Moderasi Keberagamaan dengan Basis Manhaj Muhammadiyah

moderasi

GRESIK, Suara MuhammadiyahModerasi Keberagaman dalam Konteks Indonesia Berkemajuan menjadi salah satu tema Seminar Nasional dalam Rangkaian Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 (5/12/2020). Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof M. Amin Abdullah, mengemukakan makalah moderasi keberagamaan dalam perspektif filsafat.

Amin Abdullah mengawali paparannya dengan dua peristiwa krusial di dunia Islam. Pertama, munculnya gerakan pembaruan yang dipelopori oleh Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman dengan keluarnya keputusan Mohammed Bin Salman untuk merubah sejumlah aturan. Di antaranya tentang gerak perempuan di ruang publik dan pendidikan. Kedua, dalam konferensi internasional tentang pembaruan pemikiran Islam pada 27-28 Januari 2020, Grand Sheikh Al-Azhar Prof Dr Ahmad Thayyib mengeluhkan dakwah Islam di dunia nyata dan dunia virtual yang bernuansa sektarian dan membenci kelompok lain (ta’ashub wa karahiyatul ghair). Al-Azhar terpanggil mendirikan Markaz al-Azhar li Tajdid al-Fikr al-Islam, yang mengudang para ulama, researcher dari berbagai latar belakang untuk memperbarui pemikiran Islam.

Pembaruan di Arab Saudi dan di Mesir ini telah menjadi kesadaran Muhammadiyah seabad yang lalu. Namun, Muhammadiyah tidak bisa stagnan dan perlu terus memperbarui dirinya di tengah situasi perubahan dunia yang begitu cepat. Era revolusi industri 4.0 telah mendisrupsi berbagai bidang kehidupan.

Menurut Amin, layaknya produk sains dan teknologi, pemahaman atau penafsiran agama telah mengalami disrupsi atau semacam gegar budaya. “Ketika pemahaman atau penafsiran keagamaan berada di tengah pusaran perubahan sosial-ekonomi-politik-budaya-teknologi yang dahsyat ia kehilangan daya kesetimbangan (al-tawazun), fleksibilitas (cognitive flexibility) atau elastisitas dan daya lenturnya, maka ia akan akan mudah terjebak dan terseret ke dalam pusaran arus disrupsi.” Fenomena disrupsi dapat terlihat pada sikap emosional, mudah tersinggung, intoleran, conservative turn, sumbu pendek, aliran keras dalam memahami agama, tafsir tunggal, despotic interpretation, moral monism, takfiri, jihadi, dan seterusnya.

Muhammadiyah juga telah memperbaharui Manhaj pada tahun 2000, tetapi tetap saja perlu terus menerus di up date. “Program restrukturasi, rekonstruksi dan reformasi perlu terus berkelanjut. Nalar kritis-metodologis memang memerlukan kritik, bahkan multiple critique. Tidak hanya itu, sebagaimana disinggung diatas, yang diperlukan di era disrupsi sekarang adalah pembaharuan metode dan cara pandangan keilmuan melalui pendekatan inter-, multi-, dan transdisiplin (ushul murakkabah muta’additatu al-takhassusat) dan riset lapangan (al-muraqabah al-maidaniyyah).”

Moderasi Keberagamaan dalam konteks Indonesia Berkemajuan, kata Amin, membutuhkan pendekatan baru yang multi disiplin. “Pendekatan dikotomis hanya mengantarkan pola pikir yang cenderung mengarah ke lower order of thinking skills (LOTs). Sementara Moderasi Keberagamaan dalam Konteks Indonesia Berkemajuan memerlukan corak berpikir yang tinggi, higher order of thinking skills (HOTs), yang disitu diperlukan pendekatan keilmuan yang bersifat multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin.”

Amin mempertanyakan, ketika menghadapi fenomena pandangan dan sikap keberagamaan dan keagamaan yang disruptif, bagaimana para pemikir, peneliti, ulama Muslim menyikapinya? Banyak istilah yang digunakan dalam sejarah peradaban Islam. “Islam wasatiyyah (wasatiyyatu al-Islam), the middle path of Islam, adalah salah satunya. Banyak buku yang telah ditulis tentang wasatiyyah al-Islam, tetapi yang dikaitkan atau dikontekskan dengan Indonesia Berkemajuan masih jarang.”

Menurutnya, Manhaj Tarjih terdiri dari pendekatan bayani, burhani, dan irfani sebenarnya dapat menjadi pijakan. Moderasi memerlukan pengetahuan yang luas dan tidak terjebak pada monodisiplin. Perspektif bayani dilandasi oleh beberapa ayat seperti QS. Al-Hujurat (49): 11-13, tentang perlunya saling mengenal, tidak saling curiga, tidak mencari-cari kesalahan, dan lain-lain. Ada juga al-Baqarah (2): 62, al-Maidah (5): 69; al-Mumtahanah (60): 8.

