Mesra

Cerpen: Affan Safani Adham

SUDAH satu jam lebih, Iman mengelilingi perpustakaan Masjid Gedhe Kauman. Sebagai orang desa, Iman kagum dengan perpustakaan itu. Di kampungnya tidak ada toko buku. Tak ada novel ataupun buku bacaan lainnya.

Sebenarnya, bukan ke perpustakaan Masjid Gedhe Kauman tujuan utama Iman. Tapi ke toko buku Suara Muhammadiyah. Berharap bisa menemukan buku yang dicari. Lama mencari buku tidak ketemu, akhirnya Iman menuju tempat Ahsan di kawasan Ngindungan.

Sendok di tangan Ahsan belum sempat didorong mengantarkan sesuap nasi menuju ke mulutnya, ketika tiba-tiba pintu ruang tamu tempatnya tinggal diketok dari luar.

“Gagah sekali kau di sana, kawan!”

Ahsan mengangkat pandangannya dari buku yang tengah ia baca.

“Hah, Iman. Kau baru tahu, ya?”

Ahsan tergelak ketika mengenali si pemilik suara yang tanpa dipersilakan langsung menggeser pintu dan naik ke teras tempat Ahsan bersemayam.

“Sejak kuliah makin intelek saja kau ini,” kata Iman tersenyum.

Pujian intelek dibalas gaya intelek. Tanpa kendali tangannya yang mengusung buku mengedepankan diri.

“Tebal sekali bacaanmu?”

“Yah, buku ini menarik dan kritis, meskipun ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan pikiranku.”

Ruang baca punya Ahsan berukuran 4×6 meter. Jendelanya menghadap ke timur. Kalau pagi, ruangan itu memperoleh sinar matahari. Jendela itu dibuka sepanjang hari, kecuali jika turun hujan.

Di ke empat sisi tembok berdiri rak buku yang terbuat dari kayu, berpetak-petak, dan penuh dengan buku hingga ke langit-langit. Bahkan, di lantai depan rak buku itu pun bergeletakan buku yang tidak termuat dalam rak.

Memang, Ahsan selalu berkawan buku sejak sekolah dulu. “Kau mestilah berteman buku, kawan,” begitu kata Ahsan. “Kau boleh di kampung, tapi tidak salahnya kau banyak membaca.”

“Tentunya ada hal yang menarik dalam buku itu,” tanya Iman.

“Itu buku apa yang ada di tanganmu?” tanya Iman lagi, penasaran.

“Ini soal Muhammadiyah dan Keraton Yogyakarta.”

“Memang apa yang menarik dari buku itu?”

Ahsan diam menatap langit. Hanya sungging senyuman yang ia persembahkan pada Iman.

“Acara milad Muhammadiyah di pagelaran Keraton Yogyakarta dengan perayaan penuh tradisi Nusantara menarik perhatianku,” kata Ahsan.

“Kenapa kamu tertarik?”

“Muhammadiyah berikan penghargaan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X selaku Sultan  Yogyakarta,” jawab Ahsan.

“Ya, penghargaan itu untuk penghormatan kepada jasa dan dukungan keraton sejak Sultan HB VII, VIII, IX dan X,” timpal Iman.

Sejarah telah membuktikan bahwa Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat telah mendukung penuh persyarikatan Muhammadiyah. Salah satu di antaranya adalah rekomendasi Sultan HB VII sehingga Muhammadiyah mendapat recht persoon dari pemerintah Hindia Belanda.

MUHAMMADIYAH yang lahir di Yogyakarta, sejak kelahiran sampai sekarang, menunjukkan kedekatan antara Muhammadiyah dan keraton Yogyakarta. Menurut buku yang dibaca Ahsan, keraton Yogyakarta dan Muhammadiyah telah menjadi kekuatan pemersatu: mengayomi, memoderasi dan menguatkan kebersamaan seluruh warga bangsa. Hubungan keduaanya sangat mesra.

