Muhammadiyah yang Sebenarnya

Muhammadiyah yang Sebenarnya

Muhammadiyah yang Sebenarnya

Oleh: Nirwansyah

Suara Muhammadiyah – Bicara Muhammadiyah, tentu tak lepas dari salah satu sosok kharismatik abdi dalam Keraton Yogyakarta, yaitu KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah. Gerakan yang didirikan oleh Kiai Dahlan tersebut saat ini sedang memasuki abad ke-2 usianya dan tepat pada 18 November 2020 telah genap berusia 108 tahun.

Tentu sudah banyak kontribusi Muhammadiyah bagi umat dan bangsa ini yang sudah ada sebelum bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia ini lahir. Gerakan Islam tersebut bertujuan untuk mewujudkan “masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”

Dalam mencapai cita-cita dan tujuan Muhammadiyah tersebut memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses dan waktu yang tidak pendek untuk menggapainya. Diperlukan juga strategi yang terstruktur, sistematis, mutakhir, dan terpola dalam mewujudkannya. Cita-cita Muhammadiyah tersebut merupakan visi tak berjangka waktu yang pencapaiannya tidak dapat diduga oleh pikiran manusia yang terbatas (Syamsuddin dalam Fanani, 2017).

Muhammadiyah dan Langgar

KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammdiyah-nya memilih jalan pengilmuan sebagai salah satu dari sedikit cara untuk mengentaskan keterbelakangan. Sebab, Kiai Dahlan meyakini bahwa keterbelakangan dan kejumudan yang berimplikasi pada kemiskinan hingga takhayul dapat dihalau apabila masyarakat memiliki keilmuan yang adekuat. Di sisi lain, Kiai Dahlan juga melakukan gerakan filantropi untuk membantu masyarakat yang serbakekurangan atau mustad’afin.

Apa yang dilakukan oleh Kiai Dahlan dalam proses semenjak awal berdirinya Muhammadiyah tentu melewati jalan yang panjang. Sebuah jalan yang tidak mudah, berliku, di bawah bayang-bayang ancaman, bahkan penuh onak-duri. Lebih-lebih, Indonesia pada saat itu masih di bawah cengkraman kolonialisme.

Gerakan pengilmuan dan filantropi yang digalakkan oleh Kiai Dahlan, yang kemudian menjiwai Muhammadiyah hingga sekarang, menimbulkan kekhawatiran—terutama yang berkaitan dengan tradisi lokal—bagi mayoritas masyarakat setempat kala itu. Muhammadiyah memiliki misi untuk memberantas takhayul, bid’ah, dan kurafat (TBC) yang pada saat itu menggurita di masyarakat, bahkan TBC tersebut masih ada hingga sekarang.

Selain itu, kekhawatiran juga muncul dari tokoh-tokoh terkemuka di lingkungan Keraton saat itu. Bisa jadi, kekhawatiran tersebut timbul karena tokoh-tokoh atau otoritas lokal takut kehilangan posisi atau jabatan dan kehormatan yang sudah mapan selama berbilang tahun.

Untuk mempertahankan tradisi dan otoritas yang sudah mapan itu, maka masyarakat yang juga mendapat dukungan dari beberapa tokoh setempat mendiskreditkan gerakan yang dibawa oleh Kiai Dahlan beserta muridnya.

Kiai Dahlan dicap sebagai Kiai kafir. Langgar Kidul yang menjadi pusat aktivitas Muhammadiyah pun ikut dibakar. Langgar tersebut kemudian dibangun kembali dan saat ini menjadi salah satu bangunan warisan budaya berdasarkan SK Walikota No. 798/KEP/2009.

Muhammadiyah Menerangi Semua

Tak ada yang mengira bahwa Muhammadiyah akan sebesar seperti sekarang ini. Langgar yang dulunya pernah menjadi pusat kegiatan Muhammadiyah sempat dibakar. Namun, pengabdian Muhammadiyah untuk bangsa ini tak pernah memudar bahkan semakin bersinar.

Ajaibnya lagi, meskipun Muhammadiyah banyak mendapat tentangan dari berbagai pihak, justru Muhammadiyah semakin menjalar ke antero dunia. Salah satu buktinya dapat dilihat dari berdirinya Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah-Aisyiah (PCIM) di berbagai penjuru dunia. Para kader atau simpatisannya berdiaspora di berbagai belahan dunia, baik itu untuk menuntut ilmu ataupun menetap di sana.

