Arah Baru Gerakan Ekonomi ‘Aisyiyah

Arah Baru Gerakan Ekonomi ‘Aisyiyah

Oleh: Roni Tabroni

Entah apa yang akan terjadi dengan Kongres Perempuan I (Yogyakarta, 22-25 Desember 1928) tanpa kehadiran `Aisyiyah. Sebuah agenda yang sangat penting dalam catatan sejarah perempuan di tanah air–yang diselenggarakan beberapa saat setelah Kongres Pemuda II yang terkenal melahirkan Sumpah Pemuda—itu tidak banyak yang tahu bahwa setengah peserta kongres perempuan itu sebenarnya dipenuhi oleh kader-kader `Aisyiyah. Bahkan inisiatif penyelenggaraan kongres ini pun berasal dari `Aisyiyah.

Untuk memastikan jalannya kegiatan, panitia penyelenggara banyak dibantu perempuan-perempuan terdidik `Aisyiyah. Ketika perempuan lain masih tabu dengan gerakan yang memperjuangkan hak-haknya kaumnya sendiri, perempuan Muhammadiyah ini sudah menghimpun diri 11 tahun sebelum Kongres Perempuan I itu diselenggarakan.

Masih hangat dalam ingatan kita ketika gerakan kesetaraan gender yang dielu-elukan aktivis perempuan barubaru ini, bagi `Aisyiyah itu bukan hal baru. Tanpa jargon itu pun semuanya sudah menjadi nafas gerakan yang justru jauh melampaui bangunan wacana yang dikampanyekan. `Aisyiyah sejak awal sudah menyadarkan kaum perempuan untuk bangkit membela hak-haknya. Bahkan tanpa gembar-gembor pula `Aisyiyah menata gerakannya begitu sistematis. Kini amal usaha `Aisyiyah terhampar di seluruh pelosok tanah air, mulai dari bidang pendidikan (PAUD, TK sampai Perguruan Tinggi), pelayanan sosial, pusat pendampingan, balai kesehatan, hingga kantong-kantong ekonomi.

Perjuangan `Aisyiyah sejak awal didirikannya menjadi penting sebab tidak hanya berpikir tentang dirinya sendiri, tetapi `Aisyiyah turut memerdekakan keluarga dan membantu memerdekakan bangsa Indonesia. Gerakan perempuan ini sangat berbeda dengan gerakan kekinian yang hanya berakhir di kata-kata.

Penguatan Gerakan Ekonomi

Dari sisi gerakan kultural `Aisyiyah merupakan organisasi sangat mapan, tersebar, dan kuat. Militansi dan keaktifan kadernya tidak perlu dipertanyakan lagi, bukan karena gula-gula dan kue organisasi yang senantiasa menjadi rebutan aktivis amatiran. Rentang waktu satu abad sudah lebih dari cukup untuk menguji soliditas dan peran kemanusiaannya.

Namun, memasuki gerbang abad kedua `Aisyiyah kini dihadapkan pada tantangan yang tidak sederhana. Walaupun bukan hal baru, aspek ekonomi menjadi agenda prioritas yang digariskan dalam Tanwir `Aisyiyah awal tahun ini di Surabaya. Mengambil sektor ekonomi tentu bukan tanpa alasan. Di tengah kondisi perekonomian yang sulit, kita banyak mengambil pelajaran dari sosok perempuan yang tangguh dan ulet.

Ekonomi dalam konteks ‘Aisyiyah, bukanlah hanya persoalan uang. Ekonomi merupakan bangunan sistem tata nilai yang harus diorganisir secara rapih dan massif. Dalam konteks ini `Aisyiyah perlu membangun sebuah sistem yang kuat untuk membangun sebuah fondasi ekonomi yang tahan banting, tidak mudah layu terkena moneter, dan jika perlu menjadi antitesis dari kebijakan ekonomi negara yang terkadang ugal-ugalan.

Jika sejak awal `Aisyiyah selalu menjadi pelopor dalam berbagai hal, maka dalam konteks ekonomi `Aisyiyah harus bisa melahirkan sebuah kosep baru yang layak. Ekonomi bukan hanya persoalan jual-beli atau ekonomi yang direduksi menjadi hanya rupiah, tetapi ekonomi dalam arti substansi ketahanan diri, keluarga, komunitas sosial, organisasi, dan negara dari sebuah krisis multidimensi.

Gerakan ekonomi bagi `Aisyiyah sebetulnya sudah berjalan berpuluh-puluh tahun dan memiliki percontohan di beberapa daerah, sehingga tidak perlu memulai dari nol. Dalam hal ini ada beberapa poin yang penting dilakukan oleh `Aisyiyah.

Pertama, melakukan penguatan di internal melalui berbagai aktivitas ekonomi dengan ciri khas `Aisyiyah karena di luar sana banyak gerakan ekonomi yang terus digalakkan oleh pemerintah yang secara kasat mata banyak gagalnya daripada suksesnya. Program Wira Usaha Baru (WUB) rata-rata hanya seremoni dan hanya meninggalkan sedikit bekas. Pesertanya sangat cair dan tidak menjadi sebuah jaringan ekonomi yang berada dalam sebuah komunitas besar.

