Beirut: The City of Coexistence
Oleh Hajriyanto Y. Thohari
Tidak berlebihan kalau dua bersaudara Lena Kelekian and Hilda Kelekian menggelar sebuah Eksibisi Seni Suci (A Sacred Art) yang diberi judul Beirut, City of Coexistence: A Sacred Art Exhibition (2018). Dalam eksibisi tersebut dua Kelekian bersaudara itu memamerkan ikon-ikon suci Kristen disandingkan dengan seni kaligrafi ayat-ayat suci Al-Quran secara sangat indah dan padu sebagai simbol atau pengejawantahan kehidupan umat beragama di Beirut yang sangat majemuk tetapi penuh harmoni dan toleransi. Setidaknya demikianlah yang tampak dan terasa dalam kehidupan sehari-hari di Beirut pasca Perang Saudara (civil war) hampir selama dua dasawarsa di tahun 1975-1989.
Tentu tidaklah mudah menyandingkan ekspresi kesenian dari dua agama yang berbeda secara sangat diametral dalam melihat patung atau gambar (ikon). Islam adalah agama yang sangat ikonoklastik di mana penggunaan patung atau gambar dilarang keras dalam ibadat, sementara Kristen adalah agama yang ikonik atau ikonodulis, yakni agama yang sarat dengan penggunaan ikon atau gambar dalam ritus-ritus liturgisnya. Tapi kedua artis Kelekian bersaudara, seniman kelas atas Lebanon yang sering berkunjung ke Indonesia itu, bisa memadukannya dengan sangat baik dan indah: yakni menampilkan seni Kaligrafi sebagai wakil dari kesenian Islam yang ikonoklastis, dan ikon-ikon atau gambar-gambar orang suci (santo) sebagai wakil dari kesenian Kristen yang ikonodulis.
Walhasil Eksibisi A Sacred Art tersebut berhasil menampilkan bukan hanya hakekat kemajemukan, melainkan juga multikulturalisme Beirut dengan apik. Kota Beirut memang berbeda dengan Lebanon dalam hal pluralitas dan multikulturalitas-nya. Dengan kata lain Beirut lebih menggambarkan pluralisme dan multikulturalisme daripada kota-kota lain di Lebanon. Lebanon alih-alih lebih segregasionalis, melainkan lebih pluralis dan multikulturalis.
Beirut: lumayan majemuk
Benar memang Lebanon memiliki komposisi penduduk yang secara agama dan sekte majemuk. Jumlah pemeluk dan penganut masing-masing agama, atau tepatnya sekte, nyaris sama dan seimbang secara numerical. Penduduk Lebanon yang hanya sekitar 6 juta jiwa (Catatan: itupun sudah termasuk pengungsi Suriah yang berjumlah 1,1 juta dan Palestina: 0,4 juta), 35% penganut Kristen (dengan segala sektenya: Kristen Maronis, Kristen Armenia, Kristen Ortodox), 28% Muslim Sunni, 27% muslim Syi’i, dan sisanya adalah Druze, Alawi, Zaidi, dan lain-lainnya.
Dengan sedikit pengecualian di Beirut, masing-masing kota di Lebanon didominasi oleh penganut agama atau sekte tertentu yang cenderung monolitik secara sektarian. Kota Tripoli, Saidah, Beeka, Arsal, Akkar dan Tyre, misalnya, adalah kota-kota dengan dominasi muslim Sunni. Adapun Juneh, Zahle, Byblos, Batroon, Ehden, Jgarta, dan Bechara, hanya dihuni oleh penduduk beragama Kristen sesuai dengan sektenya masing-masing. Sementara kota Baalbeck, Nabatiyeh, Marjayun, Naqoura, adalah kota-kota Syiah. Hanya Beirut yang benar-benar merupakan kota metropolitan yang majemuk dan pluralistik secara agama atau sekte.
