Oleh Prof M Azhar
Kata “meniti” menunjukkan adanya suatu proses yang berkesinambungan, yang ini berarti bahwa selama hayat dikandung badan tidak ada kata final dalam proses beragama. Adapun kata “jalan” dalam tradisi Islamic studies memiliki banyak istilah, antara lain: syara’a/syariat yang mengandung makna jalan yang harus ditempuh seorang muslim dengan konotasi “mengikuti aturan-aturan ilahi yang bersifat fiqh”.
Ada lagi kata manhaj yang mengandung arti “penyesuaian diri/pemikiran dengan metodologi keilmuan yang akademis-aposteriori”. Khusus untuk kata syariat/manhaj secara sosiologis-historis, belakangan sering diklaim oleh para ahli hukum Islam secara lebih sempit. Perlu dicamkan di sini bahwa dalam wacana keilmuan Islam, di sana banyak aliran di bidang “aqidah” (bedakan dengan iman). Seperti “aqidah” model jabariyah, qadariyah, yang melahirkan banyak varian aliran akidah, di antaranya Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, dll.
Berbagai “pandangan/paham” keagamaan yang sejak kecil mendominasi “cara” berpikir/berperilaku umat. Bila hanya berkutat pada satu atau dua “ideologi” aqidah tersebut, maka umat akan terjebak pada lorong “keilmuan” yang sempit, yang berdampak pada gaya hidup yang unhappy, yang suatu saat bisa saja berbenturan dengan berbagai wacana keilmuan “aqidah/teologi” yang lebih baru, lebih relevan dan kontekstual.
Secara metodologis, bila ingin menjadi umat yang bahagia, maka umat harus selalu memperbaharui cara/metodologi berpikir/bersikap yang terbuka. Yaitu yang lebih relevan dengan dinamika zaman, agar tidak terjebak pada “paham” keagamaan yang radikal, eksklusif dan berdampak pada paham keagamaan yang sempit. Bukankah “paham” keagamaan merupakan “made in” ulama di zamannya, yang lama kelamaan berubah menjadi Dogma yang sempit, karena paham lama tersebut jaraknya semakin jauh dengan kondisi saat ini dan masa depan.
Umat harus bisa membedakan antara Iman dan Dogma. Orang beriman harus selalu bersikap terbuka terhadap perubahan. Itulah sebabnya dalam Islam dikenal konsep yang hebat, yakni Ijtihad dan Tajdid. Itulah sebabnya ulama klasik dengan indah telah mewariskan kepada umat Islam masa kini dengan berbagai adagium. Seperti: wallahu a’lam bisshawab (Allah yang lebih tahu mana pandangan yang paling benar): ra’yuna shawabun yahtamilul khatha’, wa ra’yu ghairina khatha’ yahtamilus shawab (pandangan kami adalah benar, tetapi mungkin mengandung kesalahan, sedangkan pandangan selain kami salah, namun boleh jadi mengandung kebenaran).
Di kalangan ulama Muhammadiyah juga dikenal kata Tarjih (mengikuti pandangan yang lebih kuat, dan siap meninggalkan “pandangan/paham” keagamaan yang derajatnya lebih lemah/rendah). Luar biasa, bila warisan ulama masa dulu/termasuk masa kini, bila kita ikuti secara pikiran terbuka dan hati yang luas, yang berimplikasi pada open methodology (approach dan method) akan memberikan jalan keemasan Islam yang lapang bagi umat, tanpa harus diartikan sebagai upaya mencocok-cocokkan Islam dengan perkembangan zaman. Karena semua dinamika zaman harus diantisipasi secara ikhlas, jujur, cerdas, intelektual dan argumentatif, dan selalu siap meninggalkan “paham” – sekali lagi paham – keagamaan yang sudah out of date, menuju “paham/tafsir” keagamaan yang lebih up to date. Demikian inti dari wawasan tentang manhaj, ijtihad dan tajdid.
