Keluarga Haji Rasul sebagai Penggerak Muhammadiyah Lokal
Muhammad Yuanda Zara
Dewasa ini, Cabang dan Ranting Muhammadiyah telah berjumlah ribuan dan tersebar di berbagai wilayah di seluruh Indonesia. Mereka menjadi ujung tombak pergerakan Muhammadiyah di level bawah. Setiap Cabang dan Ranting punya anggota yang dengan aktif menjalankan amal usaha di berbagai lapangan, mulai dari pendidikan, kesehatan hingga ke pemberdayaan ekonomi. Mereka mengorganisir pengajian, mendirikan masjid, bahkan membangun sekolah.
Bila dilihat dari sejarahnya, banyak di antara Cabang dan Ranting Muhammadiyah ini yang dibangun dan dikembangkan oleh keluarga-keluarga simpatisan Muhammadiyah. Umumnya, sang kepala keluarga adalah sosok pertama yang tertarik atau bergabung dengan Muhammadiyah. Langkah ini lalu diikuti anggota keluarga lainnya. Kesempatan bertemu satu sama lain tak hanya mereka pakai untuk bersilaturahim, tapi juga untuk mendiseminasikan berbagai ide yang bisa memajukan komunitas yang lebih luas.
Anggota keluarga yang sudah mendapat manfaat dari ide-ide progresif—umumnya karena lebih berpendidikan atau lantaran merantau ke wilayah yang lebih maju—menyebarkan gagasan yang ia peroleh kepada anggota keluarganya yang lain. Dari lingkungan keluarga ini lahir aktivisme sosial dengan menggerakkan masyarakat secara komunal, salah satunya diwujudkan dengan pendirian Cabang atau Ranting Muhammadiyah lokal.
Ada beberapa contoh menarik tentang bagaimana kelahiran dan kemajuan Muhammadiyah lokal dimulai dari ranah keluarga. Di Kotagede, gerakan Muhammadiyah generasi pertama dirawat dan dibesarkan oleh para anggota keluarga Bani Mukmin, termasuk putranya Haji Mukmin, Haji Muchsin (salah satu anggota PB Muhammadiyah tahun 1920an) dan kemenakan Haji Muchsin sendiri yang belakangan menjadi tokoh Muhammadiyah dan tokoh nasional: Abdul Kahar Mudzakkir. Sementara itu, di Minangkabau ada keluarga Haji Rasul yang berperan dalam memelopori dan mengembangkan Muhammadiyah setempat.
Kiprah keluarga Haji Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul dan relasi mereka dengan Muhammadiyah menarik untuk diulas. Keluarga ini adalah keluarga yang memperkenalkan Muhammadiyah ke Sumatra Barat, daerah yang kemudian menjadi basis terkuat Muhammadiyah di Sumatra. Anggota keluarga ini juga menyebarkan Muhammadiyah hingga ke berbagai wilayah lainnya di Sumatra, Jawa dan Sulawesi.
Ada tiga nama besar dari keluarga Haji Rasul yang perannya sangat penting dalam gerakan Muhammadiyah. Pertama, Haji Rasul sendiri. Kedua, putranya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Dan ketiga, menantu Haji Rasul, AR Sutan Mansur.
Haji Rasul adalah putra Syekh Kisai, seorang ulama Minangkabau terkemuka, dan ini menjelaskan tentang minatnya yang kuat pada agama. Namun ia menentang praktik beragama dan beradat di Minang kala itu, yang membuatnya dimusuhi kaum penghulu. Gagal dengan organisasi pendidikan yang ia pelopori, Sandi Aman, ia berjaya ketika memperkenalkan Muhammadiyah pada Juni 1925 di Sungai Batang, Maninjau. Ketertarikannya pada Muhammadiyah dimulai dari kunjungannya ke Pekalongan, kota di mana anak dan menantunya (AR Sutan Mansur) bermukim. Di sana ia melihat bahwa menantunya tak hanya sukses berbisnis, tapi juga dalam mengelola Muhammadiyah setempat. Ia terkesan dengan progresivitas dan aktivisme sosial Muhammadiyah Pekalongan. Keluarganya di rantau ini serta para perantau Minang lainnya berperan menyokong Haji Rasul kala mendirikan sebuah Ranting (Groep) Muhammadiyah serta sekolah dasar Muhammadiyah di kampung halamannya.
