Oleh Mukhaer Pakkanna
Ujung November 2020, kami mewisuda secara Daring dan Luring di kampus. Menariknya, puluhan mahasiswa dari pelbagai wilayah, misalnya, dari Maluku Tengah, Toraja, Sebatik, NTT, dan lainnya yang non-muslim turut hadir dan didampingi org tuanya. Mereka ini sejak kuliah, banyak di antara mereka menjadi anggota dan pengurus aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan telah mengikuti tahapan perkaderan Darul Arqam Dasar (DAD) kendati mereka itu istiqamah dengan agamanya.
Bahkan, jika ada kegiatan seremoni kampus, mereka kerap tampil sebagai tim paduan suara, menyanyikan Mars Muhammadiyah, Mars IMM, dan tentu di antara mereka mulai fasih belajar al Qur’an dan bahasa Arab. Sesekali mereka berkelakar: “Kami sudah bermuhammadiyah, tapi belum berislam”.
Paulus Nali, S.Ak yang ikut diwisuda dan sudah bekerja di perusahaan finance di bilangan BSD Tangerang, mencertakan pengalamannya sebagai mahasiswa. Ia sangat bahagia kuliah di kampus Sang Pencerah. Padahal, dia juga aktivis pemuda gereja di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Anak dari Bernadus Naki dan Veronika Feka, petani serabutan di pelosok Miomaffo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara, menikmati proses belajar di ITB-AD yang terbuka, demokratis, partisipatif, dan tidak eksklusif. Sosok Remi Iusfay adalah sosok mahasiswa Kristen-Muhammadiyah, Kris-Mu, yang pernah dipopulerkan Abdul Mu’ti (2009) dalam riset doktoralnya yang mengambil kasus SMA Muhammadiyah Ende, NTT.
Terus terang, saya teringat dan terinspirasi pada sosok kiyai Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah 106 tahun lewat. Sejak awal, beliau menekankan agar Muhammadiyah bukanlah organisasi bergerak di bidang politik. Tapi lebih banyak bergerak di bidang sosial, terutama pendidikan masyarakat. Bagi kiyai Dahlan, Muhammadiyah sebagai wahana berdakwah dan pendidikan untuk membawa ideologi pembaruan, untuk kemajuan bangsa.
Saat merintis dan membangun sekolah berbasis agama, kiyai Dahlan, berkunjung ke sekolah sahabatnya, seorang pastor Katolik berdarah Belanda, Pastur van Lith. Persahabatan Dahlan dengan pastor tersebut untuk berdialog, berdiskusi bagaimana memajukan pendidikan pribumi yang bermartabat dan memanusiakan manusia.
Selain itu, kiyai Dahlan tentu juga banyak bergaul dengan tokoh dari berbagai lintas, seperti pendeta, kelompok Boedi Utomo, bahkan dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak mengherankan jika Dokter Soetomo, seorang elite priyayi Jawa dan salah seorang pemimpin Budi Utomo (BU) penasaran dengan Muhammadiyah dan bersedia menjadi advisor Hooft Bestuur Muhammadiyah masa itu.
Dalam Pedoman Hidup Islami (PHI) yang beredar resmi di kalangan warga Muhammadiyah, secara eksplisit menuntun, bahwa “Islam mengajarkan agar setiap muslim menjalin persaudaraan dan kebaikan dengan sesama, seperti dengan tetangga maupun anggota masyarakat lainnya, masing-masing dengan memelihara hak dan kehormatan baik dengan sesama muslim maupun dengan non-muslim, dalam hubungan ketetanggaan.
Dalam bertetangga dengan yang berlainan agama juga diajarkan untuk bersikap baik dan adil, mereka berhak memperoleh hak-hak dan kehormatan sebagai tetangga, memberi makanan yang halal dan boleh pula menerima makanan dari mereka berupa makanan yang halal, dan memelihara toleransi sesuai dengan prinsi-prinsip yang diajarkan Agama Islam”.
Keapikan inklusifitas dalam pengelolaan pendidikan dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah seperti gambaran di atas, harus senantiasa dirawat dan dikampanyekan. Islam mengajarkan keramahan, kemanusiaan, tidak diskriminatif, dan senantiasa menjunjung tinggi keadilan. Jangan sampai hanya kepentingan politik sesaat yang myopic, telah mengoyak sulaman kebangsaan kita.
Oleh karena itu, Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiyah (PTMA) harus istiqamah menyemai keragaman, sikap inklusif, dan tentu di atas nilai-nilai cinta dan kasih sayang.
Mukhaer Pakkanna, ITB Ahmad Dahlan Jakarta