Memproduktifkan Wakaf

Memproduktifkan Wakaf

Memproduktifkan Wakaf Foto Dok MUIS

Pernahkan pembaca mendengar keberadaan hotel bertaraf internasional milik salah satu sahabat Nabi saw, Usman bin Affan? Bukankah Usman hidup antara tahun 557 M hingga tahun 656 M, itu berarti sahabat Nabi ini hidup sekitar 1400 tahun yang lalu. Tapi kenapa sampai hari ini masih ada aset atas nama Usman bin Affan? Itulah hebatnya sentuhan wakaf, salah satu amalan sosial yang dituntunkan Islam kepada pemeluknya. Tentu dengan catatan wakaf tersebut dikelola dengan baik dan optimal.

Mulanya, aset atas nama Usman ini hanya berupa sumur yang ia wakafkan untuk memenuhi kebutuhan air bersih kaum muslimin yang hijrah ke Madinah. Saat itu Usman membeli sumur dengan harga 20 ribu dirham. Sumur tersebut kemudian dikelola hingga kemudian aset wakaf Usman bekembang dengan bertambahnya perkebunan kurma. Hasil dari panen kurma ini setengahnya disumbangkan kepada keluarga kurang mampu, sedang setengahnya lagi disimpan di bank. Oleh pemerintah Arab Saudi, perkebunan kurma Usman ditugaskan kepada kementerian pertanian dan rekening di bank atas nama Usman dikelola kementerian wakaf.

Dari pengelolaan rekening Usman itulah kemudian lahir hotel Usman bin Affan buah kerjasama antara kementerian wakaf Arab Saudi dengan Sheraton. Hotel bertaraf internasional ini memiliki 15 lantai, di setiap lantai ada 24 kamar, dan dilengkapi dengan restoran besar serta pusat perbelanjaan.

Wakaf Produktif

Kisah wakaf produktif lain adalah wakaf yang dilakukan oleh salah satu ulama Aceh, Habib Abdurrahman bin alwi al-Habsyi yang lebih dikenal dengan nama Habib Bugak. Karena lama tinggal di Makkah, sang ulama ini kemudian membeli rumah yang letaknya antara bukit Marwah dan Masjid al-Haram. Rumah tersebut kemudian diwakafkan untuk digunakan oleh orang Aceh saat menunaikan ibadah haji.

Adanya perluasan Masjid al-Haram, rumah wakaf ini kemudian digusur. Oleh Baitul Asyi (pengelola wakaf) dana kopensasi dari penggusuran rumah kemudian dijadikan wakaf produktif, yang perkembanganya sekarang telah menjadi lima hotel. Dua di antaranya berada di ring satu Majid al-Haram, satu di kawasan Syaukiah, dan dua hotel lainnya berada di kawasan Azizah.

Keuntungan dari pengelolaan hotel inilah, yang kemudian salah satunya dibagikan dalam bentuk uang kepada setiap individu jamaah haji dari Aceh. Pada ibadah haji tahun 2019 ini, setidaknya ada 4688 orang dari embarkasi Aceh. Masing-masing orang menerima uang tunai sebesar 12 ribu riyal atau sekitar Rp 5 juta. Jadi Baitul Asyi, dari pengelolaan wakaf produktif atas nama Habib Bugak, total membagikan uang tunai kepada jamaah haji dari Aceh sebesar 6 juta riyal atau setera Rp 21 milyar.

MUIS (Ma­jelis Ugama Islam Singapura) juga bisa dijadikan kiblat pengelolaan wakaf produktif. Ada beberapa inovasi yang dilakukan oleh MUIS dalam pengembangan aset wakaf. Paling utama adalah dengan mendirikan unit usaha bernama Wakaf Real Estate Singapura (WAREES) atau yang lebih dikenal dengan Waress Investment Pte Ltd. Tujuanya didirikanya unit bisnis ini hanyalah satu, yaitu mewujudkan profesionalisme dalam pengelolaan wakaf.

