Efek Berantai Berburuk Sangka

Oleh Bahrus Surur-Iyunk

Bagi Anda yang setiap subuh berangkat ke masjid mungkin sering bertemu dengan orang-orang yang berangkat ke pasar. Mereka tampak sangat tergesa-gesa, karena harus mengejar pasaran. Kita yang berangkat ke masjid dengan santai sering disalip (didahului). Seakan-akan wa sari’uw ila maghfiratin min Rabbikum (bersegeralah kalian untuk menjemput ampunan dari Tuhanmu) itu kalah cepat dengan perebutan pasaran.

Bukan hanya itu, setan yang selalu membuntuti manusia itu tidak henti-hentinya membisikkan ke telinga Anda, “Hebat ya kamu ini. Mereka mencari dunia sementara kamu istiqamah mencari ampunan Allah.” Atau, “Bisa jadi mereka yang berangkat pagi-pagi ke pasar itu belum shalat lho! Sementara kamu lebih mendahulukan perintah Allah.” Bisa jadi bisikan itu juga berbunyi, “Mereka itu tergesa-gesanya hanya untuk urusan dagangan, sementara kamu tergesa-gesanya ke rumah Allah.” Berawal dari bisikan yang ada dalam diri kita dan tiupan setan inilah berburuk sangka sesame manusia itu muncul.

Berburuk sangka sesame manusia pada gilirannya melahirkan kesombongan dalam diri seseorang. ia berburuk sangka karena ia “merasa lebih baik” dari orang lain. Orang lain disangka tidak shalat, karena ia merasa bahwa hanya dirinya yang rajin dan lebih disiplin menjalankan shalat. Seseorang menyangka saudaranya tidak mau bersedekah dan kalaupun bersedekah paling hanya karena ada maunya. Ia merasa bahwa hanya dirinya yang berinfak dan bersedekah dengan ikhlas.

Berburuk sangka juga melahirkan sikap dan sifat merasa benar sendiri. Karena orang lain sudah dianggap lebih buruk daripada dirinya, maka kecenderungan yang muncul kemudian adalah ia akan mencari-cari kejelekan dan kekurangan yang lain. Orang yang awalnya hanya masalah mendahulukan shalat dan berdagang kemudian berkembang ke masalah lain, seperti kurang iman, tidak memperhatikan akhirat, dan seterusnya.

Di lain hari, ketika bertemu dengan teman-temannya, ia bicarakan kejelekan dan kekurangan orang lain itu. Di sinilah menggunjing (ghibah) itu dimulai. Asyik dan tidak terasa jika dirinya sedang menggunjing kejelekan orang lain, karena setan selalu mengipasi dan menghiasi dengan “bunga-bunga” nafsu. Mengingat begitu jahatnya berburuk sangka hingga Allah mengingatkannya dengan keras dalam QS. Al-Hujurat: 12,

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ – ١٢

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”

Dalam ayat ini, awalnya hanya melarang berburuk sangka kepada sesama. Tetapi, pada gilirannya juga mengingatkan “jangan mencari keburukan orang lain”, dan “jangan menggunjing keburukannya itu dengan orang lain”. Begitulah, berprasangka buruk selalu menyertakan perilaku-perilaku buruk yang lain. Sebaliknya, berbaik sangka juga akan menghadirkan kebaikan-kebaikan yang lain dan, tentu saja, menenangkan hati seseorang. Semoga Allah menjaga hati, pikiran dan lisan kita. Amin. Wallahu a’lamu.

Bahrus Surur-Iyunk, Dosen STIT Pondok Modern Muhamamdiyah Paciran Lamongan Jatim.

Exit mobile version