Memaknai Keindonesiaan dan Kemajemukan
Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi
Akhir-akhir ini menguat isu tentang intoleransi dan radikalisme yang menurut beberapa pihak meningkat dari tahun ke tahun. Berkembang juga isu seputar gerakan anti-Pancasila, anti-Kebhinekaan, anti-NKRI, polarisasi yang membelah bangsa, dan bentuk ancaman lain terhadap ke-Indonesiaan. Isu tentang intoleransi, radikalisme, dan terorisme secara khusus sampai batas tertentu dikaitkan dengan agama, khususnya umat Islam.
Beragam isu yang negatif itu secara faktual terjadi di tubuh bangsa ini, yang tidak kita kehendaki terjadi di negeri ini. Kita tidak montoleransi segala bentuk tindakan yang mengancam kehidupan kebangsaan. Indonesia harus terjaga dari segala bentuk disintegrasi yang merusak kebersamaan dan sendi kehidupan kebangsaan karena hal itu mengancam eksistensi dan masa depan negeri tercinta ini.
Namun perlu juga dicermati dengan seksama. Bahwa intoleransi, radikalisme, dan segala bentuk ancaman terhadap ke-Indonesia-an seyogyanya dicandra secara objektif dan komprehensif agar tidak bersifat parsial, tendensius, dan salah pandang. Perlu rekonstruksi konsep, pemikiran, dan parameter yang dapat didialogkan dan dirumuskan secara kolektif tentang fenomena intoleransi, radikalisme, dan segala bentuk anti-ke-Indonesia-an agar terhindar dari tendensi yang sepihak, hitam-putih, dan hanya ditujukan pada satu aspek dan golongan.
Masalah-masalah tersebut harus diletakkan dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia yang majemuk. Sekaligus dikaji secara seksama kasus perkasus agar tidak mudah terjebak pada generalisasi. Tetapi satu hal yang harus tegas, semua pihak termasuk Muhammadiyah tidak boleh mentoleransi segala bentuk radikalisme, intoleransi, masalah-masalah lain yang mengancam sendi kehidupan Indonesia sebagai milik bersama.
Problem Kemajemukan
Kita menyadari betapa kompleksnya hidup dalam suatu bangsa yang bhineka dan mengelola kebhinekaan. Masyarakat majemuk (plural society) memiliki sifat non-komplementer, satu sama lain pada dasarnya sulit bersatu, ibarat air dan minyak yang tidak bersenyawa. Ketika bangsa Indonesia yang bhineka itu bersatu, menurut para ahli, hal itu karena ada nilai perekat yang disepakati bersama, yakni Pancasila. Manakala nilai perekat itu longgar dan tidak menjadi rujukan yang aktual, maka luruhlah kebersamaan, sehingga sekarang Pancasila ditransformasikan kembali untuk menjadi dasar filosofis berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks Indonesia, menurut antropolog Prof Koentjaraningrat, pada pembentukan integrasi nasional umat Islam selaku mayoritas memiliki peran dalam integrasi sosial di tubuh bangsa ini. Karena itu, sesungguhnya agama dapat menjadi kekuatan kohesi nasional, di samping boleh jadi karena bias pemahaman dan perilaku sebagian pemeluknya sampai batas tertentu sentimen keagamaan dapat menjadi faktor konflik. Tetapi faktor lain pun seperti politik, ekonomi, etnik, dan kedaerahan di tangan orangorangnya yang memiliki bias-paham dan bias-perilaku dapat pula menjadi faktor disintegrasi sosial, di samping menjadi kekuatan yang menyatukan.
Sementara itu, sebagai konsekuensi dari reformasi dan pilihan demokratisasi yang serbaterbuka di tengah arus deras kekuatan asing dan globalisasi yang masuk ke seluruh ranah kehidupan kebangsaan, kini terjadi proses liberalisasi kehidupan politik, ekonomi, dan budaya yang membawa dampak sangat kompleks dalam kehidupan kebangsaan. Proses liberalisasi ini meluruhkan nilai keIndonesiaan yang berbasis pada agama, Pancasila, dan kebudayaan yang hidup di tubuh bangsa ini. Orientasi hidup yang egoistik, hedonis, materialistis, transaksional, rakus, dan oportunistik telah mengoyak kebersamaan dan sendi-sendi kehidupan kebangsaan dan kemanusiaan.
Rusaknya kebersamaan juga dapat terjadi karena kesenjangan ekonomi yang semakin ekstrim. Jika satu persen orang Indonesia dibiarkan tetap menguasai 55 persen kekayaan nasional, maka selain merusak kebersamaan tetapi lebih jauh akan menjadi api dalam sekam yang dapat bermuara pada disintegrasi nasional yang masif. Negara harus berani menegakkan keadilan sosial untuk mengatasi kesenjangan sosial ini. Jangan biarkan segelintir orang dengan tangan raksasa, kerakusan, kekuatan uang, dan pengaruhnya di struktur kekuasaan menguasai Indonesia baik terbuka maupun terselubung, jika negeri ini ingin mewujudkan Pancasila dan cita-cita nasional dalam kebersamaan.