Dalam konteks dan perspektif di mana kota-kota lain di Lebanon yang cenderung “segregatif” tersebut, Beirut relatif bisa disebut menjadi simbol pluralisme dan multikulturalisme. Dikatakan relatif oleh karena kota Beirut sebagai kota metropolitan sebenarnya juga belum terintegrasi sepenuhnya. Tetapi secara keseluruhan Beirut lebih terbuka dan majemuk dan karena itu bisa dikatakan cukup untuk menjadi simbol dari semangat keterbukaan dan kemajemukan di mana orang dari berbagai latar belakang sekte yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai dan sangat mengesankan. Beirut adalah the city of co-existency.
Di Beirut, terutama di bulan Ramadhan, kota Lebanon penuh semarak dengan lampu-lampu lampion menyambut Ramadhan dan Iedul Fitri. Dalam liburan Paskah yang berhari-hari dan Natal kota Beirut diselimuti dengan suasana Kristiani: suasana keagamaan yang kudus yang membahagiakan semua orang. Pada bulan Muharram, apalagi di hari-hari Asyura, Lebanon penuh dengan bendera-bendera hitam simbol perayaan hari besar Syi’i. Hari Asyura, adalah hari libur nasional untuk memperingati pembunuhan Imam Husein yang brutal di Padang Karbala. Tepat pada hari Asyura (10 Muharram) di mana-mana di seluruh penjuru kota, terutama di kawasan Asyrafiyeh, pawai-pawai masal berseragam hitam terus berjalan dengan teriakan-teriakan, yel-yel dan slogan-slogan yang sangat bersemangat dan membahana.
Di Beirut suara adzan yang merdu dan lonceng gereja yang bertalu-talu, ditingkahi suara konser musik Arab yang mendayu-dayu, begitu mewarnai suasana kehidupan kota metropolitan Beirut. Masjid dan gereja berdiri berdampingan seperti tampak antara Masjid Muhammad Amin yang sangat indah nan megah dan Gereja Katedral Saint George yang arsitekturnya bernilai seni tinggi nan anggun itu. Kedua tempat ibadah yang berdampingan dan gagah berwibawa itu berada di Sahatu al-Syuhada atau Martyr Square, yang sangat startegis di downtown kota Beirut.
Pemandangan suasana Sholat tarwih di masjid-masjid di bulan Ramadhan di kawasan downtown, Beirut, berdampingan dengan gereja dan restoran, kafe, dan tempat-tempat hiburan atau malah kehidupan malam, adalah pemandangan yang biasa di malam hari. Meski di bulan Ramadhan sekalipun. Jadi bukan saja harmoni antar Islam dengan banyak alirannya dan Kristen dengan banyak sektenya pula, melainkan juga hidup berdampingan dengan sekulerisme yang begitu terus terang tanpa tedeng aling-aling.
Apalagi pada musim panas yang dimulai pada bulan Juni, Beirut dan kota-kota besar lainnya di Lebanon mulai marak dengan konser-konser musik, festival kesenian, dan pertunjukan-pertunjukan budaya lainnya yang begitu kaya. Biasanya digelar di luar Gedung (outdoor) dan selalu sangat meriah dan berskala masif. Dengan sound sustem yg bagus dan lighting yang mengundang decak kagum masyarakat Lebanon memang terkesan masyarakat yang gila pesta, konser dan festival.
Kesemua agenda kesenian tersebut juga digelar di theater-theater peninggalan Romawi Timur (Roman theater), di pantai-pantai, di reruntuhan (ruin) Temple Buccus di Balbeek yang besar sekali itu, di Byblos, Tyre, dan lain-lainnya. Apalagi perayaan tahun baru di Beirut selalu digelar secara luar biasa sehingga sangat terkenal di seluruh dunia. Mungkin perayaan tahun baru di Lebanon di satu sisi sebagai paling boros di dunia, tapi di sisi lain keindahaan dan kesemarakannya begitu fenomenalnya sampai-sampai beberapa kali Beirut mendapatkan penghargaan masuk ke dalam The Top 10 Best New Year’s Eve Celebrations dari majalah National Geographic.
