Oleh : Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
“Islam bukanlah agama pendendam,
bahkan Islam mencegah perbuatan tidak berperikemanusian.
Agama ini menyuruh manusia untuk menetapi janjinya,
memaafkan kesalahan orang lain yang meminta maaf,
dan melupakan kekejaman musuh ketika berkuasa
walaupun musuh itu telah menindas umat Islam”.
(Sultan Saladin, 1139 – 1193)
Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (ruhani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Sehat itu memang baik, akan tetapi lebih baik lagi bila bugar (fitness). Jadi, bugar fisik (physical fitness), bugar mental (mental fitness), bugar spiritual (moral fitness), maupun bugar sosial (social fitness). Sayangnya apresiasi masyarakat tentang kebugaran, baru sebatas kebugaran fisik (physical fitness), antara lain dengan melakukan olah raga secara teratur dan terukur.
Disadari atau tidak, diakui atau tidak, apresiasi masyarakat tentang kebugaran spiritual (moral fitness) yang paling rendah. Padahal Allah sudah memberi anugerah “protokol kesehatan spiritual” agar tercapai kebugaran spiritual (moral fitness), berupa shalat lima kali sehari, sebagai tindak lanjut “protokol kesehatan spiritul” yang pertama sesudah membaca (iqra) kalimat Syahadat.
Kata iqra dalam Kitab Suci disampaikan Tuhan empat kali. Adapun maknanya: 1) Read, bacalah tidak hanya sekedar vokalisasi huruf, maka; 2) Think, pikirkanlah makna (meaning) dan nilai (values) yang tercantum dalam Kitab Suci agar manusia menjadi ulul albab (orang yang punya pemikiran yang mendalam); 3) Understand, pahamilah.
Dalam Surat Al-A’raf [7] : 179, Tuhan memberi petunjuk “Gunakan kalbumu (otak depan) untuk memahami ayat-ayat Allah, gunakanlah matamu (otak belakang) untuk melihat kebesaran Allah, dan gunakanlah telingamu (otak samping) untuk mendengar ayat-ayat Allah. Jika lalai, akibatnya perilaku manusia seperti perilaku binatang ternak, bahkan bisa lebih sesat lagi, sehingga mudah digiring masuk ke neraka !”; dan 4) Maintain, jagalah, peliharalah, pertahankanlah makna dan nilai dalam Kitab Suci dan bentuk perilaku yang bernilai.
Jadi, shalat adalah langkah awal untuk menjaga, memelihara dan mempertahankan nilai. Shalat adalah wujud nyata yang paling awal satunya kata (tauhid) dengan perbuatan. Maka, shalat dilakukan secara kontinyu dan berkesinambungan, mengingat setan menggoda setiap saat dari depan, belakang, kanan dan kiri dengan memperpanjang angan-angan dan memperindah perbuatan keji.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Ankabut [29] : 45).
Ayat ini secara substansial senada dengan ayat lain , “ Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu ) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. (QS Al-Ma’un [107] : 4-7).
Dengan mendirikan shalat, dari saleh ritual menuju saleh esensial, antara lain tidak melakukan perbutan keji dan mungkar, tidak menelantarkan anak yatim, memberi makan orang miskin, tidak berbuat riya dan memberi pertolongan kepada orang yang membutuhkan pertolongan dengan barang yang berguna.
Dalam Kitab Suci kata Al-‘Aql dan Al-Nur (akal dan cahaya) masing-masing 49 kali (Shihab, et al, 2000). Maka, agar akal mendapat Nur Ilahi diperintahkan Tuhan melakukan sujud (simbol shalat) dalam sehari diwajibkan 17 kali 2 demi kepentingan manusia itu sendiri. Apabila orang itu mendapat Nur Ilahi, maka mukanya akan bercahaya, wajahnya memancarkan kedamaian dan ketentraman, meskipun jidatnya tidak hitam. Dengan kata lain punya “hati nurani”.
