Ketika Syahwat Melupakan Hakikat

Politik

Foto Dok Ilustrasi

Ketika Syahwat Melupakan Hakikat

Oleh: Ki H Ashad Kusuma Djaya

Dalam pandangan klasik politik adalah suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Jika dicermati, konsep politik seperti ini tampak sangat kabur. Konsep ini menghadapkan kita kepada kesukaran dalam menentukan patokan kepentingan umµm yang disetujui bersama dalam masyarakat.

Namun dalam pengertian klasik inilah kita menemukan hakikat politik sebenarnya. Dalam pengertian politik seperti ini terkandung tujuan dan etik masyarakat yang jelas. Suatu hal yang ditekankan dalam pandangan klasik adalah “apa yang seharusnya” dicapai demi kebaikan bersama seluruh warga negara dan “dengan cara apa sebaiknya” tujuan-tujuan itu dicapai.

Berpolitik ialah membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama. Dengan pengertian seperti itu setiap orang harus paham politik dan berpolitik, meski tak selalu terlibat partai politik. Sebab hakikat politik itu menjaga nalar, menjaga lisan, dan menjaga tindakan dari melakukan kesalahan, terutama menyangkut nasib banyak orang. 

Sebagai agama yang menyebarkan ajaran rahmatan lil ‘alamin, Islam begitu menganggap penting politik yang mulia. Dalam term Islam, Politik itu identik dengan siyasah, yang secara kebahasaan artinya mengatur. Menurut Ibnu ‘Aqil al Hanbali (1040-1119 M), siyasah syariyyah adalah: “Suatu tindakan atau kebijakan yang membawa umat manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan”.

Islam pun juga memberikan panduan dalam berpolitik. Al-Qur’an mengajarkan metode dakwah yang menekankan hikmah (kebijaksanaan) dan mau‘idhah hasanah (seruan yang baik), sesuai dengan petunjuk al-Qur’an (Q 16:125), agar semua orang “mampu mendengar firman Allah,” (Q 9:6). Hakikat politik Islam pun sejalan dengan misi diutusnya Rasulullah sebagai rahmatan lil ‘alamin (Q 21: 107).

Hakikat politik yang memiliki kaitan dengan nasib orang banyak harus dirumuskan menjadi pendidikan politik sejak dini. Demikian itu agar semua warga negara paham politik dan bisa berpolitik secara benar untuk memperjuangkan nasib banyak orang. Jangan sampai orang memahami politik sekedar sebagai prosedur dan kelembagaan yang hanya identik dengan pemilu, pilkada, partai, DPR, dan semacamnya.

Namun pendidikan politik yang menyentuh hakikat politik jangan sampai diartikan justru sebagai ajakan untuk meninggalkan aturan-aturan formal dalam berpolitik. Tetapi itu harus dipahami sebagai ikhtiar mengingatkan pada tujuan pembuatan prosedur, aturan dan lembaga politik yang sebenarnya. Yaitu agar jangan sampai pelaksanaan prosedur dan pembentukan lembaga politik arahnya justru melenceng dari hakikat sebenarnya yang ingin dituju dalam berpolitik yang baik.

Seperti halnya ketika seorang ulama mengingatkan hakikat beragama atau hakikat sholat dengan menyebutkan adanya “pendusta-pendusta agama” dan “celaka orang yang sholat” (yaitu orang yang melalaikan sholatnya) dalam Qur’an surah al-Maa’uun. Tentu apa yang disampaikan ulama itu tidak bisa disebut sebagai bagian dari anti syariat. Itu adalah cara mengingatkan agar pelaksanaan agama dan sholat betul-betul sampai pada hakikat tujuan dari aturan-aturan dan pelaksanaan ibadah agama. Sebab aturan dan hakikat tujuan itu sama-sama penting.

Dengan demikian mereka yang telah mendapatkan pendidikan politik yang menyentuh hakikat politik tidak akan pernah antipati pada proses politik dan lembaga politik. Ia tidak anti-pemilu dan proses politik lainnya. Ia juga tidak anti-negara, anti-DPR, anti-Partai, dan lembaga-lembaga politik lainnya yang dirancang untuk menjalankan proses politik secara baik. Meski begitu ia tetap membuka ruang perdebatan terkait prosedur dan lembaga politik yang ideal. Namun  proses dan lembaga politik yang sudah menjadi kesepakatan juga terus diarahkan untuk tercapai tujuan yang baik.

Seseorang yang memahami hakikat politik sangat menyadari bahwa ada kalanya memang proses politik yang tampak dilakukan sesuai aturan dan disalurkan melalui lembaga politik yang resmi bisa tidak sejalan dengan politik yang sehat. Dengan kesadaran itu ia justru terpanggil untuk terus mengingatkan publik dan para politisi akan hakikat politik yang baik. Namun itu dilakukan tanpa disertai sikap anti pada proses dan pada lembaga-lembaga politik yang telah ada.

Kegaduhan yang dibuat para politisi di Senayan akhir-akhir ini terkait pembahasan sejumlah RUU mengingatkan kita pada pentingnya menyadarkan seluruh masyarakat untuk paham politik dan bisa berpolitik secara benar. Pembahasan RUU kontroversial di tengah bangsa yang sedang menghadapi bencana Pandemi akan dibaca sebagai bagian dari pengkhianatan kepentingan orang banyak. Minimalnya para anggota DPR dianggap tak punya kepekaan sosial.

DPR adalah singkatan dari Dewan Perwakilan Rakyat yang secara hakikat adalah kumpulan orang-orang yang mewakili rakyat. Mereka dipilih melalui sebuah proses politik bernama pemilu. Secara prosedur mereka benar-benar wakilnya rakyat. Tetapi gelombang protes yang luas terhadap proses politik di DPR menimbulkan pertanyaan apakah benar mereka itu mewakili keinginan-keinginan rakyat sehingga layak disebut wakilnya rakyat? Kita pastikan jawabannya adalah: Tidak!

Mengingat hakikat politik yang luhur, apa yang terjadi pertunjukan di DPR saat ini adalah wujud nyata bahwa syahwat telah melupakan hakikat.

Ki H Ashad Kusuma Djaya, Wakil Ketua PDM Kota Yogyakarta

Exit mobile version