Santri Meniru Figur Sang Kiai

Suara Muhammadiyah – Seperti yang kita tahu, bahwa santri sangat identik dengan pesantren. Zamakhsari Dhofier menjelaskan dalam bukunya, Tradisi Pesantren (2011), bahwa pondok berasal dari kata funduq dakam bahasa Arab, yang berarti “asrama”. Sementara, kata pesantren berasal dari akar kata santri. Ia mengutip pendapat dari Prof. Johns yang menyebutkan kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru”. Senada dengan CC Berg, Ia menyebutkan kata santri berasal dari kata shastri atau cantrik dalam bahasa sanksekerta yang berarti “orang yang mengetahui isi kitab suci” atau “orang yang selalu mengikuti guru”.

Tak heran, jika santri itu mengetahui isi kitab, terlebih mampu membaca kitab. Sederhananya, santri yang menimbu ilmu di pondok pesantren sangat diharapkan mampu membaca kitab kuning kalau bahasa awamnya. Maka dari itu, keberadaanya untuk menimba ilmu harus jauh dari orang tua sehingga mereka bisa memiliki kemandirian dan rasa tanggung jawab. Hal itu pula yang mebiasakan seluruh santri saling membantu dikalangannya.

Misalnya saja cara pandang santri terhadap hak milik. Sekalipun ada pengakuan hak milik pribadi, namun pada realitanya hak itu sudah menjadi milik umum. Barang-barang seperti sandal dan ember hampir bisa dipakai oleh siapapun dan kapanpun secara bebas. Bahkan jika ada santri yang menolak meminjamkan barang tersebut akan memperoleh sanksi sosial dari temannya.

Santri selalu melakukan kegiatan dan diarahkan untuk senantiasa menjalankan aktivitas kepada hal yang lebih fungsional dan produktif. Bahkan, tak jarang kegiatan yang dilakukan santri memiliki keunikan tersendiri. Seperti kegiatan didalam asrama, masjid, bergulat dengan kitab kuning, bahkan meniru sang kiai sebagai sosok central figure dengan melaksanakan hidup zuhud, mandiri, gotong royong, memberlakukan aturan agama secara ketat serta kehadirannya ditengah masyarakat yang dapat memberikan solusi dan mengayomi.

Merujuk pada kegiatan dan pendidikan santri,  ada beberapa nilai yang kompatibel sebagai icon dari seorang santri. Nilai-nilai ini sangat melekat pada setiap individual santri, yakni solidaritas, kesetaraan, toleransi dan dialog.

Solidaritas

Seluruh santri yang tinggal di pesantren memiliki pengaruh dan sikap mental positif dalam diri santri. Santri menyadari keniscayaan sebuah perbedaan, dengan mengambil nilai persamaan sebagai pemersatu sehingga terbentuk sebuah solidaritas. Dalam islam dikenal konsep ukhuwah yang dapat disamakan dengan solidaritas. Al-Qiyam al-Ahmad Yusuf mengatakan bahwa interaksi manusia dengan sesamanya harus didasarkan pada keyakinan bahwa semua manusia adalah bersaudara dan bahwa anggota masyarakat muslim juga saling bersaudara. Quraish Shihab mengataan bahwa kesamaan rasa dan cita merupakan faktor dominan lahirnya persaudaraan. Terlebih, mereka yang sudah tinggal satu kamar dan satu atap, tanpa disadari menjaga solidaritas kepada sesame akan muncul dengan sendirinya.

Kesetaraan

Dalam hal kesetaraan, pesantren mengajarkan bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan dan pelayanan yang sama. Semua diperlakukan sama tanpa memandang asal daerah, status sosial, ekonomi dan latar belakangnya. Islam menghendaki kesetaraan antar sesama makhluk hidup. Allah tidak menganggap seseorang lebih mulia dari pada yang lain. Barometer kualitas manusia diukur dengan kadar ketakwaannya (Q.S. Al-Hujurat [49]: 13). Perbedaan status sosial bukan sebuah perbedaan yang esensial.

Toleransi

Toleransi dan non-kekerasan lahir dari sikap menghargai diri (self-esteem) yang tinggi. Kuncinya ada pada bagaimana semua pihak mempresepsikan dirinya dan orang lain.  Sehingga mengakui perbedaan adalah akar tumbuhnya toleransi. Namun tidak cukup hanya pengakuan terhadap kemajemukan masyarakat, penting juga disertai dengan sikap positif demi terciptanya kerukunan. Sehingga sikap toleransi pada dasarnya adalah mendamaikan perbedaan untuk saling mengakui dan menghormati identitas, perilaku dan kepentingan masing-masing. Kerukunan merupakan sikap yang berasal dari lubuk hati, terpancar dari kemauan untuk berinteraksi sebagai manusia tanpa tekanan dari pihak manapun. Dokrin toleransi dan saling menghargai dalam Al-Qur’an terdapat dalam Surat Al-Hujurat (49): 11-13.

Dialog

Salah satu jalan mencapai kesepahaman ditengah pluralitas adalah dengan dialog konstruktif dengan cara yang ramah dan santun sehingga posisi masing-masing menjadi jelas. Dalam dialog, semangat yang dicari adalah common values and strenghts, bukan untuk menjatuhkan lawan dan merasa paling benar. Dialog berangkat dari ketulusan dan kepala dingin dari masing-masing individu untuk menyelesaikan masalah.. Sudah semestinya para santri memiliki karakter saling berdialog. Sebab, dialog tidak sekedar mengumpulkan unsur-unsur persamaan doktriner, tradisi dan semangat. Dialog perlu melibatkan semua unsur perbedaan yang otentik. Dialog berbasis persamaan memang perlu, tetapi membicarakan perbedaan dengan sikap saling menghargai dan komitmen yang tulus juga perlu dilakukan. (rahel)

Exit mobile version