Terhimpit Ultimatum Ayah dan Ibu

Terhimpit Ultimatum Ayah dan Ibu

Assalamu’alaikum wr wb. Bu Emmy yth, saya (27 tahun) punya masalah yang berkaitan dengan permusuhan ayah dan ibu. Gara-gara permusuhan mereka, saya dua kali gagal menikah. Ayah dan ibu sudah bercerai sejak saya SMP, karena ayah menikah lagi. Sekarang bapak tinggal di kota B, bersama istri dan ketiga anak laki-lakinya, dan saya bersama ibu tinggal di kota S.

Sekarang saya sudah punya calon serius dan ingin segera menikah. Bapak ingin menikahkan sekaligus memestakan saya di kota B. Karena ini tugas terakhirnya, yaitu menikahkan anak perempuan satu-satunya. Bapak tidak mau menikahkan di kota dimana saya dan ibu tinggal. Bapak mengancam tidak perlu menganggap bapak lagi bila tidak patuh. Sedang ibu juga sama kerasnya, menurut ibu, harusnya bapak yang harus hadir menikahkan di kota S. Karena saya tinggal di sini. Alasan ibu, menurut Rasulullah saw, yang harus didengar adalah ibu baru kemudian ayah. Selain itu, selama ini ibu sudah banyak mengalah dan menderita karena dicerai bapak.

Saya sudah tanya ke KUA tentang masalah saya. Menurut KUA, sebaiknya ibu yang mengalah, karena yang wajib menikahkan adalah bapak, toh nanti setelah nikah, tinggalnya sama ibu. Saya malu pada keluarga calon. Alhamdulillah mereka tidak menuntut macam-macam. Saran ibu sangat saya nantikan agar pernikahan ini tidak tertunda. Atas jawabannya jazakumullah. Wassalamu’alaikum wr wb.

R, somewhere

Wa’alaikumsalam wr wb. R yang baik, memang perceraian itu menyakitkan kedua belah pihak. Karena besarnya rasa marah dan kecewa, sering kali kedua mantan pasangan “lupa” bahwa sebenarnya yang paling menderita adalah anak yang pernah terlahir dari perkawinan mereka. Anak yang sebenarnya tidak pernah minta dilahirkan dan tidak pernah memilih untuk menjadi anak mereka. Masalah akan terus mengikuti setiap peristiwa penting yang terjadi pada anaknya, karena dalam suasana hati yang tak kunjung ikhlas memaafkan, yang muncul adalah rasa egois, tidak mau kalah dan tak terlihat kompromi. Padahal sebenarnya kompromi ini perlu dilakukan demi kebahagiaan anaknya. Bukan untuk memberi perasaan menang atau lebih benar pada salah satu dari keduanya.

Idealnya, perceraian menandai akhir dari ikatan hak dan tanggung jawab sebagai suami dan istri, jadi tidak perlu ada rasa marah, benci, atau sakit hati akibat ulah mantannya. Tapi, jika ada anak yang terlahir dari ikatan tadi, sebaiknya tanggung jawab bersamanya tak boleh putus karena anak masih tumbuh dan tetap butuh ayah maupun ibunya. Nyatanya, kebanyakan dari mereka ketika membuat keputusan bercerai keduanya menampilkan ketidakdewasaan sikap dan perbuatan.

Dan ini berulang pada situasi lain. Misal untuk urusan anak, mereka tidak dewasa, artinya tidak mengedepankan kepentingan anaknya. Hal ini disebabkan oleh harga diri, gengsi dan dendam yang ditumpahkan untuk mencegah pihak lain merasa nyaman atau memperoleh apa yang semestinya menjadi haknya. Jadi, sebenarnya yang terjadi, baik ayah maupun ibu sedang menggunakan R sebagai alat untuk melampiaskan rasa marah yang tak kunjung padam setelah sekian lama berpisah.

Maka, jangan larut dalam keruwetan ini, tetaplah berpikir jernih dengan berpegang pada apa yang seharusnya diperbuat. Gunakan agama sebagai acuan. Kemudian, aturan negara kita yaitu menikah di KUA agar hak Anda sebagai istri, serta anak-anak Anda, terlindungi. Karena masalah utamanya, bapak dan ibu yang menggunakan momen pernikahan R untuk menunjukkan siapa yang kuat dan berkuasa. Maka, dekatilah ibu dengan lembut, tetapi tegas katakan ada aturan agama yang harus ditaati. Bicara dan terus bicara pada ibu dengan baik-baik bahwa untuk pernikahan Anda sebenarnya tak perlu ada perasaan kalah atau menang terkait dengan tempat Anda menikah. Yang akan Anda lakukan adalah mengikuti apa yang diperintahkan oleh agama.

Sementara itu R juga perlu menambahkan keyakinan diri bahwa apa yang Anda lakukan adalah sebuah kebenaran sehingga tidak mudah terprovokasi oleh “senjata” ibu, yang bisa memunculkan rasa bersalah dan dosa. Tetap jaga katakata dan perilaku sopan. Kalaupun nanti Anda nikah di tempat ayah. Bukan karena orangnya yang Anda pilih, tapi aturan agama yang mengikat Anda.

Tapi, bila ibu nanti menghendaki merayakan pernikahan R, terimalah dengan senang hati. Kalaupun diancam tidak akan dirayakan jangan kecil hati. Yang penting aman di mata Allah. Semoga Allah memberi kekuatan untuk tetap bijak menyayangi dan menghormati keduanya. Sehingga bisa menjadi contoh bagi orangtua untuk belajar bahwa berpikir dan bertindak positif akan mendatangkan rasa nyaman dan lebih sehat.

Kami membuka rubrik tanya jawab masalah keluarga. Pembaca bisa mengutarakan persoalan dengan mengajukan pertanyaan. Pengasuh rubrik ini, Emmy Wahyuni, SPsi. seorang pakar psikologi, dengan senang hati akan menjawabnya.

Sumber: Majalah SM No 3 Tahun 2018

Exit mobile version