“Sepertinya keraton Yogyakarta belajar pada jiwa kenegarawanan para tokoh Muhammadiyah sejak KHA Dahlan hingga generasi sesudahnya dalam memupuk kebersamaan dan cinta bangsa,” kata Ahsan.

Bagi Ahsan, dukungan moral hingga materiil diberikan keraton Yogyakarta kepada Muhammadiyah untuk mengembangkan organisasi berbasis keagamaan. “Bahkan, dukungan itu masih berlangsung hingga saat ini,” tandas Ahsan.

Dan, Ahsan terkesima dengan apa yang telah disampaikan Sri Sultan Hamengku Buwono X, “Dadio kiai kang kemajuan, aja kesel nyambut gawe kanggo Muhammadiyah (jadilah kiai yang berkemajuan, jangan lelah bekerja untuk Muhammadiyah).”

Kemudian, apa yang dikatakan Sri Sultan HB X itu disampaikan pada Iman. “Apa yang disampaikan Sri Sultan HB X itu dapat dijadikan momentum untuk semakin mengeratkan hubungan Muhammadiyah dan keraton Yogyakarta?”

“Muhammadiyah dengan latar belakang Islam dan keraton Yogyakarta dengan kebudayaan serta sejarah Mataram Islam bisa memberi warna bagi kemajemukan Indonesia,” kata Iman.

TIBA-TIBA Ahsan mengatakan bahwa jangan sampai kita bicara indah tentang ukhuwah kebangsaan, tapi hasrat ananiyah hizbiyah jauh lebih besar ketimbang pengorbanan untuk hajat hidup bangsa secara keseluruhan. “Karena yang dipikirkan hanya kepentingan golongan sendiri,” kata Ahsan.

Salah satu alasan Muhammadiyah bisa tumbuh besar dan mencapai usia lebih dari satu abad, menurut Ahsan, karena didukung oleh Kesultanan Yogyakarta. Waktu itu, Sri Sultan Hamengku Buwono VII terkesan dengan kecakapan beragama salah satu abdi dalem-nya yang memiliki asma paring Dalem Ngabdul Darwis. Sultan kemudian mengirim Ngabdul Darwis ke Makkah untuk mendalami agama Islam. Kembali dari Makkah, Ngabdul Darwis yang kemudian dikenal sebagai Kiai Haji Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah.

Sri Sultan sebagai representasi peran Keraton Yogyakarta, yang sejak masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII, terus mendukung Muhammadiyah. Kepada Ahsan, Iman mengatakan, Muhammadiyah yang terlahir di Yogyakarta sebagai gerakan pemurnian dan pembaharu Islam, sejak kelahiran dan keberadaan hingga sekarang, menunjukkan betapa erat hubungan Muhammadiyah dengan Keraton Yogyakarta. 

Dikemukakan Ahsan, Sultan Yogyakarta tercatat selalu memberi perhatian dan dukungan penuh pada Muhammadiyah. Selain merestui berdirinya Muhammadiyah, Sri Sultan Hamengku Buwono VII memberi rekomendasi atas pengajuan rechtspersoon  (pengakuan legalitas) Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia-Belanda. Sri Sultan Hamengku Buwono VII juga menyediakan pendapa Dalem Kasultanan Kepenghuluan Kauman untuk dipergunakan bagi awal kegiatan Muhammadiyah dan Alun-alun Utara sebagai tempat musyawarah tahunan.

“Hubungan itu terus berjalan hingga kini dalam bentuk silaturahmi dan penyediaan fasilitas kepada Muhammadiyah oleh Sultan yang sedang berkuasa,” pungkas Iman.

Tentu saja ada pihak yang kurang senang dengan adanya kemesraan hubungan ini. Ada yang ingin menjauhkan Muhammadiyah dengan Kraton dan sebaliknya. ”Tetapi maksud jahat ini selalu berhasil digagalkan,” bisik Ahsan.

Affan Safani Adham, wartawan dan  penulis cerpen, tinggal di Yogyakarta

Artikel ini pernah dimuat di Majalah SM No 3 Tahun 2018

Exit mobile version