Berikutnya, karena Land Acquisition Act di Singapura memberikan wewenang kepada pemerintah setempat untuk menyita aset-aset wakaf yang tidak produktif, MUIS meresponya dengan mengeluarkan fatwa tentang Istibdal Wakaf (mengganti aset wakaf). Ada dua cara dalam istibdal wakaf, yaitu memperbarui atau merelokasi. Memperbarui atau merenovasi adalah menjadikan property lama menjadi property baru. Sedang merelokasi ialah dengan menjual aset lama yang dipandang kurang produktif dan prospektif. Yang hasil dari penjualan itu nantinya dibelikan aset wakaf baru yang dipandang lebih memiliki daya ekonomi.

Termasuk inovasi MUIS adalah memberlakukan wakaf tunai atau yang sering mereka sebut dengan wakaf ilmu. Sebab pemanfaatan wakaf tunai ini lebih banyak diperentukan bagi kelangsungan lembaga pendidikan Islam di Singapura. Bagi MUIS wakaf tunai ini menjadi salah satu solusi atas berkurangnya wakaf tanah sejak 1970-an. Sekaligus merubah mindset lama bahwa wakaf tidak selalu identik dengan tanah. Terakhir, dengan selalu merespon perkembangan zaman, pengelolaan wakaf oleh MUIS sangatlah kekinian, berbasis IT. Contoh paling terlihat ialah pada pelaksanaan wakaf tunai rutin lewat pemotongan gaji.

Beberapa inovasi tersebut membuahkan hasil yang sangat signifikan bagi perkembangan aset wakaf di Singapura. Misal, dari 409 juta dollar AS tahun 2008 aset wakaf yang dikelola MUIS meningkat menjadi 707 juta dollar AS di 2016.

Peran Muhammadiyah

Melihat perkembangan wakaf yang juga memiliki multipiler effect pada sektor ekonomi sebuah negara, Yuli Utama anggota Majelis Wakaf dan Kehartabendaan (WMK) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) DIY mengatakatan, sejak 2016 pembahasan wakaf menjadi sangat hangat di Indonesia. Termasuk katanya, sekarang kementerian keungan (Kemenkeu) sudah memutuskan wakaf sebagai salah satu cara untuk menghidupkan negara. Tapi di sisi lain ia juga mengaku heran, kenapa Muhammadiyah sebagai pengelola wakaf terbesar di Indonesia terlihat diam dalam hal ini.

Sebagai contoh, Suryani yang juga anggota MWK PWM DIY menyebutkan, hampir 15 persen tanah di kota Yogyakarta adalah milik Muhammadiyah, tanah yang diwakafkan ke Muhammadiyah. Tapi belum semuanya dimanfaatkan, sebab dari Ranting, Cabang, sampai Daerah sulit untuk koordinasi. Masing-masing merasa lebih berhak untuk mengelola tanah wakaf tersebut. Akibatnya justru banyak tanah wakaf ini terbengkelai. Di berbagai Daerah atau bahkan Wilayah lainnya permasalahan serupa juga kerap mewarnai pengelolaan wakaf oleh Muhammadiyah.

Mengapa demikian? Menurut Ketua MWK PWM DIY Jarot Wahyudi, keadaan ini dikarenakan adanya beberapa faktor. Pertama, kualitas nadzir atau pengelola wakaf di Muhammadiyah yang belum profesional. Maka ia pun mengusulkan, agar salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah mendirikan pusat studi wakaf berskala nasional sekaligus sebagai wadah edukasi bagi masyarakat. Kedua, belum atau tidak adanya sistem yang baku sebagai pusat pengelolaan wakaf Muhammadiyah. Karenanya kemudian, MWK PWM DIY membuat SIMAM (Sistem Informasi Manajemen Aset Muhammadiyah). Tujuannya, Jarot menggarisbawahi, bukan hanya untuk mengetahui seberapa kaya Muhammadiyah, lebih dari itu adalah sebagai alat maping potensi tanah wakaf sekaligus optimalisasinya.

Semangat untuk meningkatkan produktivitas wakaf atau merubah aset wakaf menjadi wakaf produktif ini sejatinya sejalan dengan keputusan muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar. Yaitu semangat ingin menjadikan ekonomi sebagai salah satu pilar Persyarikatan. Mampu mengoptimalkan potensi wakaf, mendekatkan Muhammadiyah pada pilar ekonomi. Sebaliknya, menelantarkan tanah wakaf berarti menjauhkan Persyarikatan dari pilar ekonomi yang dicita-citakan tersebut. (gsh)

Sumber: Majalah SM Edisi 17 Tahun 2019

Exit mobile version