Sarana transportasi merupakan salah satu aspek penting dalam sejarah Islam. Islam diturunkan di Jazirah Arab, di mana masyarakatnya sudah mengenal kuda, unta, keledai, dan bagal (peranakan keledai, dari kuda jantan dan keledai betina) sebagai alat pengangkutan guna membantu manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Sementara itu, kapal adalah sarana untuk mencapai wilayah yang lebih jauh dan dipisahkan oleh laut. Sejak kelahiran Islam, kapal telah dimanfaatkan oleh para petualang Arab-Muslim untuk berdagang maupun menyebarluaskan Islam ke berbagai belahan dunia. Ini juga mendorong lahirnya teknologi kapal khas Arab-Muslim, yang mendapat inspirasi dari teknologi dari berbagai peradaban sekaligus mempunyai ciri khasnya tersendiri.
Yang tak kalah pentingnya adalah semakin sibuknya pelabuhan dengan berbagai aktivitas lintaswilayah. Pelabuhan-pelabuhan di pesisir Afrika Utara, Afrika Timur dan Jazirah Arab bagian barat berkembang pesat. Di antaranya ada pelabuhan Alexandria (Mesir), ‘Aydhab (Sudan) dan Jeddah (Arab Saudi).
Di abad pertengahan Islam, membuat kapal dan galangan kapal serta memajukan pelabuhan adalah prioritas para penguasa Muslim. Pendiri Dinasti Thuluniyah di Mesir, Ibn Thulun (835-884 M) menjadikan Pulau Al-Rawda sebagai pusat produksi kapal. Kala itu, tempat pembuatan kapal ini memproduksi ratusan kapal perang. Kapal-kapal yang ukurannya lebih kecil juga dibangun di sini. Tradisi pembuatan kapal dalam jumlah besar ini juga dilakukan oleh para penguasa lainnya, misalnya kalifah dari Dinasti Fatimiyah, Al-Aziz, yang pernah memerintahkan pembuatan 600 kapal di galangan kapal di Maqs.
Setelah kekhalifahan Islam di Afrika Utara dan Asia Barat mengalami kemunduran, Turki Usmani mengambil peran sebagai penerus pengembangan perkapalan dan kemaritiman di dunia Islam. Pelopornya adalah pangeran Saljuk, Caka Bay. Teluk Izmir adalah tempat di mana ia mulai mempelajari tentang pelayaran dan segala seluk-beluknya. Orang-orang Turki lalu membangun daerah pesisir menjadi lebih kuat, termasuk Aydin dan Menthese. Dari wilayah pesisir ini diluncurkan berbagai ekspedisi maritim yang membuka jendela dunia yang lebih luas bagi orang-orang Turki.
Di dalam buku A.Y. al-Hassan (ed.), Science and Technology in Islam (2001), disebutkan bahwa peristiwa paling dramatis dan penting di dalam sejarah Mediterania akhir abad kelima belas dan abad keenam belas adalah ekspansi Turki Usmani via jalur laut ke berbagai sisi Laut Mediterania. Sebagai masyarakat yang basis aslinya adalah daratan dan pedalaman, dan oleh karena itu lebih banyak melihat kuda dan rumput, orang-orang Turki dengan cepat belajar cara menaklukkan laut. Mereka belajar dari tradisi maritim yang sudah kuat di Mediterania.
Sejumlah pengamat sejarah Islam percaya bahwa bila dibandingkan dengan seluruh penguasa Muslim di dalam sejarah Islam, maka Turki Usmani-lah yang paling banyak menggunakan kekuatan maritim untuk menopang kekuasaannya. Kapal dan Turki Usmani seperti tidak terpisahkan. Adalah Sultan Bayezid I (1360-1403 M) yang menginisiasi dibetuknya armada kapal khusus untuk Kesultanan Usmani.
Tapi itu belum banyak berpengaruh bagi kekuatan militer Usmani karena mereka masih dengan mudah dikalahkan oleh lawan-lawannya. Barulah pada masa Mehmed I (1389-1421 M) dan dan Bayezid II (1447-1512 M) pembangunan kekuatan angkatan laut menjadi prioritas Turki Usmani. Hasilnya, dalam Perang Usmani-Venesia (1499-1503) guna memperebutkan wilayah di sekitar Mediterania, Turki Usmani keluar sebagai pemenangnya. Di pihak Turki, perang ini dipimpin oleh Kemal Reis, laksamana terkenal di era Bayezid. Kemal sendiri tak hanya bertugas untuk memimpin ekspedisi militer, tapi juga melindungi kapal-kapal serta mengorganisir transportasi barang-barang di Mediterania.
Kadirga atau kapal galley khas Turki merupakan salah satu elemen penting yang menyokong penguasaan Turki atas dunia maritim Laut Mediterania, setidaknya sejak akhir abad ke-15 hingga akhir abad ke-16. Secara fisik, kapal ini ramping namun berukuran panjang. Yang tak kalah pentingnya, Kadirga, yang mulanya berasal dari Venesia, mudah untuk diarahkan selama di laut. Kadirga inilah yang berperan penting dalam ekspansi Usmani ke Mediterania, termasuk dalam perang Usmani-Venesia, Pengepungan Otranto tahun 1480, penaklukkan Rhodes (1522) dan penaklukkan Prevezea (1538).
Di balik Kadirga ini tak hanya ada sang sultan yang memberi perintah, tapi juga para awaknya, yang terdiri atas para pelaut, pemilik kapal, dan kapten kapal. Nama-nama besar di sejarah Turki Usmani lahir di laut. Contohnya Kemal Reis dan Burak Reis. Mereka awalnya adalah pemilik kapal yang beraktivitas secara mandiri di laut lepas. Namun relasi mereka dengan penguasa Usmani membawa mereka bekerja sebagai perwakilan sultan di lautan.
Namun kekuatan kapal-kapal Turki di Laut Mediterania berkurang dengan perlahan-lahan di masa selanjutnya. Abad ke-18 dan ke-19 menjadi saksi turun naiknya dominasi maritim Turki. Salah satu kekalahan paling awal dan paling besar Turki di lautan adalah Pertempuran Chesma tahun 1770. Kala itu, armada laut Turki dikalahkan oleh armada laut Rusia di Teluk Chesma. Sempat terjadi perbaikan di tubuh angkatan laut Usmani setelahnya, namun Turki Usmani kembali menelan kekalahan dalam berbagai pertempuran laut di abad ke-19.
Terjadi pula konflik di dalam tubuh angkatan laut Usmani yang melemahkan pertahanan mereka di lautan. Di sisi lain, ini bersamaan dengan kehadiran kekuatan-kekuatan baru di kawasan, mulai dari Rusia, Perancis hingga Inggris. Orang-orang Yunani dengan kapal api mereka menyerang pelabuhan-pelabuhan Turki, dan mereka sukses melakukannya.
Puncaknya, pada Perang Dunia I Turki Usmani kerepotan kala melawan serbuan kapalkapal Royal Navy, Perancis, Rusia dan Australia di Dardanella. Bahkan, kala itu Usmani tak hanya berhadapan dengan kapal di atas laut, tapi juga kapal di bawah laut alias kapal selam. Kapal-kapal selam ini bertujuan untuk mematahkan kekuatan Turki Usmani di Dardanella dan Laut Marmara.
Azhar Rasyid. Penilik Sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2018