Hal tersebut membuktikan bahwa Muhammadiyah tidak hanya berdiri dan bergerak secara ekslusif. Muhammadiyah juga tidak sibuk memperbesar dirinya sendiri, melainkan Muhammadiyah hadir dan ada untuk umat serta negeri bahkan dunia.

Contoh lainnya dapat dilihat dari anak-anak di Nusa Tenggara Timur atau Papua yang beragama Kristen banyak bersekolah di sekolah-sekolah Muhammadiyah. Namun, mereka tetap menjadi umat Kristiani meskipun bersekolah di Muhammadiyah yang notabenenya Islam—dalam istilah Prof. Abdul Mu’ti mereka itu disebut Krismuha (Kristen-Muhammadiyah).

Kiai Dahlan sangat jeli dalam memikirkan eksistensi dan nasib Muhammadiyah ke depan. Oleh karena itu, Kiai dahlan menjadikan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bergerak pada bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, dan kemanusiaan yang menanungi semua pihak tanpa SARA. Seandainya Muhammadiyah dijadikan gerakan politik oleh Kiai Dahlan, patut diragukan akankah Muhammadiyah masih ada hingga sekarang.

Ada dan Mengada

Dalam Anggaran dasar Muhammadiyah pasal 4 disebutkan bahwa “Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur‘an dan As-Sunnah.” Menurut Prof. Din Syamsuddin, pilihan untuk menggunakan kata gerakan (bukan organisasi) dimaksudkan bahwa entitas kemuhammadiyahan tersebut telah melampaui maqom sebagai suatu organisasi, yaitu perkumpulan manusia yang sudah bertumpu pada sistem, tapi menjadi entitas yang melibatkan diri dalam suatu proses dinamis dan sistematis untuk mencapai tujuan.

Tujuan Muhammadiyah tersebut termaktub dalam AD/ART pasal 6 bahwa “Maksud dan tujuan Muhammadiyah ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”.

Keberadaan Muhammadiyah sebagai gerakan (jam’iyah) menjadi wajib hukumnya demi mencapai cita-cita tersebut dengan sistem kolektif-kolegial sebagaimana amanat dalam surat ali-Imran ayat 104.

Karena Muhammadiyah melekat dengan kepentingan dakwah bahkan menjadi wajib adanya sebagaimana kaidah “ma layatim al-wajib illa bihi fa huwa wajib”, bahwa sesuatu itu manakala fungsinya tidak bisa dilepaskan, maka menjadi niscaya keberadaannya. Jika perjuangan Islam tidak bisa tidak memerlukan jam’iyah, maka jam’iyah itu wajib diadakan dan keberadaannya. Muhammadiyah sebagai gerakan menjadi wajib adanya dalam perjuangan Islam (Nashir, 2017).

Dalam keberadaannya tersebut, Muhammadiyah tidak hanya sekedar ada dan berada tetapi juga mengada. Maksud dari kata mengada di sini dalam penjelasan Prof. Din Syamsuddin ialah Muhammadiyah itu senantiasa memaknai keberadaannya, sehingga ia ada dengan dan untuk suatu makna (exist with and for a meaning).

Dengan memaknai keberadaannya tersebut, Muhammadiyah tentu tidak hanya tinggal diam dalam mengatasi masalah negeri dan pandemi seperti yang kita rasakan sekarang ini. Berbagai hal yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah tercerminkan dalam tema milad ke-108 Muhammadiyah kali ini, yakni “Meneguhkan Gerakan Keagamaan Hadapi Pandemi dan Masalah Negeri”. Dari tema tersebut, Muhammadiyah hendak menegaskan gerakannya, abdinya, dan kecintaannya terhadap tanah air Indonesia yang kita cintai ini serta menawarkan berbagai macam solusi.

Sebab, menyitir Buya Syafii Maarif dalam Percik Pemikiran Tokoh Muhammadiyah untuk Indonesia Berkemajuan, “Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, bukanlah Muhammadiyah yang sebenarnya.

Nirwansyah, lahir di Tanjung Ampalu, Sijunjung, Sumatera Barat. Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Sekbid Organisasi Pimpinan Komisariat Syariah dan Hukum IMM Cabang Ciputat. Redaktur JIBPost.ID

Exit mobile version