Nilai Keislaman dalam Pembelajaran Daring di Masa Pandemi

Nilai Keislaman dalam Pembelajaran Daring di Masa Pandemi

Oleh : Mukti Syawal Ilmi Rosyada

Pendidikan adalah sebuah usaha untuk mendapat ilmu dengan cara mencari bimbingan dari orang lain atau dengan cara otodidak. Pendidikan sangatlah penting untuk semua orang, tidak jarang sekarang standardisasi untuk melamar pekerjaan minimum diploma. Pendidikan tidak hanya didapatkan di sekolah atau kampus saja, akan tetapi pendidikan yang pertama dan paling penting  adalah dari lingkungan keluarga. Pendidikan tentunya menjadi hal yang penting untuk menumbuhkan dan membentuk karakter seseorang dan tentunya pendidikan sudah seharusnya menjadi kebutuhan pokok.

Adapun dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, pengertian dari pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlaq mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Pendidikan Kita

KH.Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 atau 8 Dzulhijjah 1330 H di Kauman, Yogyakarta. Beliau mendirikan Muhammadiyah karena faktor internal yaitu pemikirannya sendiri dan eksternal yaitu keadaan islam di Indonesia yang sudah mulai berantakan. Dengan Intelektual luar biasa yang dimiliki beliau sampai sekarang amal usaha sangat berkembang pesat dan dapat dirasakan dari generasi ke kegenerasi lainnya.

KH.Hasyim Asy’ari dengan mendirikan organisasi Nahdatul Ulama yang mempunyai arti kebangkitan ulama, didirikan pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H. Beliau adalah seperguruan dengan KH.Ahmad Dahlan dan mereka adalah dua sahabat yang sangat cerdas dan memiliki pola pikir yang maju untuk mengembangkan organisasinya. Perbedaan diantara mereka justru menjadi kekuatan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia.

Pada masa kerajaan islam, tentunya pendidikan di Indonesia berkembang  sangat pesat, dari sini banyak pondok pesantren dan sekolah islam dibangun, akan tetapi tidak berlangsung lama. Zaman penjajahan pun dimulai, banyak sekali pondok pesantren dipaksa untuk tutup dan para kolonial membangun sekolah untuk para bangsawan saja. Kolonial Belanda membangun sekolah di Indonesia bukan untuk orang pribumi, akan tetapi hanya untuk para bangsawan dan keturunannya.

Agar bisa menjajah Indonesia melalui jalur pikiran, karena pada zaman itu masih diberlakukan kasta atau tingkatan masyarakat. Pada saat itu pendidikan terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan yang dilaksanakan oleh Belanda dengan menyesuaikan kepentingannya dan mereka acuh akan partisipasi dan minimnya jiwa sosial terhadap orang pribumi. Pembagian yang lain adalah pendidikan yang dilaksanakan oleh orang pribumi yaitu, Budi Utomo yang mengkampayekan tentang pendidikan di Indonesia, KH.Ahmad Dahlan dan KH.Hasyim Asy’ari dengan mendirikan organisasi Islam, lalu didirikannya Trikora Dharmo yang menghasilkan sumpah pemuda, dan yang terakhir adalah Ki Hajar Dewantoro yang mendirikan Perguruan Tamansiswa.

Dengan demikian, maka terbukanya kesempatan yang luas bagi masyarakat umum untuk memasuki sekolah yang diselengarakan secara tradisional oleh kalangan islam. Selain itu, mereka mendapatkan tantangan dan saingan berat dengan didirikannya sekolah Belanda yang sudah di kelola dengan modern yang berisi pembelajaran keterampilan duniawi.

Kata pendidikan tidak lepas dari tokoh yang bernama Ki Hadjar Dewantoro atau Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang dikenal dengan Bapak Pendidikan. Beliau merupakan pelopor dalam bidang pendidikan dan pembuat slogan yang sangat terkenal, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani yang artinya di depan harus memberikan teladan, di tengah memberikan semangat dan yang di belakang memberikan dorongan. Banyak sekali sejarah untuk memulai pendidikan di Indonesia.

