Memahami Karakter Muhammadiyah
Prof Dr H Haedar Nashir, MSi
Belakangan ini terdapat kecenderungan sebagian di lingkungan umat Islam yang menunjukkan sedikit berbeda dalam sikap keagamaan maupun pergerakan Islam. Mereka yang bercadar dan berbagai pakaian ala Arab yang di masa lalu kurang atau malah sulit terlihat di ruang publik, kini makin merebak, meski tampak sedikit-sedikit namun mulai meluas atau menyebar ke berbagai kalangan umat Islam. Termasuk mulai ada di Muhammadiyah.
Demikian pula dengan kecenderungan sikap keagamaan dan sikap sosial kemasyarakatannya yang cenderung tertutup atau eksklusif, menyoroti pihak lain sebagai serba salah atau tidak Islami, sikap konfrontasi dalam banyak hal, lebih banyak anti-ini dan anti-itu, serta pola tindak yang menunjukkan diri berbeda dari kebanyakan. Kalau berada dalam jamaah atau kegiatan keumatan mudah sekali memekikkan “takbir” meski kadang bukan pada proporsinya, yang ingin menunjukkan militansi. Takbir itu kalimat agung, tetapi ada hakikat dan proporsinya, tidak sembarangan.
Sejauh yang menyangkut paham agama dan ukhuwah tentu tidak ada yang salah dan hal itu dapat disikapi secara tasamuh atau toleransi. Tetapi bagi anggota Muhammadiyah tentu perlu lebih mendalam untuk dihayati, dipahami, dan dijadikan rujukan utama tentang karakter keislaman dan gerakan Muhammadiyah. Hal-hal furu’iyah tentu perlu saling hormat dan menghargai. Namun bagi anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah di mana pun berada mestinya menjadikan paham Islam dan prinsip-prinsip gerakan Muhammadiyah menjadi rujukan utama dalam berpikir dan berpola-tindak baik dalam keagamaan maupun orientasi gerakan.
Karakter Islam
Muhammadiyah itu gerakan Islam, maka Islam harus menjadi landasan nilai, jiwa, pemikiran, dan cita-cita gerakan. Watak pergerakan Muhammadiyah menyatu dan melekat dengan Islam. Karenanya segala hal selalu dipertimbangkan berdasarkan prinsip dan pedoman ajaran Islam secara seksama. Ajaran Islam yang menjadi aspek hidup utama menyangkut aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah dunyawiyah dipahami dan diamalkan berdasarkan pada ajaran Al-Quran dan Sunnah Nabi yang maqbulah, serta dengan akal pikiran atau ijtihad sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
Dalam memahami dan mengamalkan Islam pun ditempuh secara luas dan mendalam dengan menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Lebih dari itu Islam yang dipahami dan diamalkan Muhammadiyah haruslah Islam yang menggerakkan karena Muhammadiyah itu gerakan Islam. Islam yang menggerakkan ialah Islam yang membawa perubahan, dinamis, progresif, dan penuh dengan daya hidup. Bukan Islam yang parsial, kolot, dan antikehidupan.
Islam yang menggerakkan ialah Islam berkemajuan. Islam berkemajuan selalu mengajari umatnya untuk selalu berjiwa, berpikir, dan bertindak yang membawa kemajuan di segala bidang kehidupan. Islam yang cerdas, beradab, dan membangun peradaban. Islam yang melahirkan pemikiran dan kerjakerja produktif. Islam yang memajukan kehidupan laki-laki dan perempuan tanpa diskriminasi. Islam yang rahmatan lil’alamin. Bukan Islam yang pasif, jumud, kolot, dan antikemajuan. Bukan pula Islam yang banyak retorika minus kerja dan perbuatan berkemajuan menuju kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Karakter Dakwah
Muhammadiyah bukan organiasi atau pergerakan biasa, tetapi pergerakan dakwah. Artinya, segala gerakannya selalu dakwah-minded, yakni berjiwa, berpikiran, dan bertindak dakwah. Muhammadiyah selalu mengajak orang kepada jalan Allah, mengajak pada ajaran Islam, menyuruh pada hal-hal ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar. Dalam bahasa populer Muhammadiyah gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Dalam berdakwah diperlukan cara yang diajarkan Islam, yaitu bil-hikmah, wal mauidhatul hasanah, wa jadilhum billaty hiya ahsan. Bukan main hantam dan aksi jalanan.
