Haedar Nashir: Cinta Tanah Air Bukan Syirik

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi menyampaikan Amanat Milad: Indonesia dan Keindonesiaan dalam Malam Jum’at School Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat. Haedar berpandangan bahwa mencintai tanah air bukanlah syirik karena Nabi Muhammad SaW pun mencintai negeri Mekkah, tanah airnya.

“Konstruksi kesejarahan dan teologis kerisalahan nabi sesungguhnya memberi pondasi bagi Umat Islam di Indonesia bahwa cinta tanah air adalah bagian dari sikap dan pandangan keagamaan yang melekat pada Islam, bukan sesuatu yang bertentangan dan menjadi suatu yang dipertentangkan dengan Islam,” ungkap Haedar, Kamis, 12 November 2020.

Cinta tanah air bukan bentuk dari syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Karena jika ada suatu pandangan yang meletakkan cinta tanah air seakan-akan bentuk kemusyrikan karena bentuk cinta adalah hanya kepada Allah. “Ini pandangan yang seakan-akan benar tapi reduksionistik,” tandasnya.

Persis sama ketika ada sebagian umat Islam dalam menghadapi wabah yang sudah nyata ini. Ada pandangan untuk apa takut dengan pandemi, takut dengan virus, takut itu hanya kepada Allah. Seakan-akan sangat teologis dan tauhidi padahal porsinya berbeda di mana wilayah dunia dan ilahiah merupakan satu hubungan yang tidak bisa dipertentangkan.

“Ini sungguh tidak tepat, menyamakan cinta kepada Allah ekuivalen, atau sebaliknya takut kepada Allah sama dengan takut pada virus,” imbuhnya.

Karena alam bersama seluruh isinya, termasuk virus dan seluruh makhluk di muka bumi merupakan bagian dari ciptaan Allah SwT. Konstruksi ini perlu menjadi reorientasi pemahaman keagamaan di Muhammadiyah.

“Kesimpulannya adalah bahwa Islam meletakkan kebangsaan dan tanah air sebagai bagian dari sikap, pandangan, dan orientasi dari kehidupan keagamaan, tidak bisa diletakkan satu sama lain,” kata Haedar.

Allah memberi petunjuk melalui Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat, As-Saba dan seterusnya. Bahkan yang sering dijadikan jargon yaitu Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Sesungguhnya ini konsep teologi Islam tentang negara yang dicita-citakan. Disinilah Islam menganut pandangan wathaniyah yaitu ketanah air-an dan muwathaniyah yaitu citizenship atau kewargaan.

Sejak dulu, kata Haedar, para pejuang dan Umat Islam hingga Indonesia merdeka integrasi keislaman dan keindonesiaannya menyatu. Bahwa nanti ada dinamika politik, ekonomi, budaya yang sifatnya melahirkan konflik dan ketegangan merupakan bagian dari dinamika di manapun bukan hanya di Indonesia.

Termasuk dalam membentuk sebuah negara merupakan suatu Ijtihad. Muhammadiyah berpandangan Indonesia sebagai negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah. Dalam buku Indonesia dan Keindonesiaan yang diterbitkan Suara Muhammadiyah, Haedar menguraikan bahwa untuk menjadi sebuah nama Indonesia saja telah melawati pergumulan yang luar biasa.

“Indonesia bukan hanya komitmen, kita bangun menjadi negara yang bersatu berdaulat adil dan makmur, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, menjadi negara utama dan menjadi negara yang berkemajuan,” pungkasnya. (Riz)

Exit mobile version