KUDUS, Suara Muhammadiyah – Bersyukur merupakan bagian dari sebuah komitmen orang-orang yang beriman atas nikmat dan karunia yang diberikan oleh Tuhan penguasa semesta. Bentuk rasa syukur tersebut ditunjukkan oleh Universitas Muhammadiyah Kudus (UMKU) yang saat ini telah mencapai usia ke-21 tahun dengan tiga agenda besar.
Pertama, peresmian Auditorium oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui aplikasi Zoom. Kedua, peresmian Kampus II UMKU sebagai pusat pembelajaran secara tatap muka. Ketiga, melakukan progres pembangunan Konfension Hall yang telah masuk pada tahap graund breaking penancapan tiang panjang terakhir (12/10).
UMKU sebagai salah satu lembaga pendidikan tinggi yang berada di bawah naungan persyarikatan Muhammadiyah telah melewati sejarah panjang. Pada tahun 1984 sampai 1998 UMKU berstatus sebagai Sekolah Perawat Kesehatan, di tahun 1999 berubah nama menjadi Akademi Keperawatan (AKPER) dan di tahun 2008 berkonvensi menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Muhammadiyah. Serta pada tahun 2018 bertranformasi menjadi Universitas Muhammadiyah Kudus dan saat ini memiliki 20 program studi.
Haedar Nashir dalam paparannya menyampaikan, Muhammadiyah bersama dengan amal usahanya telah membawa kemajuan demi terwujudnya peradaban kemanusiaan semesta. Muhammadiyah hadir memberikan keteladanan di tengah dinamika keumatan yang bergerak sangat dinamis. “Kita harus menjadi segolongan umat yang terpilih dan terbaik dengan prinsip tangan di atas, bukan tangan di bawah,” ujarnya.
Menurutnya, umat terbaik bukanlah sembarang umat. Umat terbaik adalah umat yang memiliki ciri dan sifat tengahan, yaitu mereka yang memiliki keseimbangan dalam urusan dunia maupun akhirat. Dengan kata lain umat yang berusaha meraih kebahagiaan di akhirat tanpa mengenyampingkan nasibnya di dunia. Pendekatan wasathiyah seperti inilah yang harus menjadi rujukan Muhammadiyah dalam berdakwah.
“Menjauhkan diri dari dunia bukanlah pilihan yang tawasud, melainkan pilihan yang ekstrim dan begitu pula sebaliknya. Namun tidak berlebihan dalam urusan dunia, itulah ciri utama umat tengahan,” ungkapnya.
Haedar menambahkan bahwa memahami Islam harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya secara bayani tapi juga secara burhani dan irfani. Memahami sesuatu hanya dari satu sudut pandang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dan kegaduhan. Selain itu juga harus ada aspek rasa dalam berdakwah dan membangun hubungan antar sesama.
“Di tangan seorang Dahlan, QS. Al-Maun menjelma menjadi ayat perubahan. Membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan dan kebodohan.”
Sifat tengahan harus menjadi nilai dan karakter warga Muhammadiyah dalam menghadirkan kemajuan dan perubahan. Kampus juga harus menjadi mesin penggerak mencerdaskan kehidupan bangsa. “Jika sebuah organisasi kehilangan khittah dan kepribadiannya maka ia bukan lagi organisasi atau gerakan, melainkan hanya kerumunan masa. Muhammadiyah bukan kerumunan masa,” tegasnya. (diko)