Orang lain yang berdekatan dengannya akan merasa nyaman karena selain wajahnya memancarkan kedamaian juga karena tidak melakukan perbuatan keji dan munkar. Sebaliknya, meskipun jidatnya hitam tetapi orang lain tidak merasa nyaman dengannya, maka “hatinya” tidak lagi disebut nurani tetapi zhulmani (gelap).
Otak adalah organ paling penting manusia. Otak dibentuk oleh 172 milyar neuron (sel saraf) dan nonneuron. Dengan berat 1,5 kg, otak mampu mengontrol fungsi organ lainnya secara keseluruhan. Karena itu, otak dapat mengatur segala aktivitas hidup manusia (Machfoed, 2016). Meskipun berat otak kira-kira 2 % dari berat badan, tapi sekitar 18 % dari volume darah seluruhnya beredar dalam sirkulasi darah otak. Otak juga menggunakan sekitar 20 % dari oksigen yang dihirup melalui paru.
Otak sangat memerlukan oksigen dan glukosa, dimana kebutuhan ini dipenuhi bila darah ke otak normal (Bahrudin, 2016). Dengan bersujud (shalat) sebanyak 17 kali 2 maka kesehatan otak manusia terpelihara. Dalam posisi sujud membuat jantung diposisi di atas otak. Dengan demikian, darah yang kaya oksigen dan glukosa mengalir secara maksimal ke bawah ke otak, lantaran ditarik gravitasi bumi.
Semakin moral fitness, semakin mampu melakukan “protokol kesehatan spiritual” berikutnya, puasa, zakat dan haji. Dari wukuf menjadi wakaf, berkali-kali wukuf berkali-kali wakaf, hidup semakin penuh makna (meaningful) daripada haji “tomat” , yaitu mangkat tobat bali kumat (berangkat tobat kembali kambuh).
Jika ingin menggapai ridha Tuhan, harus dapat menge-nol-kan rasa duwe (sense of belonging), karena sadar sepenuhnya bahwa semuanya, termasuk dirinya sendiri, adalah milik Tuhan Sang Maha Pemilik. Jika rasa duwe sudah hilang atau paling tidak minimal, akan muncul perilaku demuwe (having sense of belonging). Sebagai implikasinya, ketika melihat kucing kelaparan diberinya makanan atau melihat tanaman layu lalu disiramnya.
Maka, manusia yang takwa adalah manusia yang mampu mengendalikan otak emosinya, rasa miskin, sifat rakus atau tamak. Substansinya, hanya kepada Tuhanlah manusia memohon (pray to God), sedangkan kepada sesama manusia memberi (to give), bukan meminta (to ask for) maupun mengambil (to take), apalagi to corrupt !
Kata spiritual berasal dari Bahasa Yunani spiritus yang artinya menyalakan, membuat terang. Dalam kehidupan, spiritualitas mewujudkan dari dalam upaya mencari makna hidup (the meaning of life) dengan mengejawantahkan makna (meaning) dan nilai (values) yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci. Dengan demikan, perilakunya akan bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia.
Jelas Nabi Muhammad (shalawat dan salam atasnya) tidak hanya sehat spiritual, tapi sangat jelas bugar spiritual (moral fitness). “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzaab [33] : 21).
Menurut Umar (2020), dalam perspektif ahli tarekat badan manusia juga bisa disebut pakaian, tempat tinggal, sekaligus tempat sujud (masjid) dimensi-dimensi batin manusia, seperti kalbu, jiwa, ‘aql, dan ruh manusia. Bahkan, dalam perspektif ilmu hakikat, badan biasa disebut Bait Allah atau Divine House (Rumah Tuhan) karena di dalam badan manusia terdapat ruh, yang dianggap unsur suci dari Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam ayat, “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku”. (QS Al-Hujurat [15] : 29).
Badan sebagai pakaian, tempat tinggal, dan masjid apalagi dianalogikan sebagai Baitullah atau Ka’bah, sudah barang tentu harus bersih dari noda dan dosa. Pembersihan badan bukan hanya membersihkannya dari kotoran fisik dengan cara berwudhu, tayamum, atau mandi dengan menggunakan air, sabun, atau sampo, melainkan juga harus dipelihara kebersihannya dari noda, seperti juga terhadap dosa dan kemaksiatan.