Meskipun ayat-ayat telah menunjukkan fakta yang cukup jelas, para mufassir saling berbenturan ketika memahami al-Qur’an. Karena itu, ungkap Amin, diperlukan argumen pendamping lain yang menunjukkan betapa pentingnya hidup damai, bersahabat, berkolaborasi dan harmonis di tengah kepelbagaian dan kemajemukan dimaksud. Argumen nalar Burhani datang kemudian mendampingi dan menyertai argumen yang bercorak Bayani.

“Indonesia berkemajuan pada dasarnya adalah perjumpaan dan dialog yang intens antara keberagamaan Muslim Indonesia dengan kemajemukan tradisi dan budaya lokal Nusantara dengan modernitas yang difasilitasi ilmu pengetahuan moderen,” kata Amin. Setidaknya, argumen Burhani melibatkan empat elemen yang selalu berdialog dalam alam pikir dan diri manusia Muslim Indonesia dalam merawat moderasi keberagamaan: budaya dan agama, pendidikan, masyarakat dan civil society, konstitusi.

Selain bayani dan burhani, dibutuhkan juga irfani. “Dunia text (naql) maupun dunia akal (aql) hampir-hampir kandas atau tidak ada manfaat dan pengaruhnya sama sekali jika esensi dan substansinya tidak tampak atau tidak tumus (bahasa Jawa: menancap sampai dalam) atau termanifestasikan, terimplementasikan, tampak dalam wujud tindakan dan perilaku praktis keagamaan Islam dalam hidup sehari-hari. Mengutip khazanah budaya Jawa, moderasi keberagamaan dalam Indonesia Berkemajuan harus tampak dalam solah bowo (perbuatan dan ucapan), muna-muni (segala apa saja yang diucapkan atau dikatakan), omong pari omong (tutur kata yang disampaikan di berbagai tempat secara utuh dan komprehensif) dalam hidup sehari-hari.”

Menurut Amin, dunia hati nurani adalah dunia batin dan alam kejujuran (shiddiq, amanah, tabligh, fathanah), dunia keimanan dan ketuhanan sekaligus yang tidak bisa diingkari atau dibohongi (al-Hajj: 32, disebut dengan istilah ‘min taqwa al-qulub). “Suara hati nurani (the innermost voice of the heart) adalah alat navigasi (alat yang paling berharga dalam pesawat terbang), sebagai alat kontrol terakhir untuk mengecek apakah pada dataran dunia praksis sosial bermasyarakat, beragama, bernegara dan berbangsa pola pikir nalar Bayani dan pola pikir nalar Burhani dapat berjalan on the right tract atau tidak,” ulas Ketua Majelis Tarjih 1995-2000 itu.

Amin menyebut 10 indikator atau alat chek list pola pikir Irfani yang perlu dilibatkan untuk mengecek apakah Moderasi Keberagamaan Indonesia Berkemajuan berjalan atau tidak dalam alam praksis kehidupan sehari-hari: (1) Literasi multikultural-multirelijimultietnis, (2) Mengenali identitas jamak dalam diri sendiri dan orang lain, (3) Menjauhi prejudice (buruk sangka); saling mengenal dan kerjasama, (4) Berpikir tingkat tinggi, generasi tangguh, sabar dan ulet, (5) Keseimbangan antara scientific skills atau digital skills dan humanistic thought atau emotional skills, (6) Hindari moral monism, (7) Tidak terjebak pada slogan “We have a religion”, tapi minus spiritualitas atau sebaliknya, (8) Hubbu al-Allah dan hubbu al-Jaar (Cinta Allah dan cinta tetangga sekaligus), (9) Etika (akhlaq mulia) diatas Teologi/Kalam dan Metapisika, (10) Perbanyak ruang-ruang perjumpaan.

Moderasi keberagamaan dalam konteks Indonesia Berkemajuan dalam perspektif filsafat memang menjadi unik dan mempunyai sibghah tersendiri dibandingkan dengan negara-negara Muslim yang lain. “Dinamika dan dialektika antara al-Turats dan al-Hadatsah atau al-Tajdid sangat terasa, karena kata al-Turats dimaksud tidak hanya berbasis ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga mencakup kekayaan tradisi dan budaya Indonesia yang terhimpun dalam kata kemajemukan suku, bahasa, etnis dan agama, yang kemudian dikenal dengan sebutan Bhinneka Tunggal Ika,” tukas Amin Abdullah. (ribas)

Exit mobile version