Berbicara tentang perhelatan olahraga multinasional, pikiran kita biasanya akan langsung tertuju pada Olimpiade, Asian Games, SEA Games atau Piala Dunia. Kesemuanya ini memang ajang kompetisi yang melibatkan berbagai negara, baik di satu kawasan maupun secara global.
Namun mungkin banyak orang lupa bahwa ada satu ajang olahraga multinasional lain yang patut dimasukkan ke dalam daftar, yakni Islamic Solidarity Games (ISG). Ajang ini memang masih baru, namun telah menjadi ajang kompetisi penting para atlet dari berbagai negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Ide di balik pelaksaan sebuah ajang olahraga bagi warga Muslim dunia sudah diputuskan sejak Juni 2001. Dalam sebuah pertemuan di Bamako, Mali, Organisasi Konferensi Islam (OKI) menetapkan untuk menyelenggarakan ISG pada tahun 2005. Negara yang dipilih untuk ISG pertama ini ialah Arab Saudi. Mekkah, Madinah, Jeddah dan Taif menjadi kota tuan rumahnya.
Berlangsung dari tanggal 8-20 April 2005, ISG perdana ini diikuti oleh sekitar 6000 atlet dari 54 negara berpenduduk mayoritas Muslim, termasuk Indonesia. Hanya atlet pria yang berlaga di ajang ini. Sementara itu, atlet non-Muslim diperbolehkan berpartisipasi untuk mewakili negaranya.
Arab Saudi memberi atensi besar pada ISG I ini. Mereka menghabiskan dana 48 juta Rial (setara dengan 13 juta Dolar AS) untuk mempersiapkan fasilitas olahraga ISG I. Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz, dalam pidato pembukaannya pada ISG I, menyebut bahwa tujuan diadakannya ajang ini adalah agar hubungan antara negara-negara Islam semakin kuat. Yang tak kalah pentingnya, tambah sang pangeran, adalah agar negara-negara Islam semakin bangga dengan nilai-nilai Islam yang mereka anut.
Sasaran lain yang hendak dicapai adalah memperbaiki citra Muslim di mata dunia internasional. Empat tahun sebelumnya, serangan teroris menghantam New York, dan kaum Muslim merasa menjadi tertuduh. Via ISG I ini diharapkan agar dunia memahami bahwa kaum muda Muslim sebenarnya memiliki karakteristik yang sama dengan warga dunia lainnya, yakni terbuka, berpandangan progresif, memiliki minat besar aktivitas fisik yang positif, dan menjunjung nilai-nilai sportivitas. Arab Saudi sendiri berhasil menjadi kampiun, sementara Indonesia berada di posisi ke-18.
Walau ISG pada hakikatnya memiliki tujuan mulia untuk memperkuat solidaritas dan persatuan negaranegara Islam, dalam praktiknyan ini tidak selalu bisa diwujudkan. Contoh besarnya langsung tampak pada ISG II yang rencananya akan diselenggarakan di Iran pada tahun 2010. Rivalitas Arab Saudi dan Iran dalam menguasai Timur Tengah tak hanya eksis di dunia politik, tapi juga hadir di lapangan olahraga.
Sebagai tuan rumah, Iran berencana untuk menggunakan istilah “Teluk Persia” di logo dan medali yang mereka buat. Tindakan ini memicu protes Arab Saudi yang lebih suka bila istilah tersebut diganti dengan “Teluk Arab”. Perselisihan ini membawa konsekuensi besar: ISG II diundur bahkan akhirnya dibatalkan.
Tapi itu tidak berarti ajang ini berhenti digelar untuk seterusnya. Indonesia mengambil inisiatif untuk melanjutkan ISG. Mulanya Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, direncakan menjadi tuan rumah ISG III tahun 2013. Tapi pemerintah Indonesia membatalkannya dan memindahkannya ke Palembang. Penyebabnya adalah kasus korupsi dana PON tahun 2012 yang melibatkan gubernur Riau serta venue yang belum kelar.
Walau ada problem soal kota ini, penyelenggaraan ISG III di Palembang dianggap oleh para pengamat sebagai sebuah cerita sukses. Indonesia berhasil menggondol gelar juara umum di ISG III itu, dengan Iran dan Mesir di posisi kedua dan ketiga. Palembang sendiri memperoleh banyak manfaat dari ajang ini.
Friederike Trotier, dalam buku Sport and Body Cultures in East and Southeast Asia, menyebut bahwa dengan pelaksanaan ISG III, Palembang berhasil mempromosikan dirinya tak hanya ke negara negara tetangga saja, tapi bahkan hingga ke seluruh dunia. Yang tak kalah krusialnya ialah bagaimana Palembang via ISG III mampu memperlihatkan nilainilai Islam yang melekat pada kota itu, yakni Islam yang modern, kompetitif, dan berwawasan mondial.
Dalam pidato pembukaannya kala itu, Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo menyebut bahwa ISG setidaknya memiliki dua sasaran, yakni menjadi wahana guna memperkuat solidaritas negara-negara Islam serta ajang untuk meningkatkan prestasi olahraga para pesertanya. Dengan perhelatan ini, diharapkan prestasi negara-negara Muslim di bidang olahraga di level dunia akan semakin baik. Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono, yang juga memberikan sambutannya, menambahkan catatan lain dengan meminta agar beban dan perbedaan politik dilepaskan di ajang ISG.
Empat tahun setelah itu, giliran Kota Baku, Azerbaijan, menjadi tuan rumah ISG IV. Sebagai sebuah negara yang relatif muda (menyatakan kemerdekaannya tahun 1991 seiring dengan jatuhnya Uni Soviet yang sebelumnya menguasai negara ini), Azerbaijan tengah dalam misi untuk menunjukkan wajah Islam khas mereka ke seluruh dunia. Upacara pembukaan ISG IV diisi oleh berbagai atraksi yang terinspirasi dari budaya asli Azerbaijan serta dari dunia Islam pada umumnya.
Azerbaijan berkeyakinan bahwa walaupun masih muda, mereka adalah negara Islam yang kuat, maju, dan terbuka di tengah Benua Eropa. Kota Baku, yang sebelumnya relatif kurang dikenal di luar Eropa Timur dan Asia Barat, kini setara dengan kota-kota besar dunia yang pernah menyelenggarakan ajang olahraga multinasional. Azerbaijan sendiri keluar sebagai juara umum, diikuti oleh Turki dan Iran, sementara Indonesia, yang pada 2013 menjadi juara umum, turun ke peringkat delapan.
ISG V rencananya akan diadakan di Turki pada tahun 2021. Sebagai calon tuan rumah, Turki tengah mempersiapkan berbagai fasilitas olahraga untuk ajang ini. Menteri Olahraga Turki, Osman Askin, dalam sebuah kesempatan menyebut bahwa via ISG V, Turki berkeinginan untuk menyuarakan pada dunia “solidaritas dalam Islam melalui olahraga”. Yang juga menarik, muncul usulan untuk menjadikan ibukota Turki, Istanbul, sebagai “Ibukota Olahraga Negara-Negara Islam” pada tahun 2021 itu.
Azhar Rasyid, Penilik Sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 15 Tahun 2018