Karakter dakwah yang melekat dalam Muhammadiyah menjadikan dirinya memandang segala persoalan dari sudut dakwah, yakni mengubah keadaan menjadi lebih baik sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Dalam menghadapi persoalan keumatan dan kebangsaan pun Muhammadiyah meletakkannya dalam konteks dakwah, yang bersifat mengajak, menyeru, dan mengubah ke arah yang lebih baik. Berbeda dengan pendekatan politik ala partai politik, yang melihat persoalan dari kepentingan kekuasaan, ada yang loyalis ada pula yang oposisi. Muhammadiyah berkomunikasi dengan siapapun untuk kepentingan dakwah dengan memilah mana yang prinsip dan mana yang bersifat taktis-strategis.
Karakter Tajdid
Muhammadiyah itu organisasi atau gerakan Islam yang berwatak tajdid atau pembaruan. Jiwa, pikiran, dan tindakannya selalu bersifat pembaruan yang membawa pada perubahan ke arah kemajuan yang berkeunggulan. Dalam hal tajdid ada yang bersifat pemurnian (tandhif, tajrid) dan ada yang bersifat pengembangan atau dinamisasi (ishlah) sesuai dengan bidang dan sasarannya. Karenanya Muhammadiyah tidak berpaham konservatif, kolot, jumud, dan kembali ke masa lampau (salaf) secara parsial dan berkemunduran ala hidup zaman batu.
Jika dalam aqidah dan ibadah berlaku pemurnian, maka dalam pemurnian bukan hanya verbal rukun tetapi juga substansi, esensi, makna, kekhusyukan, dan tahsinah atau kebaikannya atau kemaslahatannya. Pemurnian pun luas dan mendalam, bukan sekadar formalitas. Pemurnian akidah disertai pemahaman akan prinsip iman dan tauhid serta dikaitkan dengan amal shaleh, bukan sekadar kulit luarnya. Dalam beribadah mengikuti tuntunan Rasulullah, baik rukun maupun khusyuk dan makna serta fungsi ibadah itu bagi kehidupan.
Dalam berakhlak mengikuti akhlak Nabi dengan uswah hasanah, sehingga melahirkan keadaban dan peradaban, bukan sekadar keshalehan individual tetapi sekaligus keshalehan sosial. Dalam hal mua’malah dunyawiyah berlaku prinsip ibahah (kebolehan) dan dinamisasi (pengembangan) sehingga luas dan fleksibel untuk mengurus kehidupan dunia sesuai dengan prinsip Islam. Dalam mu’amalah luas sekali ranah pembaruan yang harus dilakukan, sehingga harus menciptakan berbagai keunggulan di segala bidang kehidupan.
Karakter Wasithiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan keislaman dan kemasyarakatan memiliki sifat tengahan (wasithiyah), sehingga tidak tampak ekstrem dan radikal dalam makna cenderung serbakeras dan serba-apriori. Sifat tengahan itu kuat dalam prinsip tetapi luwes dalam cara. Hal prinsip pun benar-benar yang bersifat prinsip, sehingga tidak semua hal dijadikan prinsip manakala hal itu menyangkut furu’ atau cabang dan ranting dari persoalan.
Sikap tawasuth (tengahan) atau tawazun (kesetimbangan) benar-benar menjadi watak Muhammadiyah. Islam dipandang dari sudut aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalah secara komprehensif sehingga semua aspek itu Islami. Berbicara tentang Islami bukan hanya dalam urusan aqidah saja, ibadah saja, akhlak saja, tetapi juga mu’amalah secara saling terkait satu sama lain dalam relasi habluminallah dan habluminannas. Tengahan dan setimbang dalam mengaitkan iman, ilmu, dan amal sehingga Islam itu luas dan tidak parsial, sekaligus membumi.
