Ar-Rahim

Ar-Rahim

Sebagaimana “ar-rahman”, sifat “ar-rahim” juga paling banyak diucapkan oleh umat Islam, setiap kali umat Islam mendirikan shalat. Sekurangnya, setiap Muslim mengucapkanya dalam lima waktu shalat sebanyak rakaat yang didirikannya. Jika mengerjakan shalat fardhu saja, tiap Muslim mengucapkanya hingga 17 kali. Belum pada shalat sunnah dan diucapkanya dalam memanjatkan doa. Tentu lebih dari itu.

Ahli tafsir (mufassir) Indonesia, HM Quraish Shihab, mengaitkan kata “ar-rahim” dengan suasana kasih sayang seorang ibu terhadap anak-anaknya yang tak pernah terbatas, demikian juga rahmat Allah SwT yang terlimpah kepada seluruh hamba-hamba-Nya juga tak kenal batas (M Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 1, 2000: 21).

Menurutnya, kata “ar-rahim” dapat diterjemahkan dengan senantiasa siap memberi walau tidak ada permohonan (doa) dari makhluk-Nya. Mengapa demikian? Sebab, menurut Quraish Shihab, kasih sayang Allah SwT itu bagaikan, untuk perumpamaan saja, kasih sayang seorang ibu terhadap anak-anaknya. Kasih sayang ibu tidak pernah kenal kata “tidak”, melainkan selalu memakai kata “iya”. Bahwa walaupun ada seorang ibu sedang dalam keadaan susah sesusah-susahnya, namun ketika menghadapi anak-anaknya, yang justru ditunjukkan adalah sikap gembira dan tetap mengayomi mereka. Oleh karena itum wajar kalau ada peribahasa mengatakan kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalah. Artinya, kasih ibu terhadap anak-anaknya tidak pernah ada batas akhirnya, sedang kasih anak terhadap ibunya seringkali terbatas.

Kata “ar-rahim” yang terjemahannya seperti di atas, dalam bahasa ilmu psikologi dapat disamakan dengan istilah “rasa empati”. Rasa empati artinya kepekaan yang tinggi terhadap diri orang lain hingga ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain tersebut. Misalnya, kalau ada seseorang melihat orang lain sedang menderita, maka sekalipun orang lain tersebut belum atau tidak pernah bercerita tentang keperihan hidupnya, namun orang yang melihat tersebut telah dapat menangkap bagaimana keadaan hati dan perasaan yang dialaminya.

Sungguh luar biasa kalau sifat “rasa empati” ini berhasil menjadi watak bagi rata-rata umat Islam di mana dan kapan saja. Bila watak ini benar-benar bisa dihayati dan fungsional, maka apa yang disebut bahwa Muhammad saw (dalam segala ajaran yang disampaikannya) adalah rahmat bagi seluruh alam semesta (Qs Al-Anbiya’: 107), ‘dan tidaklah Kami mengutus engkau Muhammad, kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta.’

Memaknai sifat “ar-rahim” berarti kita menyadari sepenuhnya bahwa karunia Allah SWT senantiasa membanjiri, walaupun kita tidak merasa memintanya. Kita dituntut untuk bersyukur dan bersyukur. Sebaliknya, terhadap sesama manusia dan sesama makhluk, kita kembang-suburkan sifat “rasa empati” yang tinggi agar kehidupan ini menjadi tampak guyub-rukun dan sejahtera.

Mohammad Damami Zain, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2017

Exit mobile version