Kepemimpinan Karismatis: Bukan Masa Depan

Kepemimpinan Karismatis: Bukan Masa Depan

Oleh Hajriyanto Y Thohari

IKRAR Nusa Bhakti benar saat mengatakan, secara umum struktur partai politik di Indonesia masih tradisional, tergantung figur karismatik berdasarkan keyakinan atau keturunan (Kompas, 6/8/2001). Jika dicermati kecenderungan berkembangnya -atau dikembangkannya- kembali kepemimpinan karismatis, amat terasa sejak dua dasawarsa terakhir ini. Banyak pemimpin kita yang sengaja memenuhi dirinya dengan kesan karismatis, bahkan aura mitis (mythe) dan mistis (mystic) untuk melegitimasi jabatan dan kekuasaannya, atau setidaknya untuk kepentingan membuat rakyat mengakui kekuasaan pemerintahannya.

Konsep kepemimpinan karismatis mengingatkan kita pada apa yang diuraikan Soemarsaid Moertono dalam State and Statecraft in Old Java (1968) dan Bennedict R OG Anderson dalam The Idea of Power in Javanese Culture mengenai kesaktian (kasekten) dalam konsep kekuasaan Jawa. Konsep kasekten adalah konsep inti dalam paham Jawa tradisional tentang kekuasaan. Menurut ideologi ini, demikian urai Takashi Shiraishi dalam tulisannya Satria Vs Pandita: Sebuah Debat dalam Mencari Identitas dalam Akira Nagazumi, Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang (1986), keadaan jaya dan makmur (gemah ripah loh jinawi tata tentrem karta raharja) hanya bisa terwujud bila kesaktian terpusat pada diri pribadi sang raja atau pemimpin.

Kesaktian itu memancar keluar dari sang raja yang dipercaya sebagai mendapatkan teja, wahyu, pulung, ndaru, atau apa pun namanya, yang diperoleh melalui tapa brata, prihatin, dan tirakat. Bisa juga diperoleh dari orang tuanya melalui garis keturunanan atau silsilah yang turun temurun: mengaku masih keturunan raja, sultan, presiden, nabi, wali, kyai, ki ageng tanah perdikan, atau apalagi. Kasekten bisa diturunkan oleh penguasa duniawi (sekuler) bisa pula penguasa spiritual (agama). Jika dari garis ayah saja dirasakan masih kurang maka biasanya digabung dan dikombinasikan dengan garis ibu: dari garis ayah keturunan penguasa duniawi (raja, sultan, presiden, benggol sakti) dan dari garis ibu keturunan nabi, wali, kyai besar, atau bahkan ketua tariqat dengan murid jutaan). Atau bisa juga sebaliknya. Lengkaplah sudah!

Dengan mendapatkan itu semua, maka segala atribut kekuasaan akan menempel pada dirinya. Ucapan-ucapannya akan dipandang sebagai tidak bisa salah, karena itu tidak bisa dibantah. Sebab, pemimpinnya itu dipercaya sebagai seorang pandito-ratu atau ratu pinandito, yakni pribadi yang di dalam dirinya berpadu kualitas raja sekaligus pandito yang sabdanya tidak bisa salah atau disalahkan (sabda pandita ratu datan kena wola-wali). Sementara itu rakyat yang mendukungnya disebut domas, wong bodo nanging atine emas (orang bodoh tetapi berhati mulia).

Tak heran bila kemudian muncul assessment bahwa mengkritik “sang raja” atau seorang pemimpin yang telah dipercaya memperoleh karisma dan kesaktian, apalagi mencoba membantahnya, sama dengan pembangkangan (mbalelo) atau dalam bahasa santri, bughot, yang boleh ditumpas. Karisma adalah kemampuan seorang pemimpin dalam ilmu gaib atau hal-hal yang bersifat keramat untuk memperbesar pengaruh sehingga keabsahannya sebagai pemimpin diakui dan didukung sepenuh jiwa.

Anehnya, figur-figur pemimpin partai politik, utamanya mereka yang duduk pada posisi puncak semacam ketua umum, sadar atau tidak sadar punya kecenderungan dominatif dengan cara mengembangkan kewibawaan karismatis. Bahkan, tidak jarang mereka berperilaku laksana seorang raja: yang memerintah dengan dekrit (rule by decree), minta ditaati tanpa reserve, dan menuntut loyalitas buta dari anak buahnya. Mereka ingin menampilkan dirinya menjadi figur yang memiliki pesona ke-agungbinatara-an yang luar biasa menakjubkan: ucapan-ucapannya menjadi sabda, sabdanya menjadi titah, titahnya menjadi ajaran, perilakunya menjadi idolatry, dan last but not least pidato-pidatonya menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara alias GBHN. Oleh para pengagumnya mereka ingin dianggap dan diperlakukan laksana titisan dewa yang penuh dengan aura karisma.

Ciri-ciri kepemimpinan karismatis

Berkembangnya atau dikembangkannya kembali kepemimpinan karismatis dalam jabatan-jabatan publik tentu amat negatif dan tidak relevan dalam konteks reformasi politik. Pasalnya, ciri-ciri kepemimpinan karismatis, demikian teori Ann Ruth Willner (1984), jika dilihat dari sudut dialektika antara pemimpin-pengikut, memang antidemokrasi.

Yakni: Pertama, adanya keyakinan, sang pemimpin memiliki kualitas istimewa yang superhuman: kedua, para pengikutnya kehilangan kritisisme terhadap pemimpinnya, bahkan cenderung memperlakukan pendapat atau sikap pemimpinnya sebagai suatu kebenaran; ketiga, para pengikut memberikan loyalitas mutlak kepada para pemimpinnya; dan keempat, massa pengikut senantiasa memperlihatkan komitmennya yang emosional dan personal terhadap pemimpinnya.

