Judul : System Dynamics Kontraterorisme: Partisipasi dan Rasionalitas Para Aktor
Penulis : Wachid Ridwan
Penerbit : Suara Muhammadiyah
Cetakan : 1, Agustus 2020
Tebal, ukuran : xxxii + 248 hlm., 14 x 21 cm
ISBN : 978-623-92809-3-2
Perang melawan terorisme global telah dimulai sejak tragedi WTC AS 11 September 2001, dan telah memporak-porandakan Afghanistan dan Irak. Di Indonesia, dimulai sejak Bom Bali 12 Oktober 2002. Meski sudah berlangsung belasan tahun, sejauh mana dampak yang ditimbulkan oleh perang melawan terorisme? Jangan-jangan justru tidak membawa hasil?
Kebutuhan sebuah sistem kontraterorisme yang komprehensif tidak dapat ditunda. Haedar Nashir dalam pengantar buku ini mewanti-wanti bahwa penanganan terorisme tidak bisa dilakukan dengan paradigma tunggal, tetapi harus dengan perspektif yang luas, dari banyak sudut pandang. Analisis pendekatan sistem dalam buku ini diharapkan menjadi salah satu alternatif dan mungkin bisa dijadikan bench mark.
“Dalam situasi yang nyata di tanah air, isu radikalisme dan terorisme sangat sulit diketahui angka parameternya karena pemerintah dan aparat Densus 88 tidak mempunyai indeks pengukurannya,” (hlm 147-148). Langkah awal yang seharusnya dilakukan adalah menggali aktor-aktor yang terlibat dalam sistem dan memahami dengan tepat posisinya dalam sebuah sistem kenegaraan dan pemerintahaan yang punya kompleksitas seperti Indonesia.
Ada empat variabel kunci sebagai unit analisis dalam system dynamics kontraterorisme yang ditunjukkan dalam buku ini: masyarakat (organisasi masyarakat), pemerintah Republik Indonesia, pemerintah asing, dan lembaga swadaya masyarakat dalam negeri. Kesemua variabel ini harus diukur secara cermat.
Keterlibatan masyarakat dan pemerintah sama pentingnya. Setiap ada peristiwa terorisme, Muhammadiyah dan NU mengeluarkan pernyataan mengutuk, yang sangat membantu pemerintah dalam melawan terorisme. Terlebih di kalangan tertentu, terkadang suara tokoh agama lebih didengar dibanding pemerintah. Sisi lain, masyarakat tak berdosa hampir selalu menjadi korban akibat dari serangan kelompok teroris yang menjalankan “amaliah” yang mereka yakini kebenarannya. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat dalam proses pencegahan terorisme adalah keniscayaan.
Lembaga Swadaya Masyarakat juga berperan dalam fungsi pengawasan terhadap kebijakan pemerintah sebagai penyeimbang bagi gerak pemangku kebijakan. Muhammadiyah dan Kontras, misalnya, termasuk di antara lembaga yang cukup kritis terhadap kebijakan kontraterorisme oleh Densus 88 yang dianggap menimbulkan masalah atau ketegangan baru. Umpan balik dari masyarakat atas kebijakan pemerintah menjadi sangat penting sebagai alat evaluasi jalannya pemerintahan.
Keamanan individu merupakan hak asasi manusia dasar. Negara berkewajiban untuk memastikan setiap warganya terlindungi. “Keamanan menjadi faktor utama yang harus dibenahi, meskipun faktor agama dan sosial juga tak kalah penting yang harus juga dipastikan jalan keluarnya sehingga keduanya bisa menopang stabilitas keamanan,” (hlm 143). Upaya kontraterorisme jangan sampai melanggar hak asasi manusia dan supremasi hukum. Penghormatan atas hak asasi dan aturan global menjadi landasan perang global melawan terorisme (hlm 155). Prinsip ini harus menjadi nilai dasar dalam melawan terorisme, istilah yang kini telah diperebutkan dan dipolitisasi. (ribas)