Pada Pesan dan Kisah Kiai Ahmad Dahlan Dalam Hikmah Muhammadiyah (2007) Abdul Munir Mulkhan menyebutkan, dalam beberapa kesempatan Sang Pencerah sering menyatakan: “Banyak orang bertanya tentang berbagai persoalan keagamaan, tapi jarang yang bertanya tentang apa yang harus dilakukan dan harus diamalkan dalam keagamaan, apa-apa yang harus tidak dilakukan atau dijauhi agar bisa lolos dari api neraka.”
Peryataan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah di atas jelas erat kaitannya dengan hasil pengamatan Kiai sendiri terhadap kondisi dan kebiasaan umat saat itu. Secara tidak langsung tergambar, bahwa banyak orang yang sudah faham akan agama, tapi beragamanya sebatas pengetahuan tanpa prilaku. Arti lebih jelasnya, banyak orang mengaku beragama, bahkan sangat memahami agama, tapi prilaku dan perbuatannya jauh dari nilai-nilai agama, jauh dari nilai-nilai kemanusiaan universal.
Penyakit ini, mengutip Muhammad Kutub (Qadhaitu at-Tanwiir fii al-‘Alami al-Islami), Pradana Boy ZTF, Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Muhammadiyah Malang, menyebutnya dengan al-Fikr al-Irja’iyu, yaitu bahwa amal itu terpisah dengan iman. Di satu sisi orang mengaku beriman, tapi pada sisi lain keimanannya tidak boleh diukur dengan prilakunya.
Secara umum, Boy menjelaskan, ada dua penyakit yang melekat pada mayoritas umat Islam era modern ini. Adalah penyakit akidah, salah satunya disebutkan di atas, dan penyakit prilaku atau moral yang menyangkut etika dan etos. Di antaranya al-Kadzab (bohong), al-Ghibah wa Namimah (gosip dan adu domba) yang pada era 4.0 ada dalam bentuk media sosial, Adamu al-Amanah fi al-Amali (tidak profesional), Adamu li Ihktirami al-Waqti (tidak disiplin), dan Dha’fu al-Himmati li al-Amali (lemah semangat).
Najib Burhani Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggarisbawahi, bahwa benar gosip dan adu domba banyak menghiasi media sosial. Padahal internet dan media sosial cukup terbukti memiliki peran besar terhadap kualitas keyakinan dan prilaku masyarakat. Parahnya, dalam bermedia sosial, sebagai bagian dari ekspresi kebebasan, justru dijadikan alat untuk membenarkan diri pribadi dan kelompoknya dan sebaliknya menjadi alat untuk menyalahkan orang lain dan kelompok yang berbeda, atau bahkan cenderung mematikan, memutus hubungan dengan mereka yang berbeda pandangan. Akibatnya mayoritas orang sudah tidak menganggap penting kebenaran, kebenaran bukan sesuatu yang pertama dan utama.
Dalam bahasa lain, Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menyebutnya dengan istilah penyakit inferior. Yaitu mencari dan mendapatkan informasi bukan dalam rangka untuk menemukan kebenaran, tapi justru untuk mencari pembenaran. Sesuatu dianggap benar jika sesuai dengan apa yang ia yakini, dan ia tidak akan mau mengatakan sesuatu itu benar karena hanya sesuatu yang benar itu berbeda dengan pandangannya. “Itulah salah satu kejahiliyahan moral saat ini,” tegasnya.
Di sinilah kemudian, dibutuhkan pencerahan. Sebab pencerahan itu erat kaitannya dengan permasalahan umat. Yunahar Ilyas, Wakil Ketua Umum MUI menerangkan, sebagaimana Al-Baqarah ayat 257, pencerahan merupakan proses mengubah kegelapan kepada cahaya keislaman.
Konsep mencerahkan dalam Muhammadiyah, terang Yunahar, itu menyangkut tiga hal. Pertama, membebaskan (Tahriru an-Naas), terutama membebaskan manusia dari ibadah kepada sesama kepada ibadah kepada Allah semata. Itu sebabnya, kata Abdul Mu’ti menguatkan, ayat-ayat yang turun di Makkah (Makkiyah) adalah ayat-ayat akidah.
Menurutnya, dalam formula sosiologi, ayat-ayat tauhid itu membawa nilai egalitarianisme kemanusiaan. Yaitu mengandung pengertian kalau orang itu hanya menyembah kepada Allah, maka selain Allah itu semua adalah sebatas makhluk. Karena sama-sama makhluk Allah, maka semama makhluk tidak boleh menindas. “Itu pesannya,” tandas Mu’ti. Tujuannya, sambungnya, melahirkan masyarkat egaliter untuk melawan sistem feodal yang berlaku di Makkah. Termasuk kemudian, membebaskan manusia dari kebodohan dan kemiskinan.
Kedua, papar Yunahar, gerakan pencerahan untuk memberdayakan, menjadikan umat kuat dan mandiri. Baik dalam akidah, ibadah, akhlak, jamaah, harta, dan ilmu pengetahuan, sebagaimana tercantum dalam AlAnfaal ayat 60. Terkait akhlak, Yunahar menitikberatkan pada pribadi masingmasing dahulu.
Karena faktanya memang standar akhlak Muslim semakin rendah. Penelitian Hossein Askari guru besar politik dan bisnis internasional Universitas George Washington, AS, tentang negara paling berakhlak islami menguatkan hal ini. Dari 208 negara, ternyata tak satu pun negara mayoritas Muslim menduduki peringkat 25 besar. Artinya negara-negara Muslim justru jauh dari nilai-nilai dan akhlak keislaman.
Ketiga, gerakan pencerahan untuk memajukan. Menurutnya, proses dasar untuk memajukan diawali dengan pemahaman, ideologi. Baginya, Muhammadiyah identik dengan gerakan pencerahan sebab Persyarikatan ini memiliki pemahaman yang sangat independen. Tak bermadzab apapun.
Selanjutnya, kemajuan bisa terwujud karena adanya ketaatan untuk memunculkan keshalihan. Baik keshalihan individu maupun keshalihan sosial. Sehingga akhirnya memicu orang untuk berbuat sesuatu, mengejar produktivitas. “Muhammadiyah kental dengan ini sebab Muhammadiyah memiliki slogan sedikit bicara banyak bekerja,” ucapnya.
Terakhir, kebersamaan. Mencerahkan kehidupan umat berbangsa dan bernegara amatlah berat. Muhammadiyah tidak mampu melakukan ini sendiri. Karenanya, kebersamaan dalam bingkai kerjasama penting ditempuh. “Yang ada ormas Islam berjalan sendiri-sendiri, saling tumpang tindih peran dan fungsi masing-masing, hingga akhirnya berujung konflik,” keluh Wakil Ketua Umum MUI ini.
“Mari berlomba membangun masjid, bukan berlomba merebut masjid orang,” imbuhnya.
Pencerahan sebagai upaya dakwah menuju kepada kebaikan di sini, adalah menawarkan perubahan dengan solusi-solusi ilmiah, bukan dengan cara lain apalagi kekerasan. Tapi dengan keluhuran akhlak. Sebab itulah yang dicontohkan Nabi dalam dakwahnya sehingga terlahir masyarakat madani (Madinah al-Munawarah). (gsh)
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2019