Persoalan-persoalan politik yang dalam konstitusi sebenarnya jelas (clear) menjadi tidak sederhana (kompleks) jika dihadapkan pada suatu kepemimpinan publik yang memiliki karisma besar di kalangan para pendukungnya. Di hadapan pemimpin dan kelompok dengan corak relasi karismatis seperti ini kritisisme tidak dikenal. Sementara itu, kontrol dan pengawasan yang dilakukan DPR, pers, atau masyarakat akan ditanggapi dengan emosional dan apriori sebagai sengaja hendak menggerogoti kewibawaan sang pemimpin, kalau bukannya malah hendak menjatuhkannya.

Pembelaan terhadap sang pemimpin diekspresikan dalam bentuk-bentuk yang amat primordial dan komunal sebagaimana yang terjadi pada suku-suku primitif, bahkan cenderung lebih buruk lagi karena bercorak fasis, yakni dilakukannya teror, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan tindak kekerasan lainnya yang amat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi modern.

Buku yang ditulis oleh Solahudin Wahid dan kawan-kawan, Amuk Massa Gus Dur: Laporan Kekerasan terhadap Jurnalis dan Media Massa Mei 2000-April 2001, yang diterbitkan AJI Indonesia (2001), rasanya menggambarkan dengan jelas betapa negatif berkembangnya kepemimpinan karismatis itu, apalagi jika diikuti semangat komunal yang fasis.

Dalam konteks dialektika pemimpin-pengikut seperti ini mustahil ada kontrol, apalagi kritisisme. Akibatnya kontrol dan checks and balance tidak bisa berjalan. Padahal, di mana pun dan kapan pun pejabat-pejabat publik harus terus dikontrol dalam rangka akuntabilitas. Ketiadaan kontrol bukan hanya tidak sejalan dengan prinsip akuntabilitas dan keterbukaan, tetapi juga bertentangan dengan hukum besi kekuasaan, power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely sebagaimana kata Lord Action. Kepemimpinan publik, siapa pun dia, harus dikontrol oleh publik, pers, dan lembaga-lembaga kontrol politik lainnya. Sebab, kekuasaan adalah milik publik, dan karena itu harus ada akuntabilitas publik secara transparan.

Dalam perspektif ini maka pemimpin-pemimpin karismatis saat menduduki jabatan-jabatan politik seperti Presiden, Wakil Presiden, ketua partai politik, ketua atau anggota DPR, dan jabatan-jabatan politik lainnya seharusnya menanggalkan karismanya dengan melakukan demistifikasi atas dirinya. Walhasil, kepemimpinan karismatis bukanlah masa depan.

Perlu demokratisasikan diri

Dalam kaitan ini maka partai-partai politik sebagai institusi demokrasi sekaligus tulang punggung atau soko guru kekuatan masyarakat, harus melakukan demokratisasi baik terhadap struktur organisasinya maupun figur kepemimpinannya. Adalah sangat aneh jika partai-partai politik justru mengembangkan kepemimpinan karismatis yang cenderung sentralistis. Sungguh absurd jika partai-partai politik malah suka mendidik pendukungnya untuk tidak toleran terhadap kritik yang ditujukan kepada para pemimpinnya. Apalagi sampai melakukan provokasi dan agitasi untuk menyulut emosi massa pendukungnya dengan memanfaatkan karisma.

Reformasi politik seharusnya menghasilkan kepemimpinan yang demokratis. Dalam kaitan ini partai-partai politik memegang peran penting untuk melakukan fungsi rekrutmen politik berdasar asas prestasi, bukan askripsi. Asas kapabilitas, akseptabilitas, dan kredibilitas harus menjadi kriterium rekrutmen politik. Untuk itu rekrutmen politik harus dilakukan terbuka, bottom up, dan berdasarkan prestasi dengan meninggalkan kepemimpinan feodal, primordial dan komunal, ciri kepemimpinan karismatis itu.

Partai-partai politik harus menyiapkan sistem dan mekanisme rekrutmen kepemimpinan politik baru yang sama sekali berbeda dengan pola rekrutmen politik selama ini. Pola pengangkatan kepemimpinan politik lama yang mengutamakan kewibawaan karismatis berdasarkan genealogi, keyakinan supernatural, dan preferensi arkaik yang semu, diganti pola rekrutmen baru yang lebih transparan, rasional, dengan tolak ukur demokrasi. Kepemimpinan karismatis bukan masa depan.

Munculnya pemimpin-pemimpin karismatis di panggung politik nyatanya kontraproduktif dengan demokratisasi. Benar, kepemimpinan kharismatis an sich tidak ada salahnya selama kepemimpinan itu tetap berpegang pada kaidah manajemen kekuasaan yang modern dan demokratis, yakni kekuasaan harus dikritisi dalam sistem yang memungkinkan berjalannya kontrol dan checks and balance. Tetapi jika karisma itu diikuti sikap-sikap primordial pendukungnya tentu akan menjadi berita buruk bagi keberhasilan transisi menuju demokrasi.

Adalah merupakan anakronisme jika orang menginginkan demokrasi, tetapi pada saat bersamaan mengembangkan struktur partai tradisional yang menggantungkan diri pada figur karismatis secara sentralistis. Bagaimana mungkin menjawab tantangan-tantangan baru menggunakan kebiasaan-kebiasaan lama? Zaman baru dengan tantangan baru memerlukan jawaban-jawaban baru pula.*

Hajriyanto Y Thohari, Wakil Ketua MPR RI (2009-2014), anggota PP Muhammadiyah

Exit mobile version