Sudahkah Muhammadiyah mengambil manfaat maksimal dari wakaf? “Kita sering bilang, mubazir itu temannya setan, tapi kita lupa dan sering seperti itu,” tukas Ahmad Syafii Maarif dalam sebuah diskusi terbatas tentang wakaf bersama MWK PWM DIY di Grha Suara Muhammadiyah. Buya Syafii menggambarkan tentang banyak harta wakaf Muhammadiyah yang justru terbilang wukuf (diam atau berhenti), dan bahkan ada yang terbengkalai dan akhirnya beralih tangan. Wakaf yang tidak diambil manfaat adalah laku mubazir.
Himpunan Putusan Tarjih (2014) Kitab Waqaf secara keras memperingatkan, “Kalau engkau menerima uang untuk waqaf atau mendapati waqaf yang tidak tertentu, atau yang berwaqaf (waqif-nya) tidak menentukan, hendaklah engkau pergunakan sebagai amal jariyah yang sebaik-baiknya, jangan sampai harta benda waqaf itu tertimbun menjadi kanaz (timbunan) yang terkutuk. Kalau perlu, perongkosan dalam mengurus dan menjaga barang-barang waqaf itu dapat diambilkan dari hasil yang didapat dari wakaf itu, atau diikhtiarkan sumber bantuan lainnya,” (Putusan Muktamar Khususi Tarjih ke-32 di Purwokerto tahun 1953).
Disertasi Rektor Universitas Muhammadiyah Aceh Muharrir Asy’ari tentang problematika tata kelola wakaf Muhammadiyah Aceh, menemukan banyak tanah wakaf tidak produktif di bawah pengelolaan Muhammadiyah Aceh, mencapai 566.375 meter persegi. Terdapat juga 275.824 meter tanah non-wakaf yang belum termanfaatkan. Dari keseluruhan 1.733.050 meter persegi, terdapat 32,68 % tanah wakaf tidak produktif. Dari jumlah tersebut, tanah wakaf tak bersertifikat di bawah pengelolaan Muhammadiyah Aceh mencapai 111 bidang tanah (50,22%), belum lagi jika ditambah dengan status bukti tanah yang belum jelas atau belum ada data yang valid, mencapai 15 bidang (6,78%).
Dalam sistem tradisional, wakaf sering hanya diperuntukkan bagi pembangunan fisik rumah ibadah, sekolah, pesantren, panti asuhan, dan kuburan. Jika wakaf hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, wakaf tidak bisa memberi dampak yang luas bagi kehidupan sosial kemasyarakatan. Padahal, wakaf harusnya digunakan untuk pemberdayaan, filantropi, dan berbagai kebutuhan lainnya, berbasis pada data dan pemetaan potensi secara jeli.
Pengelolaan aset wakaf secara profesional di Muhammadiyah semisal untuk gedung pertemuan, klinik kesehatan, unit pertanian dan perkebunan. “Tata kelola harta wakaf yang telah lebih profesional tampak pada pengelolaan lembaga keuangan simpan pinjam dalam bentuk Bait al-Qirad (Bait al-Mal wa al-Tamwil) yaitu pengelolaan keuangan masyarakat, pengembangan serta pengelolaan perguruan tinggi, dan usaha pertokoan,” tutur Muharrir.
Paradigma Baru Wakaf
Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Mohammad Mas’udi, dalam Pengajian Tarjih ke-52 di Masjid Kauman Yogyakarta, menyatakan perlunya paradigma baru wakaf. Alasannya, (1) peran wakaf dalam peningkatan kesejahteraan umat belum optimal; (2) pemahaman masyarakat tentang wakaf kontemporer belum memadai; (3) banyak nazir tidak mengerti konsep wakaf produktif, kemitraan wakaf, wakaf uang, dan lainnya; (4) wakaf perlu diintegrasikan dalam sistem ekonomi nasional.