Pembelajaran Daring

Peran pendidikan di era pandemi sekarang menjadi hal perbincangan yang masih hangat, karena pandemi covid-19 tiba- tiba mengagetkan seluruh dunia dengan kehadirannya. Banyak yang berubah dari pandemi ini, dari dilarangnya berkumpul untuk mengurai resiko penularan dan penggunaan masker sudah mejadi hal yang pokok untuk dipakai setiap orang. Covid-19 merupakan sebaran virus dari Cina dan penyebarannya sudah mendunia. Hampir semua negara terkena pandemi ini yang melemahkan segala asset dan pendidikan sebagai dampak yang ditimbulkannya.

Sejak virus Covid-19 ini menyerang Indonesia, pendidikan yang awalnya luring atau bertemunya guru dan murid sekarang menjadi pembelajaran daring yang menggunakan fasilitas teknologi pendidikan yang sudah maju. Dengan ini, banyak pro dan kontra karena cara pembelajaran berubah 360 derajat yang sangat dirasakan oleh guru, murid, dosen, dan mahasiswa. Terlebih untuk penduduk yang tinggal di daerah terpencil, dimana akses internet dan bantuan pemerintahan balum maksimal. Banyak kisah yang sangat menyentuh hati karena pandemi ini, banyak murid yang rugi waktu, guru yang rugi tenaga, dan para pedagang kecil yang sangat terkena imbasnya.

Lalu bagaimana peran pendidikan islam yang sangat penting bagi asupan rohani para siswa yang dimana pendidikan islam lah yang dapat membuat para murid bisa lebih menenangkan diri dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Berbeda dari pendidikan  pada umumya yang di bangun atas dasar konsep manusia dalam basis filosofinya masing-masing. Pendidikan islam dibangun berasal dari konsep manusia dalam basis islam. Dalam Pandangan islam, manusia adalah “khalifah” di muka bumi. Oleh karenanya, manusia dibekali oleh Allah SWT dengan segenap potensi sebagai bekal kekhalifahannya. Potensi tersebut terwujud dalam dua bentuk yaitu kecenderungan ke dalam hal yang positif dan kecenderungan ke dalam hal negatif.

Beberapa potensi positif antara lain adalah diciptakannya dalam bentuk sebaik-baiknya, dijadikan sebagai makhluk yang mulia, menurut fitrah manusia adalah makhluk yang religious, merdeka, bertanggung jawab,  mempunyai kapasitas intelegensia yang paling tinggi, tidak semata- mata terangsang oleh motivasi duniawi saja tetapi dalam banyak hal manusia mengejar tujuan yang “ultimate” yaitu keridhoan Allah SWT. Sedangkan beberapa potensi negatifnya adalah antara lain amat dzalim dan amat bodoh, bersifat tergesa-gesa, bersifaat lemah, selalu tidak berterima kasih atau bersyukur, sombong ketika mendapat kesenangan dan berputus asa ketika mendapat kesusahan. Pendidikan islam adalah suatu aktivitas pendidikan yang berangkat dari konsep manusia seperti yang tersebut di atas.

Pendidikan Agama islam pada hakikatnya adalah usaha untuk mengarahkan, membimbing semua aspek atau potensi yang ada pada manusia secara optimal. Pendidikan agama islam menurut  tokoh Ahmadi, pendidikan agama islam ialah segala usaha untuk memelihara fitrah manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya atau insan kamil yang sesuai dengan norma islam. Sedangkan menurut Syekh Mustafa Al-Ghulayani, pendidikan adalah upaya menanamkan akhlaq mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan kebaikan serta cinta belajar yang berguna bagi tanah air (Hidayat, 2015: 1).

