Respon Pers Asing Terhadap Klinik Muhammadiyah Malang Tahun 1927
Oleh: Muhammad Yuanda Zara
Muhammadiyah sudah lama dikenal sebagai organisasi modernis besar yang mengelola banyak amal usaha di seluruh Indonesia. Amal usaha itu mencakup berbagai lembaga pendidikan, mulai dari Taman Kanak-kanak hingga perguruan tinggi, serta fasilitas kesehatan seperti klinik dan rumah sakit.
Murid KH Ahmad Dahlan, KH Sudja’, adalah pelopor dalam usaha Muhammadiyah menyediakan akses kesehatan bagi umum. Atas inisiatifnya, klinik dan poliklinik Muhammadiyah, yang diberi nama Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), dibangun di Kampung Jagang Notoprajan, Yogyakarta, pada 15 Februari 1923.
Selama beberapa dekade setelahnya hingga kini, klinik ini tak hanya bertahan, tapi bahkan bertransformasi menjadi lembaga pelayanan kesehatan yang mapan dan berpengaruh. Dari klinik dan poliklinik inilah kemudian muncul apa yang sekarang dikenal sebagai RS PKU Muhammadiyah. Sebuah data survei dari tahun 2005 menyebut ada kurang lebih 345 amal usaha Muhammadiyah yang mengurusi soal kesehatan di seantero Indonesia.
Sebagaimana dikemukakan di atas, klinik dan poliklinik Muhammadiyah lahir pada tahun 1923, yang secara periodisasi sejarah masuk ke masa Hindia Belanda. Klinik dan poliklinik Muhammadiyah memiliki peranan dalam menyediakan fasilitas kesehatan bagi kaum dhuafa dan publik yang membutuhkan.
Gerakan semacam ini tak hanya menarik pasien dari kalangan pribumi, tapi juga menarik minat orang-orang Belanda di Jawa. Ini tidaklah mengherankan. Kala itu, hanya tiga pihak yang sanggup mengusahakan pelayanan kesehatan dalam bentuk modern: pemerintah kolonial, kalangan Katolik dan kalangan Protestan. Kaum Muslim umumnya masih mengandalkan pengobatan secara tradisional, khususnya dengan pergi ke dukun.
Sejarah Klinik Muhammadiyah Malang
Di dalam sebuah surat kabar berbahasa Belanda terbitan Surabaya, Indische Courant, tanggal 9 Desember 1927, muncul sebuah laporan berjudul “Moehammadijah kliniek”. Isinya memberitakan bahwa sebuah klinik Muhammadiyah yang baru saja dibuka di Malang telah semakin banyak menarik minat pasien untuk datang guna mendapatkan pengobatan.
Koran ini membandingkan data pasien bulan Oktober dengan Desember 1927, di mana peningkatannya dari Oktober ke Desember, dalam istilah jurnalis Indische Courant, merupakan sebuah “geweldige vooruitgang” (kemajuan besar). Berikut salah satu kutipan laporan tersebut:
Bedroeg het totaal aantal der patiënten, die gedurende de maand October van de kliniek gebruik maakte, nog 428, deze maand werd het belangrijke aantal 1551 bereikt, waaruit dus een geweldige vooruitgang valt te zien.
(Jumlah total pasien yang menggunakan klinik ini pada bulan Oktober masih berjumlah 428, sementara pada bulan ini sampai ke angka penting, 1551, dari mana sebuah kemajuan besar dapat dilihat.)
Jumlah pasien yang datang ke klinik Muhammadiyah di Malang itu tergolong tinggi untuk sebuah lembaga pelayanan kesehatan yang diusahakan oleh kalangan Muslim pribumi, yang belum banyak berpengalaman dalam mengorganisir upaya pemeliharaan kesehatan dalam standar modern ala Eropa.
Tak hanya jumlah pasien yang tinggi yang menunjukkan besarnya kepercayaan publik pada klinik Muhammadiyah ini. Ada setidaknya dua hal penting lainnya yang mengindikasikan besarnya kepercayaan ini, yakni keragaman jenis penyakit yang ditangani klinik ini serta bervariasinya latar belakang pasien yang datang.
Indische Courant menerangkan jenis penyakit dan latar belakang pasien yang datang ke klinik Muhammadiyah Malang:
Voor oogziekten werden 333 patiënten behandeld, allemaal Inlanders, vrouwen zoowel als mannen; voor interne ziekten werden 28 personen geholpen, eveneens allemaal Inlanders; voor geslachtsziekten 123 personen, waarvan 92 Inlanders, 30 Chineezen en 1 Arabier; voor huidziekten 971 personen, van wie 965 Inlanders en 6 Chineezen; op chirurgisch gebied werd aan 7 Inlanders geneeskundige hulp verleend, terwijl verder nog 89 patiënten, n.l. 63 Inlanders en 26 Chineezen voor neus-, keel- en oorziekten werden behandel.
(Terdapat 333 pasien yang dirawat karena penyakit mata, semuanya pribumi, wanita dan pria; 28 orang dibantu untuk pengobatan penyakit dalam, semuanya juga penduduk pribumi; untuk penyakit kelamin dirawat 123 orang, yang terdiri dari 92 orang pribumi, 30 orang Cina dan 1 orang Arab; untuk penyakit kulit ada 971 orang, di mana terdapat 965 pribumi dan 6 Cina; terkait bedah, 7 orang penduduk pribumi diberi bantuan medis, sementara 89 pasien, dalam hal ini 63 orang penduduk pribumi dan 26 orang Cina, dirawat karena penyakit hidung, tenggorokan dan telinga.)
Luasnya Kiprah Klinik Muhammadiyah
Laporan di atas, dan laporan-laporan sejenis di sejumlah surat kabar berbahasa Belanda di era 1920an, memperlihatkan kian luasnya kiprah klinik Muhammadiyah. Klinik Muhammadiyah yang awalnya hanya berada di Yogyakarta telah berkembang hingga ke luar wilayah residensi ini.
Salah satu kliniknya yang di Malang bahkan dengan cepat menarik minat berbagai kalangan untuk datang dan berobat. Salah satu kelebihan klinik ini adalah pengelolaannya yang modern, termasuk penggunaan obat-obatan modern sebagaimana yang dipakai di rumah sakit Belanda. Selain di Malang, di era itu Muhammadiyah juga membuka klinik PKO di Surabaya.
Yang juga patut dicatat adalah latar belakang etnis pasiennya. Sebagian besar adalah “Inlander” atau pribumi, yang dalam konteks Malang merupakan masyarakat Jawa setempat. Namun, rupanya tak hanya orang pribumi yang tertarik dengan klinik Muhammadiyah, melainkan juga orang Cina dan Arab.
Kedua kelompok masyarakat terakhir ini secara sosial-ekonomi kedudukannya lebih tinggi dari rata-rata orang pribumi sehingga sebenarnya mereka bisa datang ke rumah sakit yang dikelola Belanda. Maka, pilihan mereka untuk berobat ke sebuah klinik yang diupayakan kaum pribumi merupakan suatu bentuk kepercayaan pada kemampuan, profesionalitas, dan pelayanan pada klinik yang dikelola oleh kalangan pribumi, yang dalam hal ini diwakili oleh Muhammadiyah.
Klinik dan poliklinik Muhammadiyah, baik di Yogyakarta, Malang, Surabaya maupun tempat-tempat lainnya, pada hakikatnya merupakan wujud dari usaha Muhammadiyah untuk meningkatkan kondisi kesehatan kaum pribumi via cara-cara modern.
Klinik atau rumah sakit bukan hanya tempat di mana orang datang untuk mengobati penyakit, tapi juga tempat di mana berbagai pesan perihal agama dan kemajuan ditransmisikan dari pengelola rumah sakit pada pasiennya.
Dalam bahasanya antropolog Jepang Mitsuo Nakamura, rumah sakit dan klinik Muhammadiyah bukan hanya signifikan karena berfungsi sebagai “agen pengobatan murni”, melainkan juga sebagai “agen-agen penyebaran berbagai gagasan Muslim modernis”.
Muhammad Yuanda Zara. Sejarawan
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2018 dengan judul Respon Pers Belanda Dan Kalangan Timur Asing Terhadap Klinik Muhammadiyah Malang Tahun 1927