Nama Allah melalui nama sifat al-Jabbar itu difungsikan dalam menerapkan kehendak-Nya dengan pemaksaan pada segala sesuatu yang tidak ada yang mengatasinya secara mutlak. Qs.Al-Hasyr: 22-24 merumuskan penyebutan nama Allah (nama Dzat) sampai empat kali; kata ganti pesona tiga (هو) disebutkan tujuh kali; dan 16 sebutan nama sifat lain–Nya, termasuk nama al-Jabbar di dalamnya.
Ibn al-Atsir (al-Nihayah, I/235) menyebutkan bahwa Al-Jabbar sebagai nama Allah itu, bermakna Dzat yang memaksa hamba atas apa yang dikehendaki, baik berupa perintah atau larangan; atau karena Dia Maha Tinggi di atas makhluk-Nya (al-‘Aliyah) sebagaimana ungkapan Dzu al-‘arsy al-Majid (Qs Al-Buruj: 15). Kata al-Majid, dalam bahasa ‘Arab bermakna kemuliaan yang sempurna dan tidak ada jalan kekurangan (al-Syafi’i, al-Fiqh al-akbar, 67).
Penamaan makna Maha Pemaksa bagi Allah SwT tetap berada dalam sistem sifat nama kesempurnaan-Nya (al-Kamal) yang menunjukan tetapnya berbagai kebaikan (tsubut al-khair) bagi Allah SwT. Dua unsur yang bisa diambil dari kata al-jabbar ini: 1) kondisi ketinggian posisi, seperti pimpinan terhadap bawahan; 2) kondisi kewenangan pada saat menyuruh dan melarang (intruksi) terhadap pihak bawahannya itu. Jika sikap pengendalian diri tidak menyertainya, maka akan muncul sikap egoism. Apalagi jika disertai pencapaian standar tertentu dalam rentangan satuan waktu, seperti dalam aktivitas perusahaan-perusahaan modern, maka bisa terjebak pada sikap ekploitasi yang kuat terhadap yang lemah.
Karena itu, arti tetapnya berbagai kebaikan, maka kelemahan dan kerusakan karakter dirinya itu perlu jangan terjadi. Kematangan mental yang ditunjuki seseorang, adalah melalui pengembangan wawasan pandangan keilmuan, praktik kesalihan dalam setiap amaliah, dan tetap keterjagaan beratsar kebaikan yang memadai bagi dirinya dan orang lain. Sifat kekurangan (al-nuqsh); atau mudah terkena rusak (al-halk) karena suatu bencana, atau fase masa akhir yang melemah.
Sifat-sifat sepeti ini yang mustahil bagi Allah SwT, sedangkan dalam diri selain Allah tidak bisa mengelaknya. Satu-satunya langkah agar kestabilan emosi tetap terjaga; dan pemaksaan juga tetap berada dalam koridor kebenaran, maka kembali kepada apa yang diteladankan para nabi dan Rasul Allah, dan nabi Muhammad saw adalah syarat mutlak terutama dalam pengendalian emosi buruk yang banyak terjadi saat ini.
Keteladanan nabi Muhammad saw itu telah teruji keunggulannya. Jika tidak dirujuk oleh para pimpinan secara benar dan tepat, maka akan muncul sikap egois (thagha). Sikap egois ini yang akan mengerdilkan kepribadian, merusak, dan menggagalkan nilai kebenaran, karena rasa amarahnya. Hanya para nabi yang mengakui kelemahan dirinya. Wa Allahu a’lam.
H Ayat Dimyati, Dosen Tetap UIN Gunungdjati, Bandung
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2017