Moderasi Pemikiran Keagamaan dan Peran Muhammadiyah

gembira

Prof Biyanto

GRESIK, Suara Muhammadiyah-Salah satu Seminar Nasional dalam Musyawarah Tarjih Muhammadiyah ke-31 mengusung tema: Moderasi Keberagamaan dalam Konteks Indonesia Berkemajuan, yang menghadirkan  narasumber Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya Prof Biyanto, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof M. Amin Abdullah, dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prof M. Din Syamsuddin, (5/12/2020).  

Biyanto mengetengahkan makalah Moderasi Pemikiran Keagamaan di Indonesia: Sejarah, Konteks, dan Peran Muhammadiyah, yang terinspirasi dari pernyataan KH Ahmad Dahlan: “Agama itu pada mulanya bercahaya, berkilau-kilauan, akan tetapi makin lama makin suram, padahal yang suram bukan agamanya, tetapi manusianya yang memakai agama.” KH Mas Mansur juga pernah menyatakan, “Yang harus diperluas adalah pemahaman tentang agama, bukan agama itu sendiri. Sebab, agama pada dasarnya bersumber dari wahyu yang tidak dapat diperluas dan dipersempit.”

Mengutip Haedar Nashir, Biyanto menyebut karakter Muhammadiyah itu moderat-berkemajuan dan modernis-moderat yang bersifat luwas dan luwes. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mukti Ali, “Muhammadiyah itu berwajah banyak (dzu wujuh). Muhammadiyah tampak ekslusif jika dipandang dari luar, tetapi sesungguhnya sangat terbuka. Muhammadiyah juga tampak agresif dan fanatik, meski dalam berdakwah sangat berangsur-angsur dan toleran. Muhammadiyah juga dikesankan anti Jawa meskipun dalam banyak hal memasukkan nilai-nilai Jawa.”

Moderasi beragama dianggap sebagai agenda penting karena dapat menjadikan pemeluknya terhindar dari sikap ekstrem dan berlebih-lebihan dalam menjalankan ajaran agama. Al-Qur’an secara tegas melarang sikap berlebih-lebihan atau ekstrem dalam beragama (ghuluw). Sikap moderasi yang berada di antara dua ekstrem ini, kata Biyanto, dapat dilacak akar historisnya hingga ke masa Islam klasik.

Syaikhul Islam Ibn Taimiyah (1236-1328) dalam Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah (The Creed of Al-Wasitiyyah), menggambarkan aqidah atau teologi tengahan sebagai paham yang dianut kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Ibn Taimiyah mengartikan al-Sunnah dengan al-thariqah, yakni jalan yang dianut Rasulullah Saw, sahabat, dan orang-orang mengikuti jejaknya hingga hari kiamat. Sementara al-Jama’ah berarti sejumlah orang yang mengelompok, yakni kaum salaf (pendahulu) dari kalangan sahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka. Menurut Ibn Taimiyah, kelompok Ahl al-Sunnah memiliki sifat al-Najiyah (yang selamat) dan al-Manshurah (yang memperoleh pertolongan).

Biyanto menyebut Din Syamsuddin ketika menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama antar Agama dan Peradaban mengadakan pertemuan ulama dunia di Bogor pada 2018. Pertemuan yang menghasil Bogor Message ini menjabarkan konsep wasathiyah Islam dengan tujuh karakter utama; tawazun (memposisikan di jalur tengah dan lurus), itidal (berperilaku proporsional dan adil dengan tanggung jawab), tasamuh (mengakui dan menghargai perbedaan dalam semua aspek kehidupan), syura (menyelesaikan masalah melalui musyawarah untuk mencapai konsensus), ishlah (terlibat dalam tindakan reformatif dan konstruktif untuk kebaikan bersama), qudwah (berinisiatif mulia dan memimpin untuk kesejahteraan manusia), dan muwathanah (mengakui negara bangsa dan menghormati kewarganegaraan).

Berpikiran, bersikap, dan berperilaku moderat dalam beragama sangat dibutuhkan karena seringkali terjadi insiden radikalisme bernuansa keagamaan. “Ekspresi radikalisme itu diwujudkan dalam bentuk kekerasan pada orang-orang yang tidak sepaham dengan diri dan kelompoknya. Kelompok radikalis dengan karakter negatif juga selalu berpikiran: He who is not with me is against me (Orang yang tidak mengikuti saya adalah musuh saya),” ulas Biyanto.

Moderasi juga bermakna sikap tengahan di antara sikap ekstrem. Biyanto mengutip Yusuf al-Qardhawi yang menggolongkan kelompok-kelompok radikal sebagai “Dhahiriyyah Baru” dengan enam karakter; pemahaman agama yang literal, keras dan menyulitkan, sombong terhadap pendapat mereka, tidak menerima perbedaan pendapat, mengkafirkan orang di luar kelompoknya, dan tidak peduli pada fitnah.

Biyanto menawarkan dua langkah untuk merintis jalan tengah pemikiran Islam. Pertama, memosisikan pemikiran masa lalu sebagai khazanah yang tidak perlu disakralkan. Dengan menempatkan produk pemikiran masa lalu sebagai khazanah, maka akan menghilangkan ”beban sejarah” sehingga kita dapat secara lebih kritis memberikan pandangan. Kedua, menampilkan pemikiran Islam yang menggabungkan nilai modernitas dan tradisionalitas. Terdapat ungkapan al-muhafadhah ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang masih baik dan mengambil yang baru yang lebih baik).

Menurutnya, Muhammadiya dapat merefleksikan sikap tengahannya dan memperluas horizon pembaruan atau tajdidnya dengan berkaca pada KH Ahmad Dahlan. “Menghadapi perdebatan dan persaingan dua mazhab pemikiran keagamaan di Indonesia yang secara diametral saling berhadapan, Muhammadiyah penting menampilkan diri sebagai mediator. Pada konteks itulah, moderatisme pemikiran keagamaan penting terus digelorakan. Untuk menjadi penengah, Muhammadiyah memiliki modal besar karena sejak awal berpandangan tidak bermazhab, baik dalam soal aqidah, fiqh, dan tasawuf.”

Ajakan bersikap moderat, ungkap Biyanto, akan efektif jika ditempuh melalui dialog yang tulus, nirprasangka, dan tidak saling mengklaim kebenaran. Jika dialog ini dilakukan secara berkelanjutan, maka pada saatnya kita akan menyaksikan wajah Islam Indonesia yang moderat, inklusif, dan toleran terhadap berbagai keragaman. “Dengan berfungsi sebagai mediator, berarti Muhammadiyah telah merekat jalinan hubungan pemikiran (silatul fikr) berbagai mazhab pemikiran keagamaan yang ada di negeri tercinta,” tuturnya.

Muhammadiyah juga dapat mengajak berbagai kelompok keagamaan untuk menghormati dan merayakan perbedaan. “Agar mampu menjalankan tugas untuk memoderasi pemikiran keagamaan umat, maka Muhammadiyah harus menampilkan diri sebagai gerakan ilmu. Spirit intelektualisme itu akan memberi energi yang positif bagi Muhammadiyah untuk tetap menyalakan api ijtihad pada abad kedua,” tukas Biyanto, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. (ribas)

Exit mobile version