Kadang ada anggapan sempit yang disebut Islami itu jika berpakaian tertentu atau beratribut tertentu. Jangan anggap berislam itu terbatas pada urusan pakaian, tatacara makan, dan fisik saja. Tetapi Islam harus meluas menjadi urusan dunia yang multiaspek, termasuk membangun peradaban ilmu dan kemajuan di segala bidang kehidupan. Di sinilah sifat tengahan Muhammadiyah yang memposisikan dan memfungsikan Islam secara seimbang dalam berbagai aspek kehidupan.
Sikap tengahan juga tercermin dalam cara berdakwah, antara amar ma’ruf dan nahi munkar haruslah seimbang sesuai dengan sasaran, aspek, cakupan, kepentingan, serta misinya. Dalam bersikap pun warga Muhammadiyah harus memiliki sifat tengahan sebagaimana tercermin dalam Sepuluh Sifat Muhammadiyah dalam Kepribadian Muhammadiyah. Sifat tengahan jangan diartikan lembek, membebek, dan lemah. Sebab yang tampak garang, keras, dan kencang pun tidak selalu identik dengan kokoh dalam prinsip dan lurus.
Nonpolitik Praktis
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam sejak awal memilih lapangan dan strategi perjuangan non-politik praktis, artinya tidak bergerak dalam perjuangan memperebutkan dan menduduki kekuasaan di pemerintahan sebagaimana yang dilakukan partai politik seperti halnya Serikat Islam, Masyumi, dan partai-partai Islam lainnya di masa lalu maupun saat ini. Muhammadiyah lebih memilih jalur dakwah kemasyarakatan melalui berbagai amal usaha dan langkah-langkah dakwah pembinaan masyarakat sebagaimana Khittah Muhammadiyah yang masih berlaku sampai saat ini dan bahkan dikukuhkan dalam Muktamar di Makassar tahun 2015.
Apakah Muhammadiyah apolitik dan tidak memandang penting politik kekuasaan di pemerintahan? Sama sekali tidak. Muhammadiyah memandang politik kekuasaan penting dan strategis, tetapi perjuangan secara langsung harus dilakukan melalui partai politik. Kalau di masa lalu Muhammadiyah sempat mendirikan parpol Islam, hal itu menunjukkan sikap positif Muhammadiyah. Tetapi karena Muhammadiyah bukan parpol, maka selayaknya perjuangan politik-praktis itu dilakukan oleh parpol, bukan oleh Muhammadiyah.
Kini kepada para kader Muhammadiyah didorong untuk ada yang aktif di partai politik dan berkiprah melalui parpol untuk perjuangan kekuasaan. Muhammadiyah perlu melakukan pendidikan politik sekaligus membuka ruang bagi kader-kader politik untuk berkiprah di jalur perjuangan kekuasaan. Pada saat yang sama Muhammadiyah dapat melakukan fungsifungsi kelompok kepentingan melalui lobi, komunikasi, dan fungsi politik moral-kebangsaan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintahan sebagaimana tuntunan Khittah Denpasar.
Dua jalur ormas dan parpol itu akan bertemu, tetapi jangan dicampur aduk. Muhammadiyah pernah memiliki pengalaman di partai politik, maka jangan dicoba-coba lagi apapun namanya untuk melibatkan Muhammadiyah dalam pertarungan politik kekuasaan layaknya parpol. Jika ingin berjuang di amal usaha politik praktis maka jalurnya melalui partai politik. Sedangkan usaha-usaha lain di luar fungsi parpol dapat diperankan Munammadiyah secara elegan sesuai dengan Kepribadian dan Khittah Muhammadiyah. Di sinilah pentingnya kecermatan, keluwesan, kepiawaian, dan kegigihan para pimpinan Muhammadiyah untuk menjalankan politik kebangsaan yang canggih dan seksama untuk kemaslahatan persyarikatan, umat, dan bangsa.
Sumber: Majalah SM Edisi 1 Tahun 2018