Nilai Keislaman

Dalam masa pandemi ini dilema pendidikan terutama pada pendidikan keislaman semakin menjadi, pasalnya kajian pendidikan agama islam selalu dinamis. Setiap hari permasalahan yang berlatar belakang agama selalu muncul dan disinilah peran PAI harus ditampilkan. Sudah seharusnya PAI menjadi solusi permasalahan nilai keislaman yang menuntut untuk diselesaikan. Permasalahan lebih sering muncul ketika pandemi menyerang, bahkan di lembaga pendidikan sering terlibat dan hidup dalam ruang yang selalu dinamis. Hal ini dikarenakan praktisi-praktisi pendidikan tidak saja bergumul dengan dunia edukasi saja, namun mereka masih bergumul dengan para pelaku sosial dari berbagai lapisan masyarakat.

Pada masa pademi pendidikan islam ada dua faktor problematika, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu relasasi kekuasaan dan orientasi pendidikan islam dimana tujuan pendidikan pada dasarnya hanya satu, yaitu memanusiakan manusia atau sering di sebut human dignity dimana menjadi khalifah di muka bumi dengan tugas dan tanggung jawab memakmurkan kehidupan dan memelihara lingkungan.

Tujuan pendidikan yang selama ini dioreintasikan memang sangat ideal bahkan terlalu ideal dan tujuan tersebut belum pernah terlaksana dengan baik. Orientasi pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakan secara nasional, barangkali dalam konteks era sekarang ini menjadi tidak menentu atau kabur kehilangan orientasi mengingat adalah tuntunan pola kehidupan pragmatis dalam masyarakat Indonesia. Pendidikan cenderung perpijak pada kebutuhan pragmatis atau kebutuhan pasar lapangan, kerja, sehingga ruh pendidikan islam sebagai pondasi budaya, moralitas, dan gerakan sosial menjadi hilang (Hidayat, 2015:20-21)

Faktor internal yang selanjutnya adalah masalah kurikulum yang tidak diperhatikan. Sistem sentralisasi terkait erat dengan birokrasi atas bawah yang bersifat otoriter yang terkesan pihak “bawah” harus selalu melaksanakan seluruh keinginan pihak “atas”. Dalam sistem yang seperti ini inovasi dan pembaharuan tidak akan muncul. Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum pendidikan islam tersebut mengalami perubahan paradigma, walaupun sebelumnya tetap dipertahankan. Hal ini dapat dicermati dari fenomena perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaran agama islam.

Salah satu faktor eksternal adalah dikotomi yaitu masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan islam dalam beberapa aspek yaitu antara ilmu agama dengan ilmu umum, antara wahyu dan akal setara antara wahyu dengan alam. Munculnya problematika ini dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Solusi dari permasalahan ini adalah harus ditambahnya perhatian kepada mata pelajaran pendidikan agam islam dan penanganan atau upaya dalam masa covid-19 ini yang tidak memberhentikan secara keseluruhan dalam hal pengajaran. Pemerintah terutama di bidang pendidikan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel.

Ajaran Agama Islam mewajibkan umat pemeluknya supaya sanggup menjadi umat yang terpelajar, dimana jumlah orang yang berpendidikan harus semakin meningkat, sedangkan jumlah orang yang tidak berpedidikan akan terus berkurang dan akhirnya lenyap. Pendidikan islam membimbing anak didik dalam perkembangan dirinya, baik jasmani maupun rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama pada anak didik nantinya di dasarkan pada hukum-hukum islam.

Dasar-dasar pendidikan islam meliputi: Al-Qur’an, sunnah dan ijtihad. Tujuan pendidikan islam menurut al-qur’an adalah menjelaskan posisi peserta didik sebagai manusia diantara makhluk Allah lainnya dan tanggung jawabnya dalam kehidupan, menjelaskan hubungannya sebagai makhluk sosial dan tanggung jawabnya dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, menjelaskan hubungan manusia dengan alam dan tugasnya untuk mengetahui hikmah penciptaan dengan cara memakmurkan alam semesta, menjelaskan hubungan dengan Sang Khalik sebagai pencipta alam semesta.

Mukti Syawal Ilmi Rosyada, SMK Muhammadiyah Lebaksiu, PD IPM Kabupaten Tegal

Exit mobile version