Seorang pasien tiba-tiba terbaring ‘lunglai’ di kamar periksa dokter praktik. Dirinya sakit sebagai akibat dari obat yang diminumnya, yang dia konsumsi melebihi batas dosis yang telah disarankan oleh ‘Sang Dokter’. Sementara itu, ‘ada’ seorang yang semasa mudanya terlihat ‘sehat wal afiat’, tetapi di masa tuanya ‘sakit-sakitan’, karena terlalu banyak mengonsumsi ‘makanan instan’. Mereka dinyatakan telah melakukan tindakan ‘Isrâf’, sebuah tindakan yang berarti: “berlebih-lebihan atau melebihi batas kewajaran”, yang – pada akhirnya — mengakibatkan kerugian pada dirinya.
Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ – misalnya — berfirman dalam Qs al-An’âm/6: 141, “… Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”
Dalam keseharian kita, seharusnya kita menyadari, bahwa diri kita hanya membutuhkan sesuatu yang ‘serba-terbatas’. Sementara itu, tidak sedikit ‘orang’ yang –dengan sangat rakus– berkeinginan untuk memenuhi hampir semua kebutuhan sekunder dan tersiernya, karena merasa berkemampuan untuk memenuhinya. Perhatikan, misalnya, ‘pesta-pesta kuliner’ yang sangat berlebihan. Mereka – dengan lahapnya – menyantap hampir semua hidangan, tanpa menyadari bahwa apa yang mereka ‘santap’ adalah sesuatu yang sebenarnya sudah tidak mereka butuhkan lagi. Akhirnya, bisa saksikan dengan mata, berapa orang yang telah terjangkiti beragam penyakit karena (dampak) asupan makanan (dan juga minuman) yang berlebihan itu.
Kini, perilaku Isrâf yang telah mereka jalani tinggallah sebagai ‘sebuah penyesalan’. Makan dan minum yang berlebihan yang telah mereka jalani telah mengakibatkan dampak buruk bukan hanya bagi dirinya. Tetapi, ‘keluarga’ mereka pun juga akan terkena dampak negatifnya, karena harus merawat seseorang yang ‘terbaring sakit’ karena perilaku isrâf itu. Dan yang perlu juga diwaspadai, bahwa perilaku isrâf tidak hanya berkaitan dengan makan-minum. Kita pun dilarang untuk ‘berbicara’ secara berlebihan.
Akhirnya, kita harus menyadari, bahwa perilaku isrâf –dalam banyak hal– disebabkan oleh ketidakmampuan orang untuk mengendalikan ‘keinginan’. Dan ‘kita’ seringkali tidak menyadari kemungkinan buruk yang bisa terjadi sebagai akibat dari perbuatan kita. Padahal setiap seorang seharusnya bisa melakukan sesuatu berdasar ‘kebutuhannya’. Di saat kebutuhannya sudah tercukupi, seharusnya dia berhenti untuk melakukan apa pun yang terkait dengan ‘keinginannya’. Karena yang tidak diperlukan untuk dikerjakan, seharusnya tidak dikerjakan, “apa pun, di mana pun, kapan pun, dan oleh siapa pun.”
Muhsin Hariyanto, Dosen tetap FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 11 Tahun 2017