Empat Harapan Haedar Nashir kepada Pengurus Baru MUI

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr KH Haedar Nashir, MSi menyampaikan selamat atas kepengurusan MUI hasil Munas 2020. Semoga MUI dapat menjalankan amanat dengan baik disertai uswah hasanah meneladani Nabi akhir zaman.

MUI harus menjadi penjaga akhlak dan nilai-nilai luhur Islam yang wasathiyah dan menebar rahmatan lil-‘alamin sebagaimana selama ini menjadi tag-line MUI, yang meniscayakan bagaimana mempraktikannya di dunia nyata.

Jabatan di MUI amanat sangat berat karena itu posisi keumatan yang membawa mandat kerisalahan Nabi. Posisi di MUI kalau dikejar akan melilit siempunya menjadi beban sangat berat, yang pertanggungjawabannya bukan hanya kepada umat tetapi kepada Allah Yang Maha Penghisab.

Sungguh sangat berat posisi jabatan di MUI dan ormas keagamaan, bila tidak ditunaikan akan menjadi musibah bagi yang mendudukinya karena membawa nama Islam dan Ulama.

Jika MUI menjadi pembawa misi Islam, maka bagaimana keislaman itu dipraktikkan di tubuh MUI dan di lingkungan umat Islam secara nyata, bukan sekadar norma ajaran.

Apalagi dengan membawa nama Ulama. Ulama itu bukan simbol dan jabatan tetapi amanah keilmuan, uswah hasanah, dan peran sebagai warasatul anbiya. Nabi itu uswah hasanah dari A sampai Z, tentu harus menjadi rujukan utama perilaku siapapun yang mengaku ulama.

Jangan sampai ulama menyalahi uswah hasanah Nabi. Sungguh berat menjadi pewaris Nabi, yang harus disandang dengan pertanggungjawaban dunia dan akhirat.

Karenanya, pengurus MUI yang baru dituntut kiprahnya sebagai suluh kebenaran dan kebaikan dalam berbagai hal penting, antara lain sebagai berikut.

Pertama, membawa misi kebenaran berdasarkan Agama Islam dalam berbagai pemikiran dan tindakan. Suarakan kebenaran secara bayani, burhani, dan irfani yang mendalam dan melintasi layaknya ar-Rasihuna fil-‘llmi.

Insya Allah ulama MUI menjadi pemandu kebenaran, serta tidak menyalahi kebenaran Islami demi hal-hal pragmatis. Kebenaran bukan hanya disuarakan, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan nyata dalam tindakan jujur, amanah, adil, dan baik.

Sebaliknya tidak dusta, hianat, zalim, dan buruk perangai seperti gemar mengejar jabatan yang tidak ditunaikan dengan terpercaya.

Kedua, membimbing umat dengan ilmu dan uswah hasanah ke arah keadaban atau al-akhlaq al-karimah. Agar umat halus budi, baik tutur kata, mulia tindakannya sesuai ajaran Islam tentang menyempurnakan akhlak mulia.

Ulama juga membimbing dan memberi teladan agar umat tidak buruk kata dan perbuatan, intoleran, membikin onar dan kegaduhan, serta perilaku tidak terpuji lainnya. Perilaku uswah hasanah tidak mudah, karena beragama kebih berat pada formalisme dan simbolisme.

Ketiga, membimbing umat dan warga bangsa agar beragama yang wasathiyah dan rahmatan lil-‘alamin sebagaimana menjadi tema utama MUI. Ajari dan beri contoh umat agar beragama yang tengahan, damai, tasamuh, dan inklusif dengan tetap memegang prinsip.

Agar umat tidak ekstrem, intoleran, ekslusif, dan egois dalam beragama. Agama juga harus terwujud dalam perilaku nyata yang utama, bukan hanya kekayaan dalil dan retorika.

Keempat, mendidik umat dan warga bangsa selain taat beragama juga berperan dalam berbangsa dan bernegara secara benar dan baik. Membela NKRI dan persatuan nasional, serta menjauhi sikap melawan hukum dan dasar falsafah negara yang sah.

Sekaligus memandu warga jangan hedonis dan pragmatis dalam berbangsa dan bernegara seperti korupsi, merusak alam, mementingkan diri sendiri, dan menghalalkan segala cara.

Karenanya para ulama MUI juga niscaya memberi teladan dengan menjauhkan diri dari partisan politik serta mencampuradukkan MUI dengan kepentingan politik.

Berilah umat dan bangsa uswah hasanah yang nyata dan konsisten. Ulama MUI dituntut keteladanannya, ketika saat ini ada kecenderungan peluruhan antara kata dan tindakan dalam beragama.

Perilaku inkonsisten itu dibenci Allah dalam Al-Quran: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS As-Shaff: 2-3).

Exit mobile version