Manhaj Tarjih memuat seperangkat wawasan (semangat atau perspektif), sumber, pendekatan, dan prosedur-prosedur tekhnis (metode) tertentu yang menjadi pegangan dalam kegiatan ketarjihan (Syamsul Anwar, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, 2018).
Rumusan manhaj tarjih mengalami perkembangan dan penyempurnaan. Qaidah Majelis Tarjih hasil Kongres 1928 menjadi landasan pertama. Dokumen “Boeah Congres 29 Muhammadijah” tahun 1940 memuat beberapa kaidah yang digunakan Majelis Tarjih untuk memahami hadis. Metode istimbath Majelis Tarjih mulanya mengacu ke rumusan al-masail al-khamsah yang lahir tahun 1935. Pembahasan lebih menyeluruh pada muktamar khusus tarjih, 29 Desember 1954-3 Januari 1955, dan ditanfidzkan pada 1964.
Pada muktamar khusus 1986 di Solo, tulis Asjmuni Abdurrahman dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah (2010) dirumuskan 16 pokok manhaj tarjih, sebagai berikut:
- Di dalam ber-istidlal, dasar utamanya adalah al-Qur’an dan al-Sunnah al-Shahihah (al-maqbulah). Ijtihad dan istimbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta’abbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis Tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nashnya secara langsung.
- Dalam memutuskan sesuatu keputusan, dilakukan dengan cara musyawarah. Dalam menetapkan masalah ijtihad, digunakan sistem ijtihad jama’i. Dengan demikian, pendapat perorangan dari anggota majelis, tidak dapat dipandang kuat.
- Tidak mengikatkan diri pada suatu mazhab, tetapi pendapat-pendapat mazhab, dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum. Sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur’an dan al-Sunnah, atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat.
- Berprinsip terbuka dan toleran, dan tidak beranggapan bahwa hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Keputusan diambil atas dasar landasan dalil-dalil yang dipandang paling kuat, yang didapat ketika keputusan diambil. Dan koreksi dari siapa pun akan diterima. Sepanjang dapat diberikan dalil-dalil lain yang lebih kuat. Dengan demikian, Majelis Tarjih dimungkinkan mengubah keputusan yang pernah ditetapkan.
- Di dalam masalah aqidah (tauhid), hanya digunakan dalil-dalil yang mutawatir.
- Tidak menolak ijma’ shahabat, sebagai dasar sesuatu keputusan.
- Terhadap dalil-dalil yang nampak mengandung ta’arudl, digunakan cara al-jam’u wa al-taufiq. Dan kalau tidak dapat, baru digunakan tarjih.
- Menggunakan asas saddu al-dzara’i untuk menghindari terjadinya fitnah dan mafsadah.
- Menta’lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan syariah. Adapun qaidah al-hukmu yaduru ma’a illatihi wujudan wa ‘adaman dalam hal tertentu dapat berlaku.
- Penggunaan dalil-dalil untuk menetapkan sesuatu hukum, dilakukan dengan cara komprehensif, utuh dan bulat. Tidak terpisah.
- Dalil-dalil umum al-Qur’an dapat ditakhsis dengan hadis ahad, kecuali dalam bidang akidah.
- Dalam mengamalkan agama Islam, menggunakan prinsip al–taysir.
- Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Qur’an dan al-Sunnah, pemahamannya dapat dengan menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui, bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
- Dalam hal-hal yang termasuk al-umur al dunyawiyah, yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan demi kemaslahatan umat.
- Untuk memahami nash yang musytarak, faham sahabat dapat diterima.
- Dalam memahami nash, makna dhahir didahulukan dari ta’wil dalam bidang aqidah. Dan ta’wil sahabat dalam bidang itu, tidak harus diterima.
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2019