AR Sutan Mansur sendiri berminat dengan Muhammadiyah karena ia melihat organisasi ini sudah mempraktikkan ajaran Islam, berbeda dengan di kampung halamannya di mana agama lebih banyak diperdebatkan orang. Sejak kecil ia sudah belajar dari Haji Rasul yang dikenal sebagai seorang ulama pembaharu. Ia menikah dengan putri Haji Rasul. Sempat akan berkuliah ke Mesir, namun gagal karena persoalan krisis politik di Mesir, Sutan Mansur lalu memilih merantau ke Pekalongan, menjadi saudagar batik sekaligus guru agama. Pertemuan dengan KH Ahmad Dahlan yang tengah melawat ke Pekalongan mengubah hidup Sutan Mansur untuk seterusnya.
Sutan Mansur menjadi anggota Muhammadiyah pada tahun 1922. Setahun kemudian ia menajdi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan. Walau ia berperan penting dalam memajukan Muhammadiyah di Pekalongan, ia tak lupa dengan kampung halamannya. Ia masih menjalin komunikasi dengan adik iparnya, Hamka, yang sering singgah ke Pekalongan. Komunikasi ini berperan dalam melahirkan simpati Hamka pada gerakan Muhammadiyah. Sutan Mansur juga tak lupa untuk membantu mengembangkan Muhammadiyah di kampung halamannya.
Satu peristiwa penting yang membawa Sutan Mansur pulang kampung dan berhasil menarik lebih banyak minat di kalangan orang Minang pada Muhammadiyah terjadi di tahun 1925. Kala itu Minangkabau tengah memanas akibat konflik antara Muhammadiyah dan kaum Komunis. Sutan Mansur, yang diminta oleh Pengurus Besar Muhammadiyah untuk menyelesaikan problem ini, turun tangan dan berhasil memperoleh simpati publik. Ia menyelenggarakan pengajian serta aktif mendekati para tokoh adat. Sejak saat itu, Sutan Mansur mendapat kepercayaan untuk menduduki berbagai posisi penting, mulai dari Konsul Besar Muhammadiyah untuk seluruh Sumatra (1930) hingga Ketua PB Muhammadiyah selama dua periode (1953-1956 dan 1956-1959).
Putra Haji Rasul, Hamka, adalah yang paling muda dalam konteks ini, namun dengan pengaruh yang tak kalah penting. Di masa kecilnya, Hamka memperoleh pendidikan agama dari berbagai sumber, termasuk dari ayahnya sendiri, sekolah Sumatra Thawalib Padang Panjang, serta dengan belajar otodidak dari membaca di perpustakaan Zainaro yang didirikan Zainuddin Labai.
Sama seperti ketertarikan Haji Rasul pada Muhammadiyah, minat Hamka pada Muhammadiyah juga bermula dari perlawatan ke Jawa, tepatnya ke salah satu anggota keluarga mereka sendiri: AR Sutan Mansur. Hamka merantau ke Jawa tahun 1924. Ia menumpang di rumah kakak iparnya ini selama sekitar enam bulan. Di sana, menurut biografer Hamka, James Rush, ia “menyerap ‘semangat baru Islam’ ala Muhammadiyah”. Selama di Jawa, Hamka juga berguru dari para tokoh Muhammadiyah, termasuk Ki Bagus Hadikusumo, dari siapa Hamka belajar tafsir Al-Qur’an.
Dari perantauan pertamanya ke Jawa inilah Hamka mulai terlibat aktif dalam mengembangkan Muhammadiyah. Pertama-tama, setelah ia kembali ke Ranah Minang tahun 1925, ia membantu ayahnya untuk menyebarkan Muhammadiyah di Maninjau dan Padang Panjang. Ketika naik haji tahun 1927, Hamka bersama anak-anak muda Muhammadiyah lainnya di Arabia menyelenggarakan kelas haji bagi para jamaah haji dari Indonesia. Sekembalinya ke Sumatra, Hamka mendirikan sejumlah Cabang Muhammadiyah.
Peran Sutan Mansur dalam keterlibatan Hamka secara keorganisasian di Muhammadiyah terus berlanjut. Tahun 1930 diadakan Kongres ke-19 Muhammadiyah di Bukittinggi, yang merupakan kongres pertama di luar Jawa. Hamka, yang dua tahun sebelumnya diangkat sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang, diberi kesempatan menjadi pemateri (agaknya karena pengaruh Sutan Mansur). Pidato Hamka disambut hangat oleh para peserta kongres. Alhasil, Muhammadiyah kian memberi kepercayaan pada Hamka. Setahun kemudian, Hamka pindah ke Makassar, Sulawesi Selatan, setelah ia diinstruksikan untuk menjadi Mubaligh Besar Muhammadiyah di sana. Hamka, dengan demikian, melanjutkan tradisi keluarganya, dengan tak hanya menjadi pengintroduksi Muhammadiyah, tapi juga menjadi aktivisnya yang paling aktif dan gigih.
Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2018