Kedua, merangkul kaum perempuan secara massif baik di internal maupun eksternal Muhammadiyah. Secara internal, `Aisyiyah dan Nasyiatul `Aisyiyah (NA) bisa menjadi sebuah tim solid yang dapat menggerakkan perempuan lebih luas lagi. Sebab menggerakkan perempuan secara umum lebih sulit jika secara internal saja masih berjalan masing-masing.

Ketiga, menjadikan gerakan ekonomi sebagai sarana dakwah dan edukasi kepada kaum perempuan secara umum. Artinya masuk pada wilayah bisnis `Aisyiyah akan membangun sebuah kultur baru dengan nilai-nilai baru yang mungkin tidak ditemukan pada aktivitas bisnis yang lain. Maka yang penting dilakukan sebelumnya adalah membangun pemahaman bersama tentang visi bisnis, sehingga setiap langkahnya dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk mewujudkan visi tersebut.

Masuknya `Aisyiyah pada wilayah ekonomi bukan hanya mengubah aktivitas kaum perempuan, tetapi juga membangun sebuah peradaban baru melalui aktivitas rekayasa sosial yang sarat nilai. Orientasi ekonomi khas `Aisyiyah bukan pada penumpukan kekayaan individual tetapi membangun ekonomi jamaah dan persyarikatan untuk kelancaran dakwah dan kesejahteraan bersama.

Modal Gerakan

Mewujudkan visi besar ini bukanlah hal yang mustahil bagi `Aisyiyah karena sudah memiliki modal yang sangat signifikan. Pertama, modal sosial. Karakter kader-kader `Aisyiyah yang guyub, mudah berbagi dan bergotong-royong dalam menjalankan berbagai kegiatan dari dulu hingga kini, merupakan modal penting untuk membangun kekuatan ekonomi. Kultur `Aisyiyah memiliki karakteristik yang khas di tengah kehidupan masyarakat yang terus berubah, di tengah godaan modernisasi yang semakin individualistik.

Walaupun kegiatannya banyak mengaji tetapi `Aisyiyah juga berbeda dengan kultur komunitas majelis ta`lim yang muncul akhir-akhir ini. Kebersamaan kader-kader `Aisyiyah dapat dibedakan dalam berbagai aspek, sebab pada dasarnya kader `Aisyiyah bukan orang yang hanya kenal sesaat dan bertemu dalam forum pengajian. Karakter peduli dan kebersamaan bukan hal baru tetapi sudah tertanam sejak lama dan tidak hadir ketika menghadapi event tertentu, tetapi selalu hadir setiap saat.

Kedua, modal struktural. Tidak banyak kelompok masyarakat yang ingin mengembangkan ekonomi dengan memiliki modal struktural yang massif dan tertata dengan rapi. `Aisyiyah sebagai gerakan perempuan yang modern memiliki modal yang sangat mahal ini. Bahkan pemerintah pun sebenarnya belum tentu bisa menggerakkan kegiatan ekonomi yang terstruktur dari mulai pusat dan menetes hingga ke akar rumput. `Aisyiyah sangat mungkin melakukannya, walaupun sebenarnya ada pembagian tugas yang proporsional antara yang di Pusat, Wilayah, hingga ke Ranting dan komunitas.

Dengan demikian `Aisyiyah adalah sebagai barisan, bukan kerumunan. Jumlah yang sangat banyak di `Aisyiyah menjadi modal sebab sudah tertata dengan baik. Sebagai organisasi, `Aisyiyah memiliki visi yang sangat jelas. Program ekonomi dalam `Aisyiyah akan sangat berkorelasi dengan visi tersebut, sehingga tidak akan berjalan sendiri dan tanpa arah.

Ketiga, ketersediaan tenaga ahli. Baik secara kelembagaan maupun individu, `Aisyiyah memiliki banyak ahli yang dapat dijadikan leader untuk kegiatan ekonomi. Artinya sektor bisnis apapun yang akan digarap `Aisyiyah, tenaga ahlinya sudah ada di internal organisasi. Jika organisasi lain selalu kesulitan tenaga ahli, maka `Aisyiyah sudah memilikinya. Terlebih jika kita akan mengerahkan jaringan atau mitra `Aisyiyah yang tersebar di berbagai lembaga, instansi pemerintah maupun NGO.

Keempat, modal pasar atau konsumen. Pasar pertama `Aisyiyah adalah pimpinan `Aisyiyah yang tersebar di seluruh tanah air. Jumlahnya sangat fantastis dan militan. Bahkan, kelebihan `Aisyiyah adalah pada kendali kebutuhan keluarga, yang sebenarnya bisa ditentukan oleh seorang ibu. Artinya, menghitung `Aisyiyah kita akan mengalikannya dengan anggota keluarga, belum lagi saudara atau orang-orang dekatnya dan amal usaha `Aisyiyah yang bergerak di berbagai sektor. Amal usaha itu dapat menjadi konsumen aktif dengan tingkat kebutuhan yang sangat tinggi.

Dengan empat modal di atas, `Aisyiyah sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menggerakkan sektor ekonomi melampaui kekuatan modal yang didewakan pihak lain. Dengan konsep pemberdayaan masyarakat berkelanjutan dan terorganisir, `Aisyiyah di abad kedua ini akan mencatatkan sejarah baru sebagai gerakan perempuan yang berkontribusi pada penguatan ekonomi bangsa.

Roni Tabroni, Dosen Universitas Sangga Buana Bandung

Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2018

Exit mobile version