Sifat “ar-Rahman” merupakan salah satu sifat Allah SwT yang paling banyak diucapkan oleh umat Islam, yang jumlahnya diperkirakan 1,5 milyar orang di seluruh permukaan planet bumi ini. Sebab, sifat tersebut terdapat dalam Surat al-Fatihah, Surat ke-1 dalam al-Qur’an. Sementara itu, setiap kali umat Islam mendirikan shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnat, wajib membaca Surat Al-Fatihah. Karena itu, bisa dibayangkan berapa kali setiap orang Islam, orang perorang, setiap harinya mengucapkan sifat “ar-Rahman” itu, dan berapa milyar kali umat Islam sedunia mengucapkan sifat tersebut setiap harinya. Tegasnya, umat Islam sangat sering mengucapkan sifat-sifat tersebut.
Apa tafsiran makna dari sifat “ar-Rahman”? Apa pula inspirasi yang bisa kita petik dari tafsiran sifat-sifat tersebut. Mari kita perdalam pemahaman kita tentang hal tersebut.
Kata “ar-Rahman” dalam bahasa Arab masuk dalam wazan “fa’lan” dan “fa’il” yang oleh para ahlinya disebut “shifat musabbahah”, yakni sifat yang melekat pada sesuatu yang tidak pernah hilang atau lenyap: bersifat permanen. Namun, dalam kata “ar-Rahman” juga terkandung sifat “menyangatkan” (li al–muballaghah) yang karena itu ada yang menerjemahkan kata “ar-Rahman” dengan “Maha Pengasih”.
Menurut penulis, kata “ar-Rahman” bisa diterjemahkan dengan: senantiasa siap memberi kalau ada permohonan (doa) dari makhluk-Nya. Penerjemahan ini selaras dengan peryataan Allah SwT sendiri dalam Qs Al-Baqarah [2]: 186, “Aku akan kabulkan permohonan doa orang yang bersungguh-sungguh berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku.” Jika kata “ar-Rahman” diterjemahkan seperti itu, maka dalam bahasa psikologi bisa disamakan dengan istilah “rasa simpati”. Seperti diketahui, rasa simpati itu muncul kalau ada kesediaan dan keamanan hati untuk menaruh perhatian kepada orang lain secara penuh. Kalau rasa simpati sudah tumbuh dalam hati, maka seorang akan bersedia dengan senang hati dan terbuka terhadap keluhan orang lain, mau mendengar curahan hati orang lain, dan mau melihat serta merasa ikut prihatin terhadap penderitaan orang lain yang kebetulan sedang kurang beruntung.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka penyikapan terhadap sifat “ar-Rahman” dari Allah SwT adalah, kita perlu merendahkan hati di hadapan Allah SwT dengan suka berdoa kepada-Nya. Sebab, kita memang hamba-Nya. Kita lemah di hadapan-Nya. Kita sangat membutuhkan-Nya, dan membutuhkan keselamatan-Nya, membutuhkan rahmat-Nya, dan membutuhkan barakah-Nya. Inilah tanda bahwa kita ada hamba (abdun) yang baik. Di balik itu, dalam menghadapi sesama manusia, sesama makhluk, kita perlu mengembang-suburkan sifat “rasa simpati” dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang dibutuhkan orang lain, kita bisa dan mampu membantunya sesuai dengan kemampuan kita.
Mohammad Damami Zain, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 8 Tahun 2017