki mitra setara dengan-Nya. Allah itu tidak melahirkan atau tidak mempunyai istri; dan tidak pula dilahirkan atau mempunyai ayah. Allah itu benar-benar unik, tidak ada yang sesuatu pun yang setara dengan-Nya.
Menyatukan berarti bahwa orang-orang yang mengesakan Allah SwT itu harus menyatukan hati dan pikirannya dalam beribadah hanya kepada-Nya, karena menyadari dan memahami sepenuh hati bahwa tujuan hidup yang ditetapkan-Nya adalah beribadah, menyembah, dan mendedikasikan dirinya kepada-Nya, bukan kepada makhluk.
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku,” (Qs alDzariyat [51]: 56).
Selain itu, menyatukan juga berarti menyatukan orientasi kehidupan, dengan meniati segala aktivitas hidup mukmin secara ikhlas semata-mata karena mengharap ridha Allah. “Katakanlah (Muhammad), sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)” (Qs AlAn’am [6]: 162-163).
Dengan demikian, tauhid uluhiyyah adalah mengesakan dzat Allah SwT melalui sikap dan perbuatan hamba dengan hanya beribadah kepada-Nya, karena yang paling berhak diibadahi, dimintai pertolongan adalah Allah yang Maha Esa. Implikasi dari tauhid (mengesakan dan menyatukan) adalah bahwa ibadah mukmin harus disatukan niat dan tujuannya murni (ikhlas) karena Allah, bukan karena mengharap pujian dari makhluk, dan bukan pula karena pencitraan (riya’).
Jika tauhid rububiyyah berkaitan dengan pengesaan Allah dari segi perbuatan dan sifat-Nya, maka tauhid uluhiyyah berkaitan langsung dengan pengesaan dan penghambaan Dzat Allah yang tidak berbilang, Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada pula yang menyamai-Nya.
Tauhid uluhiyyah yang murni menjadi syarat pengampunan dosa-dosa hamba. Artinya, sebesar apa pun dosa hamba, selama tidak menyekutukan Allah (syirik), peluang untuk memperoleh ampunan dari Allah SwT sangat terbuka. Sebaliknya, orang yang melakukan syirik, dosanya tidak akan diampuni oleh-Nya, karena syirik merupakan dosa terbesar yang berkaitan “perselingkuhan teologis” terhadap dzat-Nya secara langsung.
Jadi, keimanan dan keyakinan terhadap keesaan Allah, baik dari dzat, perbuatan dan sifat-Nya, merupakan pangkal segala kebaikan sekaligus merupakan kunci pembuka surga. Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang akhir perkataannya la ilaha illa Allah, maka dia akan masuk surga” (HR Muslim).
Muhbib Abdul Wahab, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah dan Sekretaris LP3M PP Muhammadiyah.