YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Umat Islam memiliki pandangan dan penghayatan yang sangat beragam terhadap Islam. Dalam pandangan Muhammadiyah, Islam adalah agama yang diturunkan kepada para utusan untuk keselamatan hidup umat manusia di dua dimensi berbeda, dunia dan akhirat. Maka sebagai kader Muhammadiyah atau IPM, dalam memahami Islam harus betul-betul jelas, mendalam, dan tidak parsial.
Sebagai gerakan yang bercorak dakwah dan tajdid, Muhammadiyah tidak pernah membatasi kadernya untuk berprofesi, mengembangkan karir, dan berkiprah dimana saja. Namun dengan catatan, selalu berpegang kepada khittah perjuangan Muhammadiyah, berakhlak mulia, berwawasan luas, serta dapat menghadirkan manfaat kepada sesama.
Ketika menyampaikan amanat dalam Taruna Melati Utama (TMU) PP IPM pada Kamis (19/11) Haedar Nashir, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah berpesan agar kader-kader IPM setelah menempuh pendidikannya di bangku perkuliahan, mempersilahkan para kader IPM untuk bekerja dan berkiprah di mana saja.
“Jadi politisi boleh, tapi jadi politisi IPM yang maju dan punya integritas. Jadi tentara ok, jadi polisi juga boleh. Apalagi kalau mau jadi presiden, wapres, dan mentri,” ujarnya.
Haedar mengatakan bahwa kunci tersebut harus menjadi pembeda antara kader IPM dengan yang lainnya, termasuk kader Muhammadiyah pada umumnya. Sehingga kader Muhammadiyah tidak boleh kuper, tidak boleh memiliki pandangan yang sempit yang nantinya akan diwariskan kepada kader-kader berikutnya.
“Pandangan sempit kader Muhammadiyah harus dihilangkan. Karenanya kader Muhammadiyah dituntut harus punya percaya diri untuk terjun dan berkiprah di mana saja,” ungkapnya.
Kiprah kader Muhammadiyah di luar persyarikatan tidak akan melunturkan muru’ahnya sebagai anak ideologis. Tapi semua harus diniatkan untuk membawa manfaat, hal inilah yang selalu ditekankan oleh KH. Ahmad Dahlan.
Selain itu, serta sebagai kader IPM harus senantiasa memupuk rasa persaudaraan. Perbedaan disetiap kader adalah keniscayaan, namun kader harus senang dan saling mendukung jika kader yang lain maju dan berkembang. Tidak boleh memupuk kecurigaan dan asumsi-asumsi stereotype, stigma. “Jika kita senang saudara kita maju, maka kita juga akan ikut maju,” ucap Haedar.
Kedepan kader Persyarikatan tidak boleh asal-asalan dan pas-pasan, karena zaman sekarang akan berbeda dengan yang akan datang. Sehingga peran kader dalam persyarikatan harus mampu mendinamisasi gerakan, gagasan, dan amalan. (diko)