Kesenjangan sosial dan keserakahan sekelompok kecil pihak sama gawatnya dengan radikalisme dan terorisme serta ancaman ideologis lainnya, malah mungkin lebih berbahaya. Pemerintah dan kekuatan politik pun perlu makin waspada akan segala ancaman yang berjangka panjang ini. Kaum beriman tentu ingat akan peringatan Allah SwT, bahwa kerusakan di muka bumi terjadi karena ulah-tangan manusia, serta hancurnya suatu negeri karena ada sosok-sosok “al-mutrafun” yang selalu berbuat anarki, rakus, dan wewenang-wenang.
Karenanya diperlukan ikhtiar semua pihak untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan ini secara jernih, objektif, dan komprehensif dengan meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya. Membangun kebersamaan dalam masyarakat majemuk dan sarat masalah krusial seperti diuraikan itu sungguh merupakan jalan terjal sekaligus mulia yang memerlukan keberanian dan jihad para pemimpin negeri yang bebas dari kepentingan dan segala bentuk penyanderaan diri. “Sebuah negara terbentuk bukan semata karena kekuasaan, tetapi bersatunya secara integral seluruh kekuatan masyarakat dalam entitas bangsa,” ujar filsuf ternama Spinoza. Karena itu semua pihak, baik pemerintah dan kekuatan politik maupun seluruh komponen bangsa, dituntut komitmennya yang kuat untuk merekatkan kebersamaan ketika terdapat retak di tubuh bangsa ini.
Nilai Kebersamaan
Indonesia sebagai bangsa majemuk memerlukan kebersamaan yang harus menjadi komitmen seluruh pihak. Menurut filsuf Perancis, Ernest Renan, bahwa di tubuh suatu bangsa terdapat ikatan batin yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah dan cita-cita yang sama walaupun di dalamnya terdapat beragam suku, ras, budaya, bahasa, dan adat istiadat. Keragaman atau kemajemukan tidak menghalangi kita hidup bersama secara damai, toleran, dan saling memajukan.
Dalam jejak perjalanan Indonesia menjadi sebuah bangsa terdapat mozaik kenegarawanan yang indah. Bahasa Melayu dipilih sebagai Bahasa Nasional, padahal berasal dari rumpun etnik minoritas. Nama Indonesia pun dipilih sebagai nama resmi kepulauan luas ini dari sederet nama-nama Dwipantara, Swarnadwipa, Insulinda, Melayunesia, dan Nusantara. Putra putri generasi bangsa menggelorakan Sumpah Pemuda 1928 untuk “Bertanah air yang satu, berbangsa yang satu, dan berbahasa yang satu,” yakni Indonesia. Para pendiri bangsa saling berkorban demi Indonesia merdeka dan terwujudnya cita-cita Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Indonesia bukan sekadar nama, tetapi sebuah identitas diri yang mengandung pergulatan sejarah, politik, ideologi, dan budaya yang penuh warna menuju cita-cita Indonesia merdeka.
Pada situasi yang kritis satu hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, para tokoh Islam dengan sosok kunci Ki Bagus Hadikusumo (Ketua PP Muhammadiyah saat itu) bersama tokoh Islam lainnya berkorban merelakan tujuh kata pada Piagam Jakarta dengan menyetujui Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Sila pertama Pancasila sebagai titik kompromi. Sikap kenegarawananan para tokoh Islam itu menunjukkan jiwa kebersamaan bahwa golongan mayoritas mengayomi minoritas demi keutuhan Indonesia, yang oleh Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara disebut sebagai “hadiah terbesar umat Islam” untuk Indonesia.
Semua arus pergumulan sejarah yang panjang dan dinamis itu hadir untuk pembentukan Indonesia sebagai milik bersama sebagaimana disuarakan oleh Bung Karno ketika Pidato 1 Juni 1945, bahwa: “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua.” Itulah mozaik kebersamaan yang diletakkan dengan ikhlas dan indah oleh para pejuang dan pendiri bangsa secara autentik.
Keberadaan bangsa dan negara tidak cukup memadai hanya bermodalkan idiom-idiom verbal tentang keindonesiaan seperti NKRI harga mati, pro-Pancasila, UUD 1945, dan kebhinekaan yang cenderung formalistik dan simbolik. Berindonesia meniscayakan jiwa, pikiran, dan pola tindak yang nyata dengan membuktikan bahwa kata sejalan tindakan. Di dalamnya terdapat keteladanan dan jiwa kenegarawanan dari seluruh élite negeri dan tokoh bangsa, serta dukungan rakyat dengan aura cinta dan persaudaraan.
Jika semua merasa memiliki Indonesia maka belajarlah hidup dalam kebersamaan yang otentik dan tidak egoistik. Perlu saling membangun keadaban luhur dalam berbangsa dan bernegara. Mereka yang besar jangan menguasai, yang kecil pun tidak anarkhi. Semua harus saling berbagi, saling memahami, serta menjamin hak hidup yang damai dan saling memajukan dengan jiwa tulus tanpa pura-pura. Jangan sampai sekelompok kecil karena kuasa uang dan akses malah menyandera Indonesia dengan hasrat angkara.
Sumber: Majalah SM Edisi 23 Tahun 2017