Nabi adalah contoh nyata manusia yang sesungguhnya manusia, manusia yang perilakunya manusiawi (moral fitness), tidak hewani. Manusia yang sukses menggunakan otak spiritualnya, prefrontal cortex, otak yang ada di balik tulang dahi manusia yang dianugerahkan Tuhan hanya kepada manusia, hewan tidak. Adapun fungsi prefrontal cortex adalah pengendali nilai (values), perencanaan masa depan (future planning) dan pengambilan keputusan (decision making) (Pasiak, 2012).
Oleh karena itu, pada zaman Nabi masih hidup, jika ada orang bertanya apa itu Islam? Dengan sangat mudah dijawab dengan menunjuk pada sosok Nabi, itu lho Islam ! Nabi adalah Al-Qur’an yang hidup, the living Qur’an.
Lebih lanjut dapat dibaca pada buku Cara Nabi Muhammad Saw. Memperlakukan Orang di Berbagai Level Sosial, terjemahan buku Interactions of Greatest Leader, The Prophet’s Dealing with Different People, karya Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid, sebuah buku biografi Nabi Muhammad yang disajikan dengan cara yang unik. Dalam bahasa zaman now Nabi adalah contoh manusia yang plain living (hidup sederhana), high thingking (pikiran tinggi) dan noble behaviour (perilaku mulia), sebagaimana pujian Allah atas akhlak luhur beliau : “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar di atas budi pekerti yang agung” (Al-Qalam [68] : 4).
Menurut Shihab (dalam Chasan, 2017), sementara ulama membagi ajaran agama kepada dua sisi, yakni pengetahuan (ilmu) dan pengamalan, keimanan merupakan sisi ilmu, sedangkan syari’at merupakan sisi pengamalan. Atas dasar itu para ulama di atas memahami alladzina amanu (orang-orang yang beriman) dalam arti orang-orang yang memiliki ilmu menyangkut kebenaran. Puncak kebenaran adalah ilmu tentang ajaran-ajaran agama yang bersumber dari Allah Swt.
Dengan demikian sifat pertama yang dapat menyelamatkan seseorang dari kerugian adalah pengetahuan tentang kebenaran itu. Dapat digambarkan bahwa totalitas manusia berada dalam kerugian, apabila ia telah memiliki pengetahuan atau ilmu tentang kebenaran yang dimaksud di atas, seperempat dirinya telah bebas dari kerugian.
Amal saleh diartikan sebagai bermanfaat dan sesuai. Amal saleh adalah pekerjaan yang apabila dilakukan terhenti atau menjadi tiada – akibat pekerjaan tersebut – suatu mudharat (kerusakan) dengan dikerjakannya memperoleh manfaat dan sesuai. Amal saleh adalah segala perbuatan yang bermanfaat bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia umumnya. Amal saleh banyak sekali digandengkan dengan iman, karena iman inilah sebagai ilmu (pemandu) yang menentukan arah dan niat seseorang ketika melakukan suatu amal.
Apabila seseorang telah mampu melakukan amal saleh disertai iman, ia telah memenuhi dua dari empat hal yang harus dipenuhinya dalam rangka membebaskan diri dari kerugian total. Namun dengan keduanya seseorang baru membebaskan dirinya dari setengah kerugian. Ia masih bertugas menyangkut dua hal lainnya agar ia benar-benar , selamat, beruntung, serta terjauh dari segala kerugian.
Dua hal yang lainnya adalah saling berwasiat menyangkut kebenaran dan kesabaran. Seseorang belum lagi terbebas dari kerugian bila sekedar beriman, beramal saleh, dan mengetahui kebenaran untuk dirinya, tetapi ia berkewajiban pula untuk mengajarkan pada orang lain, Selanjutnya sekaligus dapat membebaskan dari kerugian total adalah saling mewasiati menyangkut kesabaran. Kerugian itu mungkin tidak dirasakan di masa mudanya, tetapi akan dirasakan pada waktu ashar kehidupannya menjelang matahari hayatnya terbenam.
Belajar Berpikir dari Sejarah Nabi Muhammad
Cicero atau nama lengkapnya Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) seorang filsuf, penulis, ahli pidato Latin dan ahli gaya prosa serta negarawan zaman Romawi yang selalu mengungkapkan historia vitae magistra. Bahwasanya sejarah adalah guru kehidupan. Ungkapan ini mencoba menegaskan bahwa sejarah akan selalu lekat dengan kehidupan manusia.
Sebab, di balik segala realitas yang kita hadapi, tidak serta merta tercipta begitu saja, melainkan selalu ada asbabunnuzul yang mengantarkan kita pada keadaan sekarang, dan bisa saja hal ini turut mempengaruhi kehidupan kita di masa depan. Karena itu, hikmah akan selalu mengiringi perjalanan hidup manusia, untuk diambil sebagai pelajaran, sehingga mengantarkan manusia menjadi pribadi yang arif dan bijaksana (Kusuma, 2020).
Menurut Abdurrahman (2012), Nabi lahir pada tahun Gajah atau 571 Masehi. Beliau dirawat kakeknya, Abdul Muthalib, dan disusukan pada Bani Sa’ad. Yang menyusuinya bernama Halimah as-Sa’adiyah. Pada usia enam tahun, ibunya, Aminah, meninggal dunia. Adapun sang ayah Abdullah telah meninggal dunia lebih dulu, ketika beliau masih dalam kandungan.
Ketika akan menghembuskan napas terakhir, Abdul Muthalib berpesan kepada anak-anaknya agar memberikan kasih sayang kepada Muhammad yang dia tidak dapat dari kedua orang tuanya. Setelah sang kakek meninggal dunia, Muhammad diasuh oleh kakak ayahnya, Abu Thalib. Usia Muhammad sekitar delapan tahun ketika kakeknya meninggal dunia.
Ketika Muhammad remaja, dia menggembalakan kambing-kambing Abu Thalib. Banyak penggembala yang menggembala kambing, namun Muhammad tidak banyak berbaur dengan mereka dan tidak melakukan apa yang mereka lakukan sebagaimana kesenangan masa kanak-kanak. Pada usia belia itu, Muhammad dikenal sebagai Al-Amin karena seluruh orang melihat kesucian dan amanah pada dirinya yang tidak ada pada anak sebayanya.
Suatu saat, Muhammad keluar bersama Abu Thalib membawa dagangan ke Suriah. Saat itulah terjadi kisah antara Muhammad dan Pendeta Buhaira yang membuat Abu Thalib semakin menaruh perhatian kepada Muhammad. Ketika berusia empat belas tahun, Muhammad muda ikut dalam Perang Al-Fijar yang terjadi antara Bani Kinanah dan Quraisy di satu pihak dan Kabilah Hawazin di pihak lain.
Saat berusia 25 tahun, Muhammad pergi membawa dagangan milik Khadijah binti Khuwailid. Beliau pun terkenal sebagai pedagang yang jujur dan amanah. Karena perilakunya yang menjadi teladan para pedagang itulah Khadijah menawari Muhammad menikah dengannya. Saat itu, usianya baru sekitar 25 tahun, sementara Khadijah kurang lebih 40 tahun.
Muhammad memiliki kebiasaan yang tidak dilakukan para penduduk di Mekah. Ia suka menyendiri di gua untuk beribadah menurut ajaran agama Ibrahim. Saat berusia 40 tahun, ketika sedang menyendiri, ia meneriam wahyu. Permulaan wahyu yang berbunyi iqra’ itu menunjukkan banyak hal, antara lain, sejak dari awal Islam telah menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.
Wahyu itu merupakan permulaan risalah Islam yang mengakhiri masa jahiliah dan memulai babak baru bagi bangsa Arab. “Jahiliah” bukan berarti bangsa Arab adalah bodoh. Saat itu, di Jazirah Arab sudah ada peradaban. Bahkan, di sana sudah terdapat kerajaan yang memiliki kebudayaan dan keagungan yang tinggi. Jadi, jahiliah di sini adalah kebodohan dari sisi agama. Ajaran sebelumnya yang berisi kesesatan dihancurkan. Bangsa Arab pun diajak menuju satu agama dan satu Tuhan.
Dakwah Islam melewati beberapa babak. Babak pertama adalah babak pemantapan untuk tauhid atau menyembah satu Tuhan, beriman kepada hari kiamat, kebangkitan setelah kematian, hisab, beriman kepada kitab-kitab dan rasul-rasul tanpa membedakan di antara rasul Allah yang telah lalu, yang oleh Al-Qur’an diredaksikan dengan kalimat berikut : “Sungguh agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. (QS Ali Imran [3] : 29).
Di antara konsekuensi babak pertama dari dakwah Islam ini adalah Muslim harus bersabar atas gangguan dari orang-orang kafir. Ketika gangguan orang-orang kafir sudah mencapai titik klimaks, Allah Swt. memperkenankan kaum Muslimin hijrah ke Madinah, yang saat itu bernama Yatsrib. Di Madinah inilah dakwah Islam memasuki babak baru. Inti dari babak baru itu adalah mendirikan masjid, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Ansar, membuat perjanjian saling membantu, dan adanya persekutuan antara muslim dan nonmuslim.
Di Madinalah Islam membuat fondasi pemerintahan untuk pertama kali. Hal ini yang akhirnya membuat kaum Muslimin berhadapan dengan musuh mereka, yaitu suku Quraisy dan lainnya. Namun, atas pertolongan Allah Swt. Kabilah Quraisy akhirnya masuk Islam dan mengangkat bendera bersama kaum Muslim.
Ada dua unsur penting dalam membicarakan Islam sejak Hijrah sampai Nabi Muhammad Saw. wafat. Pertama, menciptakan masyarakat Islami, menyebarkan dakwah Islam, dan mendidik para pejuang. Kedua, menjaga masyarakat tersebut dan melindunginya.
Dalam unsur pertama, Nabi mencurahkan kemampuannya untuk membangun individu setelah memeluk Islam. Beliau melakukannya dengan dua langkah paralel: menyucikan pribadi muslim dari seluruh keburukan dan dosa yang dulu merajalela dan disukai nafsu manusia serta berusaha agar pribadi muslim memiliki sifat yang paling mulia dan watak paling bersih, yaitu dengan menerangkan amal saleh dan mendorong mereka memiliki dan mengikutinya.
Pengaruh Nabi demikian besar kepada kaum Muslim. Mereka memandang beliau memiliki kemampuan yang sempurna dan bisa menjadi teladan tertinggi. Nabi memotivasi untuk mengerjakan suatu perbuatan dengan berlomba-lomba melakukannya. Jika perbuatan itu tercela, beliau adalah orang yang paling menjauhinya. Demikianlah, generasi sahabat tampil sebagai generasi yang lengkap. Seluruh kebaikan ada diri mereka, sementara seluruh keburukan menjauh dari mereka.
Bahkan, salah satu tabi’in menyebut sahabat sebagai “mushaf yang berjalan di muka Bumi”.
Andaikata “mesin waktu” dapat diputar dari zaman now ke jadul (jaman dulu) semasa para Sahabat Nabi masih hidup, bisa jadi mereka akan terhenyak dan terheran-heran melihat dan menyaksikan, perilaku sebagian umat Islam hari ini yang bisa jadi merasa dan mengaku follower Nabi Muhammad, namun perilakunya tidak Islami, seperti korupsi, jadi bandar dan pengedar serta pengguna Narkoba. Akibat politik (kekuasaan) dan pemilu (pegel mikirin lu) umat Islam tidak bersatu, menjadi segmented (terkotak-kotak) dan fragmented (terpecah-pecah). Politik (ilmu) itu baik yang tidak baik itu perilaku politikus. Maka, politikus harus naik pangkat jadi negarawan, agar dapat “martabak” dan martabat baik di dunia maupun kelak di akhirat! Bersambung