Peristiwa 10 November adalah peristiwa penting yang membuka mata dunia bahwa walau masih muda, Republik Indonesia mempunyai wibawa di atas tanah airnya yang berdaulat
Melalui Keppres No 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959 Presiden Soekarno menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan. Keputusan ini dibuat dalam rangka membangun memori kolektif anak bangsa tentang peristiwa 10 November di Surabaya satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan.
Perlawanan Rakyat
Peristiwa tersebut bermula dari penolakan kedatangan Inggris yang diboncengi NICA yang dianggap sebagai bentuk imperialisme di Republik yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya. Terlebih Inggris telah menyebarkan ultimatum yang memaksa orang-orang Indonesia menyerahkan senjata yang dirampasnya dari Jepang.
Tewasnya Brigadir AWS Mallaby dalam kerusuhan di sekitar Gedung Internatio Surabaya pada 30 Oktober 1945 direspon murka Inggris yang berjanji akan dibalas dari darat, laut dan udara. Ultimatum untuk menyerahkan senjata dan meninggalkan Kota Surabaya sebelum pukul 6 tanggal 10 November dijatuhkan kembali.
Gayung bersambut. Perlawanan meletus di penjuru Surabaya seakan tak gentar dengan ultimatum Inggris tersebut. Dengan senjata seadanya, terjadi perlawanan hebat selama 28 hari yang diperkirakan menggugurkan 16.000 orang dari pihak Indonesia dan hanya sekitar 600 dari Inggris.
Tokoh Peristiwa November
Siapakah sosok-sosok di balik peristiwa 10 November 1945 di Surabaya? Bung Tomo tentu saja akan disebut pertama kali. Namun, ada juga sosok lain yang harus disebut. Mulai dari Gubernur Soerjo, KH. Wahab Chasbullah, Roeslan Abdul Gani, KH, Mas Mansyur, Doel Arwono, dr. Moestopo dan tentu saja Soedirman.
Namun jangan dilupakan juga ratusan ribu Tentara Keamanan Rakyat, milisi sipil termasuk di dalamnya Hizbullah dan Sabilillah, juga para pemuda Surabaya dan sekitarnya yang tidak terafiliasi dengan kelompok tertentu juga terlibat dalam peristiwa dahsyat di Surabaya ini. Dalam rangka menggambarkan kolektifitas partisipasi semua komponen dalam peristiwa ini, Sejarawan Taufik Abdullah menyebut peristiwa ini sebagai “gerakan masyarakat”.
Interpretasi Oportunistik
Penulisan sejarah senantiasa menghadirkan kontestasi untuk mengingat dan melupakan. Tulisan sejarah juga sering kali menjadi ladang untuk menunjukkan “keakuan”. Seakan hanya seorang ataupun sekelompok orang saja yang terlibat dalam sebuah peristiwa sejarah.
Penggerak Pertempuran Surabaya
Battle of Surabaya, Barisan Tempur Semua Unsur
Sejarah tidak mungkin ditulis tanpa subjektivitas. Sebagai sebuah tulisan, tidak ada satu tulisan sejarah pun yang mendekati dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Subjektivitas penulisan sejarah lahir dari intepretasi oportunistik orang-orang yang ingin memanfaatkan sejarah untuk keuntungan segelintir kelompok.
Jika merujuk pada metode penulisan sejarah, intepretasi oportunisik mungkin hadir disebabkan dari dua hal: lemahnya heruistik (pengumpulan data) dan kesengajaan untuk menutup mata dengan fakta sejarah yang ada. Sebab yang kedua ini masih sering menghinggapi historiografi kita.
Resolusi Jihad?
Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya yang dianggap berkaitkan erat dengan Resolusi Jihad Nahdatul Ulama 22 Oktober 1945 perlu dibaca secara hati-hati. Narasi ini telah muncul salah satunya melalui film. Meski hadir dalam wujud film yang sah-sah saja menghadirkan fiksi, film ber-genre sejarah Hadrotussyaikh Sang Kiai (2013) perlu ditelaah lebih lanjut.