Paradoks antara kebebasan dan sektarian
Menariknya adalah bahwa antara yang religious yang berwatak sektarian dan yang sekuler yang berkarakter liberal, kesemuanya di Beirut dapat hidup berdampingan dalam kedamaian: koeksistensi damai! Hidup berdampingan dalam perbedaan. Bukan hanya menerima perbedaan, tetapi dapat hidup dalam perbedaan dengan tetap merasa nyaman (relax) dan penuh kenyamanan (convenience). Saya mengamati dari kedekatan mereka tidak risau dengan orang lain yang berbeda keimanan, bahkan yang tidak beriman sekalipun.
Sependek dan sedangkal pengamatan ini, saya bisa melihat segi positifnya: penghargaan kepada kebebasan dan perbedaan. Saya tidak melihat adanya usaha-usaha yang tidak sehat untuk merubah keyakinan, paham, madzhab, aliran, manhaj, atau apapun namanya, dari pihak lain. Alih-alih memandang keyakinan masing-masing sebagai urusan privat. Yang Sunni tidak perlu berupaya merubah yang Syii untuk menjadi ahlu sunni atas nama pelurusan, penyadaran, dakwah, atau apapun namanya. Demikian juga halnya pihak Nasrani tidak merasa perlu mengubah keyakinan pihak lainnya. Demikian juga pihak sekte-sekte yang lainnya terhadap sekte lainnya yang berbeda. Ada pluralisme internal sebagaimana juga eksternal.
Sampai di sini memang agak aneh, anakronistik, atau malah paradoksal: di satu pihak negara menyatakan dirinya sekuler dan masyarakatnya sangat menjunjung tinggi kebebasan dan demokrasi, tapi di pihak lain alih-alih malah ada penegasan bahwa negara menganut sistem politik konfessional yang membagi kekuasaan politik berdasarkan pengakuan sekte. Negara mengakui eksistensi 18 sekte agama dengan segala keistimewaan sosial politiknya masing-masing. Tidak beragama diperbolehkan, tetapi seseorang tetap saja dianggap sebagai telah membawa sekte bawaan sejak lahinya. Sungguh sebuah paradoks yang sangat menarik.
Sampai di sini sepertinya memang ada paradoks antara kebebasan dan sistem sektarianisme itu. Di satu sisi mereka sangat menjunjung tinggi, bahkan mengagungkan kebebasan (freedom), tetapi di sisi lain mereka menyepakati sistem politik confessionalisme, yakni sistem di mana pembagian kekuasaan dilakukan berdasarkan sekte. Di satu pihak mereka sangat menjunjung tinggi pluralisme dalam semangat koeksistensi, bahkan sangat berbangga dengan slogan: “Lebanon is more than a country, it is a message of freedom and an example of pluralism for East and West”, tetapi, benar atau salah, ada kecenderungan dipertahankannya status quo kota-kota yang satu warna.
Padahal pesan tersebut di atas dipajang di banyak prasasti rasaksa dalam tiga Bahasa (Bahasa Arab: لبنان اكثر من وطن، إنه رسالة, dan bahasa Perancis: “Le Leban eat plus qu’un pays c’est un message”). Dengan untaian kata-kata indah yang telah menjadi motto atau jargon tersebut, orang Lebanon seolah-olah ingin mengatakannya ke seluruh penjuru dunia tentang pluralism dan koeksistensi damai. Tetapi, meski peta demografi agama atau sekte di kota-kota Lebanon lainnya belum paralel dengan substansi motto yang indah itu, untungnya di kota Beirut jargon itu sudah relatif menjadi kenyataan. Ya, sudahlah! Semoga saja ke depan akan terwujud lebih baik lagi.***
Hajriyanto Y. Thohari, Ketua PP Muhammadiyah .