Oleh Prof Haedar Nashir, MSi
Kecil itu indah. Small Is Beautiful, karya E F Schumacher tahun 1973. Buku ini populer era 1980-an di kalangan pegiat teori dependensia dan LSM generasi awal di Indonesia. Berisi pentingnya gerakan ekonomi mikro di tengah hegemoni kapitalisme yang menggilas segala hal yang kecil.
Namun, kecil bisa tidak indah. Bila sistem mengawetkan kedhu’afaan mayoritas wong cilik di tengah makin makmurnya para pelaku ekonomi raksasa. Dunia memerlukan keseimbangan dan kebersamaan. Kecil dan besar saling menyangga meraih kemajuan milik bersama.
Ada kecil lainnya yang tidak indah. Kecil yang kerdil. Di dunia pemikiran dan radius pergaulan, kecil yang picik itu bermasalah. Dunia kesehatan menyebutnya miopik. Suatu gangguan penglihatan yang menyebabkan objek terlihat kabur. Pandangan kehidupan menjadi rabun!
Dunia miopik
Dunia kecil yang picik sebangun dunia mata rabun. Berkacamata kuda. Objek persoalan terlihat buram, linier, hitam-putih, bias, dan terbatas. Secara sosiologis, orang yang hidup di dunia miopik terkerangkeng “iron-cage”. Mereka terkurung dalam sangkar-besi yang gelap, tidak terbuka pada dunia luar yang terang.
Dunia dilihat sebatas daun kelor. Lalu lahirlah pendapat, sikap, dan tindakan ekstrem yang berlebihan. Masalah kecil dibesar-besarkan. Banyak hal furu’ disebut prinsip. Gampang menghakimi dan menghujat pihak lain. Pintu dialog tertutup karena pemikirannya terkunci true-believing, merasa benar sendiri dalam fanatik-buta.
Problem psiko-sosial dunia miopik, melahirkan —meminjam Carool Kersten (2019)— “siege mentality”. Orang terkurung di dunia sempit yang diciptakannya sendiri. Merasa selalu terancam pihak lain. Segala hal korban konspirasi. Kelemahan diri luput dari introspeksi. Akibatnya, tidak bangkit membangun kekuatan diri yang mandiri.
Lahir pula sikap deprivasi-relatif, kondisi psikologis yang memicu gelora konfrontasi terhadap dunia sekitar karena merasa terpinggirkan. Di media sosial yang selalu di-posting biasanya berita dan postingan masalah tak berkesudahan. Dunia seolah negatif dan gelap semua, tiada celah terang. Kadang disakralisasi, yang melahirkan alam pikiran millenari ala ratu adil.
Kehidupan bersama menjadi mudah gaduh dan saling berhadapan di dunia yang mengecil itu. Entah untuk dan atas nama apa. Semua merasa berdiri di atas prinsip kebenaran mutlak. Pihak lain harus menerima pikiran dan otoritasnya. Ruang dialog ter-lockdown. Saling mendekat dianggap lemah dan hilang muru’ah. Titik temu dan akomodasi bukan solusi, dianggap menyalahi prinsip.
Dunia miopik yang terkurung dalam kerangkeng sempit menyebabkan kehidupan penuh pintu kesulitan. Mekar saling curiga, rasa benci, dan berseteru dengan sikap menang sendiri. Ruang toleransi, akomodasi, solusi, dan sinergi makin menyempit. Buzzer menjadi profesi baru. Pabrik hoaks terus berproduksi. Habitus sosial ibarat rumput kering mudah terbakar. Itulah dunia miopik yang melahirkan the clash of extremism!
Hidup menjadi sesak napas terkerangkeng sangkar-besi dunia kecil yang ekstrem itu. Suasana berbangsa gersang dan hilang sentuhan harmoni. Sikap beragama menjadi rigid dan kehilangan risalah cerah membuka jalan mudah. Padahal Kitab Suci mengajarkan: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS al-Baqarah: 185).
Dunia sepak bola
Bagaimana keluar dari dunia kerdil yang miopik? Kita perlu belajar pada kearifan pesepak bola Iker Casillas dan pelatih Jose Mourinho kala membela Real Madrid. Keduanya sukses menjuarai La Liga, Copa del Rey, dan Piala Super Spanyol. Penulis sempat menyaksikan foto keduanya di etalase diorama stadion megah Santiago Bernabeu di jantung kota Madrid.
Namun kisah Iker dan Jose bernasib tragis. Keduanya terlibat konflik keras di Los Galacticos. Akhirnya sang kapten Iker terusir ke FC Porto dengan rasa perih, setelah mengukir era keemasan Los Blancos. The Special One, sebutan populer Mourinho, juga terdepak dari Madrid, digantikan Carlo Ancelotti.
Apa yang terjadi di kemudian hari? Tahun 2018 penjaga gawang utama Spanyol itu terkena serangan jantung. Jose Mourinho-lah orang pertama yang menelepon Iker menanyakan kondisi keehatannya. Casillas begitu tersentuh dengan mantan pelatihnya yang membuat dia tersingkir dari klub yang merajai Piala Champions itu.
Ketika keduanya bertemu di kongres FIFA, Iker memeluk hangat Mourinho. Konflik keras yang menahun luruh oleh sentuhan kemanusiaan. Jiwa besar dari sportivitas sepak bola lahir kembali. Casillas pun memberi kesaksian, “Anda hidup lebih banyak dari hari ke hari. Anda berhenti hanya berada di dunia kecil Anda sendiri. Saya sangat beruntung, orang lain tidak mengalaminya”.
Kenapa? “Saya merasa bahwa saya pasti akan mati hari itu, dan keadaan memaksa saya untuk mempertimbangkan kembali segalanya. Saya orang yang memiliki hak istimewa. Jika saya bisa terus bermain sepak bola, saya akan melakukannya,” lanjut Iker.
Penjaga gawang tenama itu memberi pesan penting untuk meninggalkan dunia kecil dari pusaran konflik.
Kini dunia kecil yang mengerdil dijumpai di banyak kawasan. Kita tidak tahu di benak pikiran orang-orang yang gemar melecehkan Nabi, padahal mereka terdidik dan hidup di abad modern. Kabarnya dunia modern itu maju dan berperadaban tinggi. Tapi kenapa jiwa, pikiran, dan tindakannya kerdil nirkeadaban.
Apakah paham kebebasan dunia sekuler harus melestarikan perangai primitif itu. Bukankah setiap manusia berhak dihormati. Apalagi tokoh teladan seperti Nabi.
Kaum Muslim jangan masuk ke dunia kecil hadapi orang-orang berperangai kerdil. Keburukan tak harus dibalas setimpal. Selalu ada Cahaya di atas segala cahaya dunia. Mereka yang suka menista Nabi masih terkerangkeng dunia kerdil dalam bayang-bayang jahiliyah modern. Mungkin mereka hanya sekrup dari modernitas, bukan aktor peradaban. Dalam istilah Alvin Toffler, sekadar menjadi The Modular Man.
Kaum beriman niscaya menjadi teladan mengikuti uswah hasanah Nabi. Selamatkan kehidupan bersama dengan horizon dunia luas. Jejak risalah Nabi akhir zaman itu melintasi semesta, “Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS Al-Anbiya: 107).
Jangan sampai ufuk berpikir, bersikap, dan bertindak umatnya lebih sempit dari halaman rumah sendiri. Terkurung di dunia kecil!
Sumber: Republika