Itulah sebabnya setiap umat, organisasi Islam dan lembaga lainnya secara periodik selalu melakukan musyawarah, munas, muktamar untuk “memeriksa” kembali “paham” keagamaan yang sudah diyakini selama ini. Karena “tafsir” keagamaan akan selalu berpeluang untuk dikritisi, karena “tafsir”, “paham”, “fiqh”, tidak lebih dari design by ulama/by moslem scholar. Al-Quran dan Hadis memang sudah menjadi rujukan final, namun “ulumul” qur’an, “ulumul” hadis, “paham” atau “ilmu” aqidah – yang semua itu banyak mazhabnya – sangat terikat dengan zamannya.
Al-Qur’an mendorong umat yang ulul-albab untuk mau mendengar semua pandangan, namun yang diikuti adalah pandangan yang terbaik. Anjuran al-Qur’an ini sekaligus mengandung makna yang implisit bahwa umat Islam harus menjadi umat yang adil, terbuka, dan demokratis.
Adapun konsep “jalan” lainnya dalam Islam dikenal dengan istilah “suluk, taqarrub”, yang belakangan dianggap sebagai “milik” para “pencari Tuhan” melalui jalan pendakian moral-spiritual, atau dikenal sebagai jalannya para sufi. Perlu diperhatikan bahwa organisasi sebesar Muhammadiyah, puluhan tahun yang lalu sangat alergi dengan istilah tasawuf dan sufi. Karena boleh jadi dianggap mengandung unsur “washilah” kepada Allah dan “berbau” syirik. Namun beberapa tahun terakhir, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, mulai open dengan istilah tasawuf, yang selama ini hanya mengenal istilah “akhlaq”. Istilah tasawuf kini sudah masuk secara resmi dalam “paham” keagamaan Muhammadiyah dan bisa dilihat dalam Manhaj Tarjih.
Kader angkatan muda muslim kini bisa mengelaborasi lebih aktual tentang potensi konsep irfani dan tasawuf ini seiring dengan semakin maraknya kreasi seni budaya yang dinilai kurang Islami. Angkatan muda Islam tidak cukup hanya “mengeluh” dengan berbagai tayangan yang menayangkan acara-acara berbau kekerasan, pornografi dan sejenisnya. Namun secara proaktif dan kreatif dapat menawarkan formulasi karya seni dan paket spiritual yang kini didambakan oleh umat yang tengah merasakan kegersangan spiritual, akibat setiap hari dicekoki dengan tayangan media yang hedonis, konsumeristik, materialistik.
Apa yang diformulasikan oleh Aa Gym, Arifin Ilham, Ary Ginanjar, Emha Ainun Najib, dll bisa menjadi beberapa contoh tentang potensi dari aktualisasi konsep tasawuf dan irfani dimaksud. Namun itu belumlah cukup, maka harus ada paket-paket baru, cara-cara baru yang bisa dijadikan “jalan pendakian moral-spiritual” bagi umat yang sedang galau ini, selain jalan-jalan yang sudah baku seperti shalat, puasa, haji dan ibadah ritual lainnya. Ibarat makanan atau minuman, disamping umat sudah memiliki “menu wajib” shalat, puasa, haji /umroh di atas, umat juga butuh tambahan gizi/suplemen spiritual berupa paket-paket karya seni, sastra, drama teatrikal yang lebih kontemporer, agar akhlaq umat bisa terus dikawal sepanjang masa, sampai akhirnya mereka siap bila suatu saat dipanggil Yang Maha Kuasa.
Untuk itulah umat selalu dituntut untuk tetap serius dan fokus dan terus merevisi “cara-cara” beriman, karena “cara” beriman yang tidak direvisi akan berobah menjadi dogma yang jumud. Untuk merobah cara beriman yang baik tentu butuh pemikiran/manhaj yang baik, sehingga semua aturan fiqh/”syariat” bisa mengantarkan umat ke jalan-jalan pendakian moral-spiritual yang lebih baik dalam rangka taqarrub ilallah, sekaligus terus menapaki kejayaan peradaban Islam masa depan. Wallahu a’lam bisshawab.
Prof M Azhar, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 21 Tahun 2017