Oleh: Dr Ilpi Zukdi, MPd
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 memberi penegasan bahwa pendidikan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia untuk bisa menghadapi perkembangan zaman yang dilandasi oleh nilai-nilai religius, berakhlak mulia, cendikia, mandiri dan demokratis.
Dalam perspektif Ki Hajardewantara (1977:14) bahwa pendidikan adalah: “daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan bathin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak”.
Terkait dengan itu, pendidikan karakter diharapkan dapat memberikan pengaruh positif dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi apapun yang dapat menimbulkan stress. Oleh karena itu pendidikan karakter dapat memberi pengaruh meningkat, memperbaiki, mengubah tata cara, keterampilan sikap serta tata laku seseorang dan membentuk kepribadian bagi diri sendiri.
Pendidikan karakter merupakan bentuk aktifitas manusia yang didalamnya mengandung tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya.
Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik.
Pada lembaga pendidikan Muhammadiyah, pendidikan karakter diberikan melalui pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan dengan maksud untuk mengenalkan, menanamkan dan mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dan peserta didik mengenal organisasi yang diikutinya.
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK) menjadi identitas khusus di lembaga Muhammadiyah. (Ali, 2010:12; Thamrin, 2019). AIK merupakan muatan pendidikan yang bernilai strategis karena berfungsi membina dan mengantarkan peserta didik menjadi insan yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt, berakhlak mulia, mengamalkan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tuntunan al-Quran dan as-Sunnah. Rapat Koordinasi Nasional Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Bengkulu (2011) menegaskan bahwa “Al-Islam dan Kemuhammadiyahan menjadi spirit/ruh dan visi bagi mata pelajaran lain, bukan semata-mata berdiri sendiri secara terpisah sebagai salah satu mata pelajaran. Sifat kurikulum Al-Islam dan Kemuhammadiyahan telah terintegrasi dengan mata pelajaran lain dan persoalan kehidupan”.
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan membentuk insan akademis yang bersusila, berkarakter dan berkepribadian muslim (learning to be), karena itulah yang menjadi tolak ukur keberhasilan mata pelajaran ini yaitu yang paling pokok adalah terletak pada perubahan sikap (attitude), mental dan tingkah laku siswa.
AIK diberikan selama empat semester mulai dari semester I sampai semester IV, yang diharapkan para lulusannya dapat menyerap prinsip ideologis dan karakter kepribadian Muhammadiyah, sekaligus mereka menjadi kader dan lulusan yang berilmu tinggi, berakahlak mulia, dan profesional sehingga dapat menjadi generasi “Sang Pencerah”.
Para pendidik mempunyai tanggung jawab untuk mewujudkan harapan tersebut dengan meningkatkan dan mengembangkan kualitas pembelajaran seperti: pengembangan berbagai model pembelajaran, bahan ajar, media, strategi serta evaluasi yang sesuai dengan karakteristik Kemuhammadiyahan. (Sakkir, Geminastiti.ddk. 2016:170). Amanah Muktamar Muhammadiyah ke 46 juga menegaskan bahwa : “Perlu dikembangkan model-model pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan di seluruh jenjang pendidikan yang memberikan pencerahan paham Islam dan komitmen gerakan Muhammadiyah yang berkemajuan”.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purnama (2015) menemukan bahwa problematika pembelajaran AIK adalah belum di desain secara baik, sehingga belum relevan dengan visi pendidikan Muhammadiyah.
Sejalan dengan ini Khilmiyah, Akif dan Syamsudin (2016) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa strategi pembelajaran AIK perlu diinovasi dengan model pembelajaran yang lebih bersifat problem solving dan mensinkronkan materi dengan progam.
Ibadah adalah Sebuah Model
Fenomena yang ditemukan dilapangan, aktifitas perkuliahan dimulai oleh dosen dengan memberikan silabus dan membagi mahasiswa kedalam beberapa kelompok. Setiap kelompok membuat makalah berdasarkan referensi yang dibaca dan terkait dengan materi yang ada di silabus. Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan dosen dari awal sampai akhir pembelajaran dititik beratkan pada membaca, diskusi serta hasil dalam bentuk nilai. Pembelajaran AIK lebih cendrung menerapkan model pendidikan yang berpusat pada materi, normative, doktriner dan berpusat pada dosen.
Sementara itu mahasiswa cendrung hanya fokus pada penguasaan materi tetapi kurang menghayati dan mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya. Implikasi dari hal ini belum maksimalnya perilaku berakhlak mulia yang ditampilkan mahasiswa setelah menempuh mata kuliah ini baik dari segi ke-Islaman maupun Kemuhammadiyahan.
Oleh karena itu model pembelajaran perlu dikembangkan model dialogis yang menempatkan mahasiswa sebagai subyek pembelajar dan pemeran utama pembelajaran (self learning) yang menemukan sendiri niai-nilai AIK. Oleh karena itu, para mahasiswa dibawa kepada kondisi riil yang ada ditengah-tengah masyarakat, keamal-amal usaha yang relevan dengan fakultas mahasiswa tersebut.
Untuk itu diperlukan pengembangan urutan aktivitas atau fase dalam pembelajaran (Sintaks) dari baca, diskusi dan hasil kepada Ikhlas, Baca, Amati, Diskusi, Analisis dan Hasil dengan akronim IBADAH. Pembelajaran harus dimulai dengan niat ikhlas baik dosen maupun mahasiswa, setelah itu dilanjutkan dengan baca. Baca yang dimaksud adalah disamping memulai pembelajaran dengan membaca al-Quran, juga membaca materi yang akan dipelajari melalui buku, film atau video yang berkaitan dengan materi dan membaca problematika yang ditemui mahasiswa baik di masyarakat maupun di amal usaha Muhammadiyah.
Langkah selanjutnya melakukan pengamatan dari hasil bacaan. Hasil pengamatan yang telah dilakukan dilanjutkan dengan mendiskusikan antar sesama mahasiswa. Diskusi dilakukan dengan analisa secara ilmiah dan diharapkan menghasilkan kesimpulan yang bisa menjadi masukan untuk organisasi maupun amal usaha.
Sintaks yang dikembangkan dalam model pembelajaran ini merupakan reformulasi model pembelajaran yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan dalam memahamkan surat al-maun kepada para santrinya. KH Ahmad Dahlan lebih menekankan pentingnya kontekstualisasi pemahaman agama yang tidak cukup pada tingkatan tekstual tapi diaplikasikan secara kontekstual.
Dr Ilpi Zukdi, MPd, Ketua Majelis Dikdasmen PWM Sumbar, PPs Universitas Negeri Padang