Ma’udi menyebut paradigma baru wakaf dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan UU tersebut. Dalam regulasi ini, cara mengekalkan uang sebagai benda wakaf adalah melalui lembaga keuangan syariah untuk dikelola dengan prinsip mudharabah. Bank syariah sebagai mudharib dan nazir sebagai shahibul mal. Pengawasan wakaf melibatkan akuntan publik.
“Dalam paradigma baru wakaf, pertama, harta wakaf yang berupa tanah dan uang, bisa diwujudkan menjadi rumah sakit, rumah susun, gedung perkantoran, pusat perniagaan, tidak hanya untuk masjid, kuburan, dan sekolah. Kedua, keuntungan dari pengelolaannya bisa disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian beasiswa, pembangunan jalan, program pengentasan kemiskinan, dan lainnya,” urai Mas’udi. Wakaf bisa untuk aktivitas ibadah, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan kesejahteraan umum lainnya.
UU No. 41 Tahun 2004 juga tidak menyatakan ketentuan wakif dan penerima manfaat wakaf harus beragama Islam. Pasal 8 mencantumkan empat persyaratan: dewasa, berakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta benda wakaf. Sedangkan bagi wakif organisasi dan badan hukum, harus memenuhi ketentuan anggaran dasar organisasi atau badan hukum bersangkutan. Semisal, kepemilikan seluruh aset dan harta wakaf Muhammadiyah harus atas nama Persyarikatan Muhammadiyah, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK 14/DDA/1972.
Muharrir menemukan beberapa persoalan mendasar dalam pengelolaan wakaf. Pengelola wakaf sering tidak mendapat jerih imbalan, berimbas pada minimnya semangat dan daya kreativitas nazir, ditambah dengan minimnya pengetahuan nazir tentang wakaf. Tingkat pengetahuan berpengaruh pada rendahnya kesadaran mengurus dokumen wakaf. Ditambah dengan kenyataan proses pembuatan sertifikat yang memakan waktu dan biaya. “APAIW (Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf) sering hilang atau keberadaannya tidak jelas di Kantor Urusan Agama (KUA) sehingga sengketa wakaf menjadi lebih rumit.”
Persoalan lain, ada tanah wakaf yang diberikan wakif dengan ikrar wakaf yang tidak diketahui secara transparan oleh ahli waris. Setelah wakif meninggal sementara dia belum menyerahkan dokumen dan sertifikat yang menjadi pegangan nazir dan atau organisasi penerima amanah harta wakaf tersebut, wakaf beralih kembali ke pihak waris. Ada juga permasalahan terkait tanah yang telah berisi bangunan dan semula dipinjamkan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat atau pemerintah. Namun seiring waktu, tanah wakaf Muhammadiyah itu justru beralih menjadi milik desa atau pemerintah.
Ketua Badan Wakaf Indonesia Muhammad Nuh menyebut bahwa nazir bertanggung jawab supaya wakaf bernilai tambah. “Nilai tambah ini yang bisa didistribusikan untuk penerima manfaat (mauquf alaih). Prinsip wakaf adalah aset wakaf tidak boleh habis. Dengan begitu, pola pikirnya adalah investasi.” BWI mendorong tumbuhnya wakif lintas profesi, dan jenis wakaf yang bervariasi (wakaf: tanah, uang, saham). Perguruan Tinggi diharapkan ikut melahirkan pengusaha yang mampu mengelola dana wakaf.
Nazir harus kreatif mengupayakan nilai tambah wakaf guna menyelesaikan masalah kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan. Mengelola wakaf bukan perkara ringan, dibutuhkan keseriusan, daya kreasi, dan sinergi segenap pemangku kebijakan. Wakaf misalnya diarahkan untuk bersinergi dengan perguruan tinggi dalam menyediakan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan sesuai rumusan SDGs. Jika pahala wakaf terus mengalir kepada wakif, limpahannya insyaallah juga mengalir kepada nazir. (ribas)
Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2019