Film ini menghadirkan korelasi antara Resolusi Jihad Nahdhatul Ulama 22 Oktober 1945 dengan berlipatgandanya semangat juang para pemuda Surabaya yang juga cukup banyak didukung santri-santri dari Pesantren Tebuireng sehingga menghasilkan kemenangan.
Hal lain yang perlu dicatat, film ini berani mengintepretasikan bahwa yang membunuh Brigadir AWS Mallaby adalah salah satu santri Tebuireng yang saat itu melempar granat ke mobil Buich yang membawa Mallaby dan kemudian menewaskannya.
Sekedar Film Fiksi?
Siapa yang bertanggungjawab atas salahnya pemahaman penonton atas sisi “fiksi” dalam film sejarah ini? Saya katakan fiksi karena tidak ada satupun sumber yang menjelaskan siapa “eksekutor” penyerangan mobil yang dikendarai Mallaby.
Sekali lagi, benarkah ada korelasi besar antara Resolusi Jihad Nahdhatul Ulama dengan peristiwa 10 November 1945 di Surabaya? Terlebih peristiwa tersebut menjadi salah satu alasan ditetapkannya 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional sejak tahun 2015 oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 tahun 2015. Kalaupun benar apakah hal tersebut menjadi faktor tunggal?
Perlu diingat bahwa tidak ada sejarah yang mono-kausal. Sebuah peristiwa sejarah harus dibaca secara holistik. Peristiwa sejarah bisa hadir dikarenakan banyak sebab. Seberapa sejarawan bisa meneropong secara zoom out hal-hal yang terjadi di sekitar peristiwa, itulah kunci sejarawan bisa menghasilkan tulisan sejarah yang komprehensif.
Begitu juga peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Jika dikatakan disebabkan faktor tunggal Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 tentu itu sejarah yang mono-kausal. Karena tentu saja bermakna mengesampingkan alasan lain seperti provokasi Inggris yang menghadirkan gerakan kolektif masyarakat, euphoria kemerdekaan yang melahirkan laskar-laskar pejuang atau milisi sipil, dan tentunya faktor Bung Tomo dengan gelora takbirnya yang hadir sebagai motor penggerak di lapangan.
Untuk siapa sejarah?
Hari apapun yang ditetapkan pemerintah tidak lepas dari muatan politik. Peristiwa sejarah yang melatarbelakangi sebuah hari nasional itupun bisa sangat subjektif. Sebagaimana lahirnya Hari Santri yang muncul dalam situasi politik nasional bertumbuhnya narasi Islamisme yang harus diredam oleh pemerintah karena dianggap kontraproduktif terhadap pemerintah.
Pemerintah kemudian menghadirkan kotra-narasi bahwa kalangan Islam yang direpresentasikan pondok pesatren dan kalangan santri hari ini harus memiliki nilai-nilai nasionalisme sebagaimana para santri dan ulama yang dahulu berjuang dan mempertahankan NKRI serta kemerdekaan. Alasannya karena itulah wujud kontribusi kalangan santri dalam pembangunan bangsa.
Dekontruksi Reinterpretasi
Satu pertanyaan reflektif yang saya kemukakan adalah untuk siapa sejarah yang diperingati setiap sebuah tanggal nasional?
Jika jawabannya adalah seluruh anak bangsa, maka pemangku kepentingan seharusnya juga bertanggung jawab memastikan sebuah hari bersejarah yang dilandaskan atas sebuah peristiwa disajikan secara holistik-komprehensif dan tidak oportunistik. Harapannya sebuah peristiwa tersebut dapat dimaknai sama oleh seluruh anak bangsa.
Namun jika sejarah yang dibuat itu hanya dibuat untuk kepentingan pemerintah atau segelintir kelompok oportunistik di sekitar pemerintah maka, tidak ada pilihan selain harus didekonstruksi dan direinterpretasi.
Ghifari Yuristiadhi Masyhari Makhasi, Alumni S2 Ilmu Sejarah UGM dan Dosen Sekolah Vokasi UGM