Oleh : Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Islam Agama Modern
Bahwa Islam itu merupakan agama kemanusiaan (fitrah) atau dengan kata lain, cita-cita Islam itu sejalan dengan cita-cita kemanusian pada umumnya. Dan kerasulan atau misi Nabi Muhammad Saw. adalah untuk mewujudkan rahmat bagi seluruh alam.”Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”. (QS Al-Anbiya [21] : 107).
Jadi, bukan semata-mata untuk menguntungkan komunitas Islam saja. Bahwa Islam itu merupakan agama terbuka (open religion). Dalam perspektif ini, umat Islam harus menjadi golongan yang terbuka, yang bisa tampil dengan rasa percaya diri yang tinggi, dan bersikap sebagai pamong yang bisa ngemong golongan-golongan lainnya.
Menurut Madjid (dalam Buchori, 2006), pada prinsipnya, agama Yahudi, Kristen, dan Islam menyeru pada ajaran yang sama, yaitu sikap tunduk patuh dan taat pasrah kepada Tuhan (Al-Islam). Manifestasi lahiriah Al-Islam dapat beraneka ragam sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Dalam hal ini, Al-Islam menjadi titik temu semua agama-agama yang benar, karena inti semua agama adalah sikap tunduk patuh kepada Tuhan. Dengan kata lain, semua agama-agama merupakan kelanjutan dari tradisi agama Nabi Ibrahim yang berpangkal pada Al-Islam. “Sesungguhnya orang-orang Mu’min, orang-orang Yahudi, orang-orang Kristen, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari Kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati”. (QS Al-Baqarah [2] : 62).
Bila peradaban modern begitu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, maka Islam memenuhi semua persyaratan sebagai agama modern (karena pandangannya yang begitu kosmopolit), terutama pengadvokasian Islam yang begitu konsisten terhadap kebebasan, toleransi, paham persamaan, keterbukaan, dan kesetaraan peluang bagi semua pemeluk agama-agama untuk bersama-sama membangun bumi.
Adapun semangat kosmopolitanisme Islam yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid adalah :
1)Semangat keterbukaan
Semangat keterbukaan masyarakat Islam setidaknya tampil dalam tiga varian berikut : Pertama, ditunjukkan dalam semangat pencarian ilmu pengetahuan atau kebebasan ilmiah. Misalnya, bagaimana para ilmuwan dan para filosof Muslim menguji preposisi keagamaan di bawah sorotan akal budi, untuk kemudian mengambil mana saja dari hasil pengujian tersebut yang dapat diterima oleh akal.
Kedua, pada masa keemasan Islam, peradaban Semitik lainnya, terutama peradaban Yahudi, justru mencapai puncaknya ketika berada satu gerbong bersama peradaban Islam. Hal ini hanya dapat dimungkinkan bila masyarakat Islam pada waktu itu memiliki sikap keterbukaan sehingga ada kebebasan ilmiah, kebebasan berekspresi, dan kebebasan beragama bagi kalangan Yahudi.
Ketiga, sikap kaum Muslim yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan ditandai oleh kesediaan mereka untuk belajar dari siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Berkat sikap keterbukaan kaum Muslim inilah, ilmu pengetahuan filsafat dapat keluar dari kungkungan lokalitasnya.
Umat Islam (baca: ilmuwan dan para filosof Muslim) menampilkan ilmu pengetahuan clan filsafat pada level dunia, yaitu mengangkatnya menjadi kekayaan dan khasanah milik semua bangsa-bangsa. Fakta ini tidak begitu mengejutkan, karena sikap keterbukaan umat Islam memang diajarkan dan mendapat pijakan yang kukuh secara doktrinal, baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah.
Misalnya, dalam Al-Qur’an, begitu banyak ayat yang menganjurkan pada manusia untuk membaca, merenung, berefleksi, dan berpikir, yang keseluruhannya begitu terkait dengan semangat keterbukaan dan rasionalitas yang mendukung peradaban ilmu pengetahuan. Nabi sendiri menganjurkan agar umat Islam mengambil ilmu pengetahuan, kapan pun, di mana pun, dan dari siapa pun. Dari buaian hingga liang lahat atau sampai ke negeri Cina.
Ilmu pengetahuan merupakan barang berharga milik umat Muslim yang hilang. “Maka sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yaitu mereka yang suka mendengarkan perkataaan (al-qawl), kemudian mengikuti mana yang terbaik. Mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk Tuhan, dan mereka itulah orang-orang yang berakal budi”. (QS Az-Zumar [39] : 17 – 18).
2) Semangat egalitarianisme
Melanjutkan semangat keterbukaan, masyarakat Muslim juga mengembangkan juga mengembangkan suatu paham persamaan (egalitarianisme) sebagai kelanjutan dari konsep ajaran Islam tentang fitrah atau kesucian yang menjadi esensi semua manusia. Konsep Islam tentang fitrah atau kesucian primordial ini menjadi landasan atau prinsip etis moral kaum Muslimin dalam memandang semua manusia, terlepas dari segala atribut artifisialnya, sebagai sama dan sejajar.
Setiap manusia memiliki kesempatan untuk maju dan berkembang, setiap manusia memiliki potensi untuk benar dan salah, dan setiap manusia memiliki hak untuk dihargai dan tidak disakiti. Egalitarianisme berkaitan dengan kesadaran hukum, yaitu kesadaran bahwa tidak ada seorang pun dibenarkan berada di atas hukum.
Konstitusi Madinah di zaman Nabi, adalah bentuk komunitas masyarakat (negara) yang berkonstitusi. Meskipun pada saat itu umat Islam begitu berpengaruh dan berkuasa tetapi tidak dibenarkan satu orang pun umat Islam atau Nabi sendiri untuk berdiri di atas hukum. Semangat egalitarianisme juga berkaitan dengan cita-cita menegakkan keadilan.
Bahwa keadilan hanya dapat terwujud berdasarkan paham persamaan kemanusiaan. Dengan paham persamaan ini menutup kemungkinan terjadinya penindasan oleh manusia atas manusia. Mencegah terjadinya homo homini lupus, manusia serigala bagi manusia yang lain.
3) Semangat toleransi
Membicarakan paradigma toleransi Islam terhadap ‘kaum lain’ (the other/al-akhar), sama halnya dengan memperbincangkan fakta bahwa mobil bisa melaju dengan ban yang bulat. Umat Islam hendaknya mengedepankan kebenaran fakta bahwa Islam adalah kelanjutan dari tradisi keagamaan sebelumnya, dan agama-agama yang lain adalah benar datangnya dari Allah, mengajarkan kesatuan ajaran tentang sikap kepasrahan diri kepada-Nya (Al-Islam).”Agama yang paling dicintai oleh Allah ialah berpegang teguh pada toleransi”. (HR Bukhari dan Imam Ahmad).
Lahirnya toleransi dalam sejarah Islam nyaris bersamaan dengan lahirnya Agama Islam itu sendiri. Ketika tidak ada satu pun agama yang mau mengakui Islam sebagai jalan keselamatan, seperti halnya Agama Yahudi dan Nasrani, malah agama baru ini mendapat perlakuan yang keji (dinegasikan sebagi penyimpangan), tetapi Islam tetap secara konsisten menempatkan Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan nabi-nabi hanif lainnya, dalam kitab suci Al-Qur’an, sebagai kesinambungan tradisi monoteisme.
Anjuran berperilaku sopan dan toleran, mengedepankan moral dan etika dalam pergaulan dengan mereka yang berbeda adalah yang diperintahkan oleh Islam. “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu laki-laki dan perempuan; dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu bisa saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertakwa. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS Al-Hujurat [49] : 14).
Islam dan Masa Depan Umat
Menurut Harits (2012), Islam diturunkan Allah untuk menggapai masa depan umatnya yang baik. Andaikata tidak, umat Islam akan tenggelam dengan pasang surutnya masa yang kadang tidak bersahabat ini. Pengetahuan tentang manusia yang hanif, menyingkapkan tabir rahasia bahwa Islam merupakan agama yang mudah diterima oleh manusia. Dan akan tetap mudah diterima sepanjang masa buat segala tingkatan intelektual.
Nabi pernah bersabda : “Akan menimpa kepada umatku suatu masa yang mereka mencintai lima perkara sekaligus ia melupakan lima kejadian penting yang akan dilaluinya secara abadi, 1) Cinta dunia dan lupa urusan akhirat ; 2) Cinta harta lupa hitungan amalnya; 3) Cinta sesama mahluk dan lupa Tuhannya; 4) Senang akan bangunan rumah tapi lupa akan urusan kuburnya; dan 5) Senang berbuat dosa dan lupa untuk bertaubat”.
Realitas sosial umat Islam sekarang :
1) Masalah pemahaman agama. Perbedaan pendapat masih sering terjadi antardiri umat Islam sendiri. Mengaku benarnya sendiri, menyalahkan persoalan yang mereka sendiri belum mengerti ihwalnya. Menuduh dan menyesatkan kelompok lain yang sama-sama meninggikan kalimat Allah di bumi. Hal ini masih memiliki porsi yang cukup menonjol di kalangan umat Islam. Padahal persoalan ini sudah “tidak njamani”.
2) Pengaruh budaya informasi. Terutama di kota-kota besar, tidak mengherankan bahwa di daerah tersebut telah dilanda budaya hidup global, individualistis-egoistis, konsumeristis, hedonistis dan sebagainya. Akibatnya terjadi masalah kesenjangan sosial, timpangnya keadilan hukum, rendahnya derajat kesehatan rakyat, budaya korupsi, belum meratanya pendidikan, dan kemiskinan penduduk.
3) Di bidang politik. Sering dijumpai golongan yang merasa aspirasi politiknya belum tertampung dalam kebijakan pemerintah, untuk sebagian cenderung melangkah lebih ekstrim. Sebagaian lainnya cenderung menjadi apatis terhadap segala macam permasalahan nasional dan cenderung memanfaatkan permasalahan tersebut bagi kepentingan sendiri atau golongannya. Golongan yang tidak puas yang merasa dirinya
terbuang dan tidak mendapat tempat lagi dalam pemerintahan atau jabatan penting lainnya. Sebagian dari golongan ini menyalurkan rasa ketidak-puasannya melalui jalur inkonstitusional. Keduanya biasanya merangkul para mahasiswa, pemuda dan golongan ekonomi lemah.
4) Demokrasi ekonomi belum dijabarkan secara operasional. Akibatnya sistem ekonomi yang bertumpu kepada rakyat belum dapat dirumuskan dengan sempurna. Kebijakan deregulasi yang melahirkan pemusatan kekuatan ekonomi, keuangan dan konglomerasi semakin menampakkan dirinya. Hal ini banyak dihubungkan dengan sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan mengakibatkan terpusatnya faktor produksi termasuk yang vital oleh kelompok konglomerat. Sehingga masih terlihat jurang pemisah yang jauh antara si miskin dengan si kaya.
5) Semakin meningkatnya angka kejahatan (crime rate). Bentuk kejahatannya pun terlihat semakin meningkat dalam bentuk yang lebih berat, kejam, tidak berperikemanusiaan, apalagi beradab.
Bagaimana menyiasati realitas di atas? Jawabnya adalah menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan:
1) Sikap tawasuth wal-i’tidal. Menempatkan diri di tengah-tengah antara dua ujung tatharruf (ekstrimisme) dalam berbagai masalah dan keadaan, untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan. I’tidal berarti tegak lurus, berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan harus dibela. Dengan demikian, umat Islam diharapkan menjadi kelompok yang pantas diikuti oleh masyarakat sekitar dan selalu bersikap membangun.
2) Sikap tasamuh. Bersikap lapang dada, mengerti dan menghargai sikap, pendirian dan kepentingan pihak lain, tanpa mengorbankan pendirian dan harga diri. Sikap toleran, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan (khilafiyah) maupun masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
3) Sikap tawazun. Menjaga keseimbangan dengan memperhatikan dan memperhitungkan berbagai faktor, berusaha memperpadukannya secara proporsional. Berusaha menerapkan tawazun ini dalam segala bidang kehidupan. Tawazun antara membangun interaksi dengan Tuhan (hablun minaallah), dengan diri sendiri (hablun minafsihi), sesama manusia (hablun minannas) dan lingkungan alam (hablun minalalam). Tawazun antara perhatian terhadap pentingnya masa lalu (sejarah dan karya para pendahulu, masa kini (masalah dan kebutuhan yang mendesak) dan masa mendatang (persiapan menghadapi perkembangan zaman). Unsur keseimbangan merupakan kunci keberhasilan dan kemantapan.
4) Sikap amar ma’ruf nahi mungkar. Amar ma’ruf adalah mengajak dan mendorong perbuatan baik, yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi (worldly) dan ukhrawi (escatologis). Sedangkan nahi mungkar adalah menolak dan mencegah segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan menjerumuskan nilai-nilai kehidupan. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah dua sendi yang mutlak diperlukan untuk menopang tata kehidupan yang diridlai Allah Swt.
Diriwayatkan dalam sebuah hadis yang terkenal (HR Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm), bahwa Nabi Muhammad Saw, menjelang wafatnya pada tahun 11 Hijriah atau 632 Masehi, telah mewanti-wanti kepada kaum Muslimim jika mereka tidak hendak tersesat untuk berpegang hanya kepada Al-Kitab dan Al-Sunnah saja. Yang dimaksud dengan Al-Kitab ialah Kitab Suci Al-Qur’an, sedangkan Al-Sunnah (tradisi) ialah keseluruhan perilaku Nabi semasa hidupnya sebagai utusan Tuhan yang dipandang sebagai contoh pelaksanaan Al-Kitab tersebut (Madjid, 1984).
Nabi sendiri meramalkan bahwa komunitasnya tidak akan menemukan jawaban atas tiap tantangan baru tersurat di halaman-halaman Al-Qur’an maupun dalam ucapan dan perilakunya. Sebagian dari misi Nabi adalah menyediakan bagi komunitasnya alat-alat yang akan mereka butuhkan dalam menghadapi tiap tantangan baru dalam berbagai situasi, mulai dari Cina sampai Afrika, Malaysia sampai Amerika.
Episode yang sering diingat terkait dengan pernyataan ini adalah interaksi Nabi dengan sahabatnya Mu’adh bin Jabal, yang akan dikirim ke propinsi lain sebagai gubernur barunya. Dalam percakapan terakhir mereka, Nabi bertanya pada Mu’adh bagaimana ia akan menghadapi tantangan-tantangan baru yang pasti akan ia temui.
Mu’adh menjawab bahwa pertama ia akan mengacu pada Al-Qur’an untuk memperoleh bimbingan. Nabi bertanya pada sahabat karibnya apa yang akan ia lakukan jika tidak menemukan jawaban di sana. Mu’adh merenung lebih jauh, lalu menyatakan ia akan merujuk pada teladan Nabi – ia akan bertanya-tanya apa yang akan dilakukan Nabi.
Nabi mendesak sedikit lebih jauh lagi, bertanya untuk terakhir kali apa yang akan dilakukan Mu’adh jika, setelah mengajukan pertanyaan tersebut, ia tidak memperoleh jawaban spesifik. Berpikir untuk terakhir kali, Mu’adh mengatakan bahwa ia akan mengerahkan penalarannya sendiri untuk menghasilkan solusi baru bagi dilema baru tersebut. Nabi akhirnya puas, mengirim sahabatnya untuk memimpin komunitasnya (Safi, 2010).
Last but not least,
Doa Nabi yang diucapkan setiap Nabi hendak memulai kerja beliau:
“Allahumma shlihli diinii alladzi asmatu amri, washlihli dun-yaya allati fiiha ma’asyi, wa shihli akhirati allati fiiha ma’adhi, waj’alil hayata ziyatatalii fi kulli khairi, waj’alil mauta rohatal lii min kulli syarrin” (“Ya Allah, baikkanlah agamaku yang menjadi penjaga dari segala urusan saya, baguskanlah dunia saya yang menjadi arena perjuangan hidupku, baguskanlah akhirat saya yang akan menjadi tempatku kembali, dan jadikanlah hidup saya ini kesempatan untuk berbuat baik, dan jadikanlah matiku sebagai waktu beristirahat